Mohon tunggu...
Via Mardiana
Via Mardiana Mohon Tunggu... Human Resources - Freelance Writer

Penulis Novel | Freelance Writer | Blogger | Traveller | Instagram : @viamardiana | Twitter: @viamardianaaaaa | Blog pribadi : www.viamardiana.com | Email : engineersukasastra@gmail.com atau mardianavia@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudut Pandang Hari Guru dari Kacamata Seorang Anak Guru

26 November 2018   15:58 Diperbarui: 26 November 2018   16:15 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : http://www.korankaltara.co

Refleksi peringatan hari guru memang menjadi momen dimana banyak orang menulis tentang guru, baik itu perjuangan guru di daerah terpencil, soal setifikasi guru, pendidikan tidak merata, nasib guru honorer dan juga lika-liku perjuangan untuk daftar PNS.

Ibu dan Bapakku adalah seorang pendidik. Ibu bekerja sebagai guru SD dan Bapak bekerja sebagai kepala sekolah SD sejak 4 tahun lalu. Keduanya mengabdikan guru sebagai tenaga pendidik di desa, jauh dari peradaban kota. Dari mulai gaji hanya 70 ribu rupiah, sampai saat ini ada tunjangan sertifikasi, kesemuanya disyukuri.

Namun, semuanya tidak terlepas dari problema yang ada di dunia pendidikan. Sewaktu daftar untuk menjadi kepala sekolah, Bapak diminta uang oleh oknum agar proses jadi lancar. Selanjutnya, ketika Bapak diajukan untuk pindah sekolah, Bapak pun harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Aku terheran-heran, padahal ini bukan kemauan Bapak, tapi Bapak pula yang harus membayarnya.

Hal berbeda terjadi pada Ibuku. Ketika teman sebayanya yang saya yakin bahwa kredibilitas mengajarnya jauh dibawah Ibu, bisa menjadi kepala sekolah karena memiliki banyak uang. Sedangkan Ibuku, mundur dari pencalonan tersebut karena lebih memilih menggunakan uang yang ada untuk kuliahku. 

Pada saat itu ingin rasanya berteriak bahwa system yang ada tidak adil, tapi apa boleh dikata Ibuku dengan sabarnya mengatakan, "Ah mending buat sekolah anak,". Jika melihat teman-temannya yang jadi kepala sekolah sekarang yang jelas masih muda dan kredibilitas masih jauh dari kemampuan ibuku, jelas aku merasa sedih.

Akhir-akhir ini, ada seorang tokoh yang membuat pernyataan yang intinya, "Yang digaji guru tetap, yang ngajar guru honorer". Aku sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Pernyataan tersebut tidak bisa digeneralisasi, jika mau harusnya menggunakan data presentase. Rasanya saya tidak terima saja karena Ibu dan Bapakku adalah guru tetap. Jika memang ada guru PNS yang memang mangkir ketika mengajar ya itu memang ada, tapi itu hanya oknum tidak semua.

Menjadi guru itu adalah perjuangan apalagi di desa yang serba terbatas. Ibu dan Bapakku berjuang dengan cara mereka untuk membagi ilmu dengan cara yang baik. Menjadi tenaga pendidik, bukan hanya sekadar mengajar. Tapi juga menanamkan ilmu-ilmu kehidupan lainnya yang tidak ada dalam kurikulum yang dibuat Kementerian Pendidikan.

Dari sekian banyak problema yang ada di dunia pendidikan, menjadi seorang anak guru adalah sebuah kebanggan. Tugas guru itu berat, tidak sembarang orang amanah. Buktinya, masih ada yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengajar.

Dari hasil mendidik Ibu dan Bapakku bisa menyekolahkan aku sampai hari ini aku menjadi seorang leader disalah satu perusahaan di Jakarta.

Ini adalah kisah nyata karena aku adalah pemeran utamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun