Mohon tunggu...
Vidia Hamenda
Vidia Hamenda Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pegawai

suka nulis dan jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sepakbola, Kekuatan Perdamaian dalam Kebhinekaan

21 Juli 2017   23:31 Diperbarui: 23 Juli 2017   13:52 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suporter Sepakbola - indra1082.files.wordpress.com

Yang satu menangkupkan tangan di kening sembari berdiri, yang satu berlutut dengan menyilangkan jari jemari kedua tangan, dan yang satu lagi bersujud menghadap bumi. Adegan itu dilakukan oleh Ngurah Nanak, Yabes Roni, dan Miftahul Hamdi. Dari nama mereka, Anda bisa dengan cepat mereferensikan apa agama yang mereka anut. Tetapi, siapakah mereka? Ngurah, Yabes, dan Miftahul, adalah pemuda yang membela klub Liga 1 Indonesia, Bali United. Aksi menangkupkan tangan, menyilangkan jemari, dan bersujud, adalah cara mereka merayakan gol dalam kemenangan 3-0 atas Borneo FC di laga Liga 1 pada 5 Juni 2017.

Peristiwa ini menjadi perhatian media internasional seperti Washington Post karena dianggap merupakan ekspresi toleransi perbedaan agama di Indonesia. Nanak mewakili Hindu, Yabes mewakili Kristen, dan Miftahul tampil sebagai wakil Islam. "Tiga pemain sepakbola Indonesia menjadi simbol untuk tampilan dunia yang lebih damai. Terima kasih atas perayaan gol unik yang tertangkap kamera," demikian tulis Marissa Payne di Washington Post pada 7 Juni silam.

Meski dalam aturan FIFA para pesepakbola tidak boleh menunjukkan ekspresi politik atau keagamaan dalam pertandingan, namun untuk Indonesia peristiwa ini seakan menjadi pengecualian karena justru berkembang sebagai hal yang positif.Positif karena sejak beberapa bulan terakhir tahun lalu situasi terasa begitu negatif akibat ketegangan atas nama perbedaan agama dalam pusaran Pilkada DKI Jakarta 2017. 

Dan aksi di lapangan sepakbola ini menjadi relevan sekaligus relatif baru dalam kehidupan kita. Poinnya adalah bahwa para pesepakbola itu adalah para pemuda. Nanak berusia 28 tahun, Yabes berusia 22 tahun, dan Miftahul, yang termuda, masih 21 tahun. Ekspresi yang mereka tunjukkan memberikan kita semacam perasaan optimistis bahwa perdamaian dengan kebhinnekaan memiliki kesadaran yang cukup kuat dalam diri anak-anak muda. Di belahan dunia manapun, ekspresi dalam dunia sepakbola untuk perdamaian adalah sebuah bentuk keeleganan. Selain itu, pemuda adalah kelompok yang sangat potensial menjadi korban dalam ketegangan atas nama perbedaan agama. 

Dalam skala global, terorisme dan radikalisme di berbagai negara telah membuat para pemuda kehilangan harapan untuk masa depan yang lebih baik. "Kondisi ini membuat anak muda menjadi frustasi dan marah. Emosi semacam ini muncul sebagai bibit baru terhadap ekstremisme dan radikalisme," kata Presiden Joko Widodo dalam Arab Islamic American di Riyadh, Arab Saudi, Mei silam. Kampanye seperti yang dilakukan oleh para pesepakbola itu adalah hal yang patut kita dukung dan kita suburkan. Kita harus mulai cermat mencari momen untuk menyebarkan perdamaian dalam kebhinnekaan kita. Dan sepakbola, sebagai momen populer, bisa menjadi arena untuk menunjukkan sikap bahwa perdamaian adalah sesuatu yang lebih diterima oleh masyarakat banyak.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun