Mohon tunggu...
Tristan Adi Nugraha
Tristan Adi Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Terkadang Menulis

.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bromo, Kediaman di Atas Langit

24 April 2017   15:47 Diperbarui: 25 April 2017   03:00 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

         

 Bromo merupakan deretan pegunungan di Probolinggo, Jawa Timur. Pertama kali saya mendengar tempat ini adalah waktu masih kecil, mungkin TK atau SD. Saya hanya bias melihat sebuah gunung coklat dengan garis-garis yang aneh untuk anak seumuran saya. Di dekat gunung itulah kedua orang tua saya berfoto. Kampung halaman saya kebetulan ada di Malang, sehingga saya menyadari bahwa ada kemungkinan orang tua saya akan mengajak saya pergi ke tempat di foto itu suatu hari nanti. Pikiran kecil saya waktu itu berkata bahwa tempat ini akan membosankan, dengan hanya gunung coklat itu sebagai daya tariknya. Setidaknya itu sebelum saya tahu apa arti kata “surga”.

            Suatu kali saat saya pulang kampung, akhirnya  tiba saatnya kita pergi ke Bromo. Dengan masih memiliki pemikiran kecil itu, saya tidak terlalu tertarik dengan perjalanan ini. Saya hanya tipikal anak kota biasa yang mengharapkan adanya wifi di penginapan kami waktu itu. Bersama kedua orang tua, saudara, dan keluarga saya yang ada di Malang, perjalanan panjang menuju Probolinggo kami tempuh dari bandara Abdulrachman Saleh memakai Jeep. Kota Tumpang kami tuju dengan waktu 45 menit. Tumpang adalah salah satu gerbang menuju Caldera Tengger yang akan membawa kami ke Bromo. Di Tumpang kami belum menemukan sesuatu yang special, namun kami menemukan kebahagiaan di sepanjang jalan berliku yang kami lalui Karena dipenuhi dengan pepohonan hijau dan lahan sayuran yang begitu luas. Jarang sekali orang seperti saya melihat pemandangan hijau seperti ini. Jalanannya menanjak, jadi terkadang membuat ngeri sedikit. Namun itulah keseruan yang akan dialami jika menjelajah alam. Begitu sampaindi Ngadas,  kami sampai di sebuah desa yang ada di pegunungan. Saya jadi membayangkan desa tempat saya live-in dulu pada saat kelas 9 di suatu desa di Yogyakarta Suasananya benar-benar sejuk, dengan banyak anak bermain di dekat rumah mereka. Jalanannya menanjak, entah apa yang ada di puncaknya. Lagipula, ini pertama kalinya saya pergi ke suatu pegunungan. Kami sampai di tempat dengan Jeep untuk disewakan. Ini juga merupakan pengalaman pertama saya menaiki Jeep. Saya duduk di belakang bersama keluarga saya, menantikan tempat tujuan kami. Perjalanan di Jeep menanjak lagi, jadi bisa dibayangkan setinggi apa pegunungan ini. Saya ingat jalan yang kami lewati bercabang dua ke arah kiri dan kanan, dan kami-pun mengambil jalan yang ke kiri. Mata saya langsung tidak bias memercayai hal pertama yang saya lihat di sekitar jalan itu.

            Savana yang hanya terdiri dari rumput dan tanah membentang luas hingga ke ujung pandangan saya. Di sekitarnya deretan pegunungan membentang bagai tembok yang melindungi kawasan itu dari sentuhan manusia. Langit menghiasi kawasan yang berjulukan “Bukit Teletubbies” ini bagai atap tak berujung. Inilah Bromo. Jauh lebih baik dari yang saya pikirkan tentang wilayah pegunungan. Tak pernah saya melihat sesuatu yang membuat saya merasa bebas, bahkan dengan adanya manusia lain dan Jeep disana. Turun dari Jeep, sebagai anak kota, hal yang saya lakukan adalah mengabadikan beberapa spot disana dengan berfoto. Lalu saya menyadari, berfoto tidak akan membuat saya menikmati  tempat ini dengan penuh. Saat itu juga saya masukkan handphone saya ke dalam saku celana dan menghirup udara yang tidak akan bisa didapat di kota.

            Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan melalui lautan pasir gelap menggunakan Jeep. Debu dari geseka roda dan pasir menambah kesan petualangan waktu itu. Kami tiba di sebuah parkiran Jeep. Di sekeliling kami banyak warung kecil menjual berbagai makanan dan kuda. Saat awal saya tidak ingin naik kuda. Namun Karena penasaran akhirnya saya dan kedua saudara saya menyewa kuda untuk dinaiki. Tiap kuda dijaga oleh seorang pawing, untuk menghindari hal yang tidak didinginkan. Ini pertama kalinya saya menaiki kuda. Kami bertiga menuju ke suatu lokasi yang mirip dengan foto dari masa kecil saya, diikuti dengan keluarga kami yang memilih berjalan kaki. Saya sampai di bawah kaki sebuah gunung. Itulah tempat di foto saya dulu. Menanjaki puluhan tangga, saya bersama kedua saudara saya sampai di puncaknya. Saya menyadari bahwa gunung itu adalah sebuah kawah belerang dengan uap putih keluar dari tengahnya. Kami berfoto beberapa saat sambal menikmati angina diatas saya yang berhembus cukup kencang. Setelah turun, kami langsung check-in di penginapan Grand Bromo. Di kamarnya tidak ada wifi, namun semua pemandangan tadi membuat saya hamper melupakannya.

            Esoknya kami bangun jam 4 pagi untuk melihat sunrise/matahari terbit. Sekali lagi ini merupakan pengalaman pertama saya. Waktu itu saya penasaran dengan matahari terbit. Kami sampai di spot untuk melihat sunrise tersebut, dan sudah banyak orang menunggu munculnya matahari sambal melawan dinginnya pagi di gunung. Perlahan-lahan saya melihat cahaya jingga mewarnai dunia di seberang saya seiring munculnya matahari. Spontan kami semua mengabadikan momen langka ini. Pergi ke Bromo membawa kenangan tersendiri akan banyaknya pengalaman pertama dan indahnya ciptaan Tuhan. Saya bersyukur masih hidup untuk bias pergi dan melihat tempat ini, dan tidak akan ragu untuk pergi lagi ke sana jika ada kesempatan di masa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun