Mohon tunggu...
nova lestari
nova lestari Mohon Tunggu... -

saya adalah seorang manusia yang hanya ingin terus belajar. sampai saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf Aku Bukan Dewa, dan Kau Juga Bukan, Beginikah Cinta?

2 Juli 2014   11:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:52 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Maafkan aku Teguh, cinta ini tak pernah beralih nama dari namamu”.

keputusan ini memang tidak mudah untuk ku lakukan, aku tahu ini sangat menyakitkan, tapi hidup bergelimang cinta denganmu terasa begitu egois bagiku, maafkan aku Teguh.

tuut, tuut, tuut...

Telephon dari mu berakir begitu saja, tanpa merasa perlu menunggu jawaban apa apa dariku, kau menyampaikan apa yang tidak ingin ku dengan malam ini, apa yang seharusnya ku biarkan berlalu, dan ku lupakan, tapi semuanya memang tidak mudah. Kau tahu, aku terlalu tinggi membangun harapan bersamamu, seperti cerita yang saban malam kita ceritakan dalam setiap pesan pesan yang kita kirimkan. Kau, kau terlalu cepat menghancurkanya menjadi puing puing tak bernama.

***

Pertemuan kita memang tidak pernah terencana, seperti akhir yang tidak pernah ada dalam rencana rencana kita. Aku dan kau jatuh cinta begitu saja, tak pernah ada acara saling mengatakan perasaan seperti yang sering di lakukan orang orang seumuran kita saat ia sepakat untuk saling menyukai dan menginginkan. Bagiku caramu mencuri perhatian, menjalin komunikasi yang inten dan terbuka untuk hal hal pribadi, waktu kau menceritakan tentang kisah keluargamu, dan memintaku menasehatimu, seperti sudah mewakili perasaanmu bahwa kau membutuhkan aku, sebagaimanaaku yang semakin hari semakin ketergantungan dengan mu.

Ini terlalu drama untuk ku tangisi, dan aku adalah laki laki. Tapi hatiku serasa roboh malam ini, rangkaian pertanyaan demi pertanyaan mengapa dan kenapa, memenuhi rongga otak ku, rasanya seperti berada dalam ruangan penuh sesak tak berongga, semakin lama semakin mendesak, ini begitu berat untuk ku terima, tak satupun pertanyaan itu berhasil ku jawab, hanya berakir dengan kata “mengapa?.”

Andini, malam ini aku lumpuh, bukan saja ingatanku yang tak mampu berjalan , kaku dan seluruh tubuhku tak ingin beranjak dari sepetak kamar kos kosan ini, mengurung diri dari pagi hingga larut malam, aku memilih berdiam diri di kamar, tubuhku kehilangan penyangganya untuk sekedar berdiri, dan mata ini masih saja basah setiap kali terpikirkan tentang kabar yang tiba tiba kau sampaikan, yaitu kabar pertunanganmu.

Kepalaku rasanya amat berat dan entah apa yang bisa ku kerjakan sekarang, sedari pagi aku diam, mengheningkan semua keputusan mu yang kau tetapkan sendiri tanpa pernah mengabariku sebelumnya, tentang pertunangan yang sudah kau lansungkan di rumahmu beberapa hari setelah kepulanganmu ke kampung halaman.

***

Andini, aku masih ingat saat terakhir kali kita ngobrol lama di perpustakaan yang juga tempat pertama kali aku menemukanmu.Pagi itu raut mukamu terlihat datar, kau jarang bercanda, dan bahkan saat menanggapi cerita ceritaku terasa kau tidak begitu fokus mendengarkanku, sepertinya ada yang sedang membebani pikiranmu, tapi aku urung bertanya karena ku lihat mood mu sedang tidak sedap untuk bercerita panjang lebar, dan aku tahu kau tidak suka bila aku terlalu banyak bertanya. Mungkinkah kau sengaja menyimpan kabar ini dari ku?

***

Malam ini, semua kenangan itu terangkai dan berkolaborasi mengingatkan masa masa indah tentang mu Andini, tentang awal kita bertemu. Mataku berjalan mengikuti jari telunjuk yang menunjuk satu persatu buku yang di rak ilmu sosial, pagi-pagi sekali aku mengatur jadwal kunjunganku ke perpusatakaan, memang pekan pekan pertamaku di pasca sarjana, selalu saja di barengi dengan sibuknya menyusun essai essai yang mesti ku presentasikan. Tugas –tugas itu memaksaku mengunjungi perpustakaan yang sebelumnya menjadi tempat keramat bagiku, ku sebut keramat karena jarang sekali aku mengunjunginya, dan ketika aku kesana apalagi harus menghabiskan waktu berjam jam itu pertanda ada satu tugas penting yang mengharuskan ku ke perpustakaan, seperti pagi itu.

Aku menyusuri berapa buku buku yang tersusun rapi di rak buku tentang sosial dan politik, mencari dan mengumpulkan beberapa referensi tentang kondisi perpolitikan di beberapa negara berkembang, mencoba membandingkannya dengan beberapa negara maju seperti Amerika dan Eropa.Kasus ini adalah tugas pertamaku semenjak mendaftarkan diri sebagai salah satu mahasiswa pasca ilmu sosial politik di salah satu universitasdi Jakarta.2 tahun setelah wisuda s1 aku kemudian memutuskan melanjutkan studi magister yang tertunda selama ini. Ada banyak hal yang hadir di dua tahun belakangan, beberapanya adalah tuntutan keluarga,dan pekerjaan.

Hampir dua jam aku mencari dan mengumpulkan buku buku penunjang essai yang tengah ku susun, saat itu aku bingung sirkulasi perpusatkaan yang tidak mudah ku pahami, ditambah lagi ketidak tahuanku tentang cara meminjam buku yang ada di perpustakaan itu, dan disanalah ku temukan kau. Pertemuan yang tak terduga, ketika kebingungan menggelayuti anak baru di perpustakaan besar yang keramat baginya, aku melihat seorang perempuan yang tengah duduk tenang melahap bacaanya, aku menyapamu dengan tersenyumragu ragu, tanpa panjang lebar aku lansung bertanya kepadamu karena takut menggamu waktumu terlalu lama

“ maaf mengganggu, kalo mau meminjam buku kemana dulu ya?”

aku tau saat itu kau tidak terlalu suka dengan kehadiranku yang memotong waktumu membaca buku tapi kau dengan ramah tetap memaduku menunjukan , bahkan membantuku mengurus kartu perpustakaan sebelum aku meminjam buku buku yang ada di pangkuanku. Pertemuan itu memang sama sekali tidak terencana seperti akhir cerita ini yang tak pernah ada dalam rencana kita, sejak itu kita berkenalan, ku sebut namaku kepadamu tanpa perlu kau Tanya,

“ kenalkan, aku Teguh”

sambil menyodorkan tanganku dan kau menyambutnya sambil tersenyum ramah.

***

Ini terkesan lebay, atau kedengaran seperti cerita anak anak umur belasan yang baru saja merasakan jatuh cinta, tapi inilah yang terjadi, susah untuk ku katakan dan bahkan aku sendiri tidak yakin, kenapa pertemuan itu selalu menyedot beberapa lamunan ku, setelah berbincang cukup lama denganmu, selanjutnya aku selalu tersenyum kala membayangkanmu, dan sejak saat itu aku selalu menantikan pertemuan kedua, ketiga dan seterusnya.Aku juga tidak menyadari, mengapa semenjak saat itu aku menyukai perpustakaan, sering kali juga membayangkan kapan akan bertemu lagi denganmu, pertemuan yang mungkin secara tidak sengaja pula .

Kau tau? mulai hari itu pula aku saban hari menyempatkan diri ke perpustakaan,sekedar memenuhi rasa penasaranku, serta berharap bertemu dengamu lagi dengan tidak sengaja.Aku benar benar beruntung, kunjungan perpustakaan kali ini semakin keramat buatku, bukan keramat karenatuntutan tugasperkuliahan, melainkan karena ini tentang kamu. feeling ku tidak salah, sejak kunjungan yang disengaja itu, aku berusaha mengenalmu dengan baik, menawarkan diri sebagai teman bercerita dan aku juga tau, kalau ternyata kau orang yang senang bercerita, benarsekali hari itu adalah hari keberuntunganku, kita tidak hanya sekedar bertukar nama, tapi juga bertukar nOmor HP.

***

Waktu ternyata lihai sekali bermain, lihai mempermainkan perasaan kita, saat kita tengah menantikan sesuatu yang penting, ia berjalan seperti siput yang kekenyangan,pelan dan amat lama, sebaliknya saat kita tengah dibebani deadline dan berharap ia memberikan kesempatan untuk kita lebih lama, waktu seperti menggerahkan seluruh energinya untuk berpacu dengan kita dan membuat semuanya berantakan.

Seperti hari ini, apa yang menyebabkanya seperti melesat dengan kecepatan cahaya diruang hampa? mengapa hitungan dua tahun terasa baru kemarin sore? mengapa tak berjalan seperti siput saja, dan tanpa kita sadari kedekatan yang tak bernama ini semakin menjelaskan keberadaanya di hatiku, di hati kita.

Dua tahun yang cukup berarti buat kita, dua tahun yang ditulis dengan seribu bait harapan dan rencana, sepotong mimpi indah dan segudang rasa cinta.

Bagaimana bisa Andini?” pertanyaan demi pertanyaan bercampur dengan rasa marah, kecewa dan terpuruk menggiling pikiranku , mengiris hati terasa amat pedih seperti luka yang disirami air cuka. Barangkali kalau luka itu ada di tubuh bagian luarku,tinggal ku bilas dengan air mengalir dan ku balut dengan kapas atau lainya, tapi luka itu sekarang ada di bagian yang tak terlihat tapi pedihnya sampai kemata, dan membuatkusetengah gila.

Dua tahun itu, jujur aku sangat dekat dengan mu, barangkali banyak persamaan antara kita, kau dan aku sama sama menyukai seni, walau jurusaanku ada di dunia politik dan lebih banyak bergulat dengan jurnal, akan tetapi seni adalah satu hal yang sangat seksi buatku. Begitu pula kau, dan yang paling menyebalkan adalah saat kita berdebat dan menghabiskan waktu hampir 2 jam hanya untuk mempertahankan seni Indonesia yang paling eksotis, karena kau terlalu teoritis sementara aku tidak punya teori-teori itu, kau merasa pendapatmulah yang paling benar, padahal aku tidak setuju.

Tapi itu adalah hal yang paling berkesan bagiku, kau tahu? itu menandakan kita adalah pasangan yang menyenangkan, setidaknya buat kita sendiri.

Tak bisa ku hindari lagi, semakin hari rasa itu bermekaran di hatiku, semua yang ada padamu menjadi menarik di mataku. Kau sederhana dan aku memang tidak menyukai perempuan yang berlebihan. Semua tentangmu adalah indah di pikiranku, bukankah itu adalah gejala bahwa aku jatuh cinta?

Mungkin kau tidak tahu, kalo aku selalu membenarkan pendapatmu walau terkadang kita sering berdebat dan seolah olah aku tidak sependapat denganmu,padahal berdebat denganmu hanyalah caraku mencuri waktu dan kesempatan menikmati semua keindahanmu yang terselip di mataku.

Andini, lagi lagi rasa sakit itu terlalu menusuku, dan saat ini semua kenangan yang terlalu indah itu malah menghujam hatiku dan terasa sangat pahit. Terus terang ini tidak adil, t-i-d-a-k a-d-i-l.

seribu pertanyaan datang bergantian dengan kecepatan maksimal dan tak terjawab olehku,

“kenapa tiba tiba?,”

“ kenapa begitu cepat?, “

“kenapa kau tak memberi tahu berita sepenting ini dari awal?,”

“ bagaimana bisa kau tega melakukan pertunangan itu?,”

“apakah kau benar-benar mencintainya?, “

“apa salahku sehingga kau biarkan aku meradang seperti ini?”

“pernahkah kau memikirkan aku?”

“ apakah benar kau tidak lagi membutuhkanku?”

“kenapa kau menerima pertunangan itu?”

“ siapa dia?”

“ apakah dia adalah laki laki yang kau harapkan?”

“ mengapa kau tak pernah bilang sebelumnya?”

“apakah ini keinginanmu ataukan keinginan orang tuamu saja?”

“ mengapa tak kau jelaskan pada mereka bahwa kau memiliki aku?”

“ masihkan kau memikirkan masalah kita saat ini?”

“ apakah kau yakin kau akan bahagian dengan nya?”

lantas mengapa,,,,?.

Jam sudah menunjukan pukul 00.00 wib. Kos kosan kecil itu masih tidak berubah dari bentuk semula, dari subuh hingga saat ini. Aku terbaring di tempat tidur, gusar sambil memegang hp di tanganku, di bantalku terdapat beberapa buku referensi tentang pemikiran kontemporer dan klasik dari para pemikir dunia, selimut yang berantakan, serta gelas bekas kopi masih berada di meja kecil sebelah ranjangku. Malam semakin larut, kali ini jam menunjukan 00.05 menit, nada pesan masuk berdenting di ponselku, pesan itu ternyata dari kau, buru buru aku membukanya, mungkinkah kau akan memberi kabar gembira kepadaku, ataukah kau berubah pikiran, apa yang membuatmu tiba tiba mengirimiku pesan selarut ini, apakah kau juga tengah terjebak dalam memikirkan kenangan antara kita, dan kemudian ingat padaku? aku sedikit bersemangat membacanya.

sebuah sms yang panjang darimu,

“ Teguh, sedang apa sekarang?, maaf aku telah membuatmu kaget dan semua nya harus seperti ini.

Teguh, mungkin ini amat menyakitkan untukmu dan juga aku, itulah mengapa aku tidak pernah berani mengabarimu tentang peristiwa ini, kau boleh mengutukku dengan ini, silahkan kau membenci ku, mungkin dengan kebencian dan rasa sakit yang menikung hatimu, kita bisa saling melupakan.

tidak ada yang ingin ku benarkan, ijinkan aku menjelaskan kenapa keputusan ini menjadi pilihan, sebuah rencana yang tak pernah ada dalam rencana awal kita, bahkan sehari sebelum keberangkatanku pulang.

Teguh, kau masih ingat cerita tentang ibu, yang pernah ku ceritakan padamu? aku pulang untuk itu.

beberapa hari yang lalu, ibu tiba tiba memintaku untuk pulang, katanya Om Darmo sakit keras. Ini tidak ada hubunganya dengan kita, tidak juga dengan ku, tapi ini berhubungan sekali dengan keluarga kami yang berhutang budi kepada Darmo, orang yang selama kepergian ayah telah berjasa menopang keluarga ku. Ibu berhutang banyak kepada Darmo teman baiknya sedari kecil.

Semenjak kepergian ayah, kondisi kesehatan ibu menurun drastis, ia sangat terpukul dengan kecelakaan mobil yang membawa ayahku dua tahun lalu. Rasa kehilangan yang begitu besar mempengaruhi kesehatan ibu, dan itu menyebabkan radang rahim yang pernah di derita ibu kembali kambuh sehingga ibu harus di operasi dan menjalani terapi. Itu semua berkat Om Darmo, aku tidak begitu paham kenapa Om Darmo begitu baik kepada keluarga kami. Om Darmolah yang membiayai operasi ibu dan membiayai terapi yang rahus ibu lakukan hingga keadaanya membaik. akutidak mengerti mengapa Om Darmo begitu memperhatikan keluarga kami, tapi aku yakin ini hanya persoalan rasa persahabatan yang terlalu dekat antara mereka,antar ibu ayah dan Om Darmo, jadi aku sangat maklum dan mungkin sangat berterima kasih atas semua kebaikan Om Darmo kepada keluarga kami.

selama dua tahun itu, Om Darmo sangat memperhatikan keadaan kami, sering ia berkunjung ke rumah sekedar memastikan keadaan ku dan adik adik, sementara itu ia juga intens menjenguk ibu dan mengurus semua tetek bengek pengobatanya, berkat perhatian Om Darmo lah aku dan ibu bisa lebih baik menerima kehilangan ayah dan menjalani kehidupan kami dengan baik. Aku aku sangat dekat dengan Om Darmo, betapa pengorbanan Om tidak bisa ku lupakan, dan ntah bagaimana caranya agar ku bisa membalas.

yang jelas keluarga kami sangat berhutang budi kepada Om Darmo.

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskanya kepadamu Teguh, ini memang tidak adil untuk mu, tidak adil untuk cinta kita, tapi aku harus melakukanya, karena inilah caraku agar bisa menebus semua hutang kebaikan Om Darmo kepada keluarga kami, benar atau tidak aku tidak mengerti.

tepatnya seminggu yang lalu, sepulangnya kita dari nongkrong bareng, saat itu ibu menelpon, mengabarkan keadaan Om Darmo, saat ini Om Darmo sakit keras, iamenderita gagal ginjal dan terpaksa menjalani cuci darah. Bagiku Om Darmo lebih dari seorang Om, dia menggantikan peran ayah yang selama ini tidak ku temukan lagi, ia telah berjasa mengambalikan keadaan keluarga kami saat awal kehilangan ayah dan terpuruk begitu dalam, saat tidak ada seorangpun yang bisa membantu kami, Om Darmo menyediakan seluruh waktunya melewati masa masa sulit itu.

Selepas ibu menelponku dan mengabarkan keadaan Om yang sudah berada di UGD, aku lansung memesan tiket kereta ke Jogja, maafsaat itu tak sempat mengabarimu sebelumnya, semua terasa sangat buru-buru karena ibu memintaku pulang dengan kereta pertama esok paginya.Dari Jakarta ke Jogjakarta butuh sekitar 7 hinga 8 jam perjalana, selama itu pikiranku hanyaterfokus memikirkan kondisi Om. Sesampainya Di Jogjakarta aku lansung ke rumah sakit dan melihat keadaan Om Darmo, semua serba tidak terduga Teguh, saat itu kondisi Om Darmosemakin memburuk, dan kepanikanku terjawab sudah, karena sesampainya aku di ruangan rawat inap itu, ia pergi meninggalkan kami.

Dan semua kesedihan ini berawal disana.Om Darmo mewasiatkan kepada ibu, bahwa kelak saat ia sudah tidak ada, ia ingin menjadikanku pewaris perusahaannya, dan itu berarti aku harus menikah dengan Gilang, anak tunggal Om Darmo yang selama ini tengah menyelesaikan studynya di New York.Om Darmo menyayangi keluarga kami, seperti saudaranya sendiri, oleh sebab itulah ia memilihku sebagai istri yang paling sesuaiuntuk Gilang, putrasatu satunya.

walaulama tidak bertemu, aku dan gilang saling mengenal, ia sahabat baiku sedari kecil, dan aku tidak pernah menyangka, Om Darmo memilih ku sebagai menantunya, rencana ini tidak pernah terduga sebelumnya, ini juga bukan perjanjian antara dua sahabat dekat antara ibu dan Om Darmo. hanya saja ini seperti wasiat bagiku, aku merasa tidak sanggup mengabaikan wasiat dewa penyelamat keluarga kami.

Aku sangat tergoncang saat memutuskan perkara ini Teguh,ini akan sangat sulit untukmu, aku tak mampu membayangkanya. Akan tetapi bagiku saat ini tidak ada pilihan, menjalani hidup bergelimang cinta denganmu terasa begitu egois untukku. Mungkin Gilang belum bisa merebut hatiku seperti yang kaulakukan, tapi kebaikan Om Darmo dan ketulusan nya membuat ku ingin belajar mencintai putra nya, dan menjadi pendamping yang baik untuk nya.

Maafkan aku Teguh, cintai ini tak bisa beralih nama dari namamu, tapi memiliki bukanlah segala galanya untuk kita. karena mencintai tidak pernah mengajarkan ke egoisan, semoga kau bisa memahami keputusan ini.

“trak,,,” hp itu terlempar ke dinding kamar, aku tidak tau lagi harus berbuat apa? dan harus bagaimana. separo hatiku meradang kehilangan mu andini, aku bukanlah seorang dewa yang punya kelapangan hati menerima keadaan terburuk, tapi,,,

lagi lagi aku kehilangaan kata kata kepada diriku sendiri, separo hatiku marah dan kecewa, tapi sebagian memintaku memahamiposisi andini yang mungkin tak punya pilihan dalam dirinya,

aku memegang kepala membolak balik rambut kusut sambil menahan geram, tak ada yang bisa ku lakukan selain pasrah, barangkali membiarkanmu melakukan yang terbaik untuk keluarga dan kehidupanmu adalah caraku mencintaimu saat ini, Andini.

tak ada kata yang bisa ku sampaikan kepada mu, yang terucap hanya kata” semoga bahagia ”. dari orang yang selalu memiliki cinta untukmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun