Mohon tunggu...
Syailendra Persada
Syailendra Persada Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya adalah mahasiswa fakultas ilmu budaya 2007 dan tertarik dengan kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sofisme dalam Pemerintahan Indonesia

3 Februari 2011   07:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:56 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Presiden SBY dalam pidatonya di hadapan pejabat TNI dan Polri "mengeluhkan" gaji presiden yang tidak pernah naik selama tujuh tahun terakhir.  Terlepas dari silang pendapat apakah itu adalah bentuk curhatan dari SBY atau hanya sekedar basa-basi untuk mencairkan suasana rapat, nyatanya rencana kenaikan gaji pejabat negara termasuk presiden diusulkan oleh Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo.

Seperti dilansir oleh Republika (26/1) Menkeu menyatkan mengusulkan kenaikan gaji 8.000  pejabat negara di yahun 2011.  Dengan mekanisme kenaikan yang sedemikian rupa Menkeu berharap bahwa kenaikan tersebut juga akan berimbas kepada kinerja pejabat negara agar semakin optimal.  Yang artinya logika masyarakat saat ini dibalik dari ajaran yang ada bahwa seseorang dituntut menjalankan kewajibannya terlebih dahulu baru bisa menuntut haknya.  Tetapi dengan wacana tersebut jelas bahwa apa yang terjadi seorang pejabat diberi haknya dulu di depan baru menjalankan kewajibannya.

Hal ini diperparah dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Menkeu (Republika,26/1) yang mengatakan bahwa kenikan gaji 8.000 pejabat negara ini tidak akan membebani anggaran negara.  Di tengah kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang masih di bawah rata-rata pernyataan yang dilontarkan oleh Menkeu tersebut tidak lebih dari sebuah ironi.

SOFISME
Apa yang dilakukan oleh Menkeu dengan pernyataanya tersebut adalah sebuah retorika yang mendukung adanya kenaikan gaji untuk pejabat negara.  Dimana retorika tersebut dilontarkan untuk memberikan pembenaran terhadap sesuatu.

Hal ini lah yang dilakukan oleh para kaum sofis yang hidup di era filsafat pra-sokratik, mereka menjual kebenaran untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.  Para penganut sofisme meyakini bahwa di dunia ini tidak ada kebenaran yang mutlak, semua hal benar menurut ukaran masing-masing individu (relativisme).  Ajaran ini lah yang kemudian mengilhami teori relativitas einsten.

Awal kemunculan kaum sofisme juga tidak terlepas dengan sistem demokrasi yang sedang menghagemoni masyarakat Yunani pada saat itu.  Berbeda dengan sistem pemerintahan monarki ataupun oligarki dimana rakyat tidak memiliki kebebasan berbicara.  Dalam sistem pemerintahan demokrasi rakyat diberi kebebasan untuk menyammpaikan argumen mereka sehingga lahirlah orang-orang yang memiliki kemampuan berbicara atau bersilat lidah (retorika).

Apa yang dilakukan oleh kaum sofis pada saat itu memanglah bukan sesuatu yang lazim dilakukan oleh para filsuf, yaitu mengajarkan filsafat dijalan-jalan.  Tetapi hal tersebut bukanlah alasan kenapa kaum sofis ditempatkan kedalam stereotip sebagai perusak tatanan masyarakat yang ada.

Alasan kenapa citra kaum sofis buruk selain karena mereka tidak meyakini adanya kebenaran yang mutlak seperti yang diyakini oleh masyarakat pada saat itu adalah karena mereka menjula kebenaran yang mereka yakini untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Padahal Filsafat bagi masyarakat Yunani di zaman itu seperti agama yang harus dijaga kesuciaannya.

Fenomena bagaimana sebuah ajaran menjadi komoditas perdagangan juga lah yang menjadi salah satu faktor pemicu meletusnya revolusi industri di Prancis yaitu ketika gereja menjual surat pengampunan dosa.  Sehingga keberadaan kaum sofis tidak lebih dari sekumpulan filsuf yang menjual ketidak adaan (nihilisme).

SOFISME DI INDONESIA
Jika ditarik kedalam kehidupan sosial-politik corak ajaran kaum sofis juga terasa di Indonesia khususnya di kalangan para teknokrat.  Teknokrat yang pada dasarnya adalah intelektual seharusnya mampu berdiri pada posisi sebagai pelindung rakyat.

Tetapi apa yang terjadi di Indonesia dewasa saat ini berbicara sebaliknya, banyak dari para intelektual yang kemudian duduk di dalam lingkaran pemerintah (menjadi teknokrat) mencederai ilmu pengetahuan yang mereka miliki dengan menjual kebenaran untuk mendukung kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun