Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teringat Pua-ku, Seorang Napat'er

6 Juni 2017   07:27 Diperbarui: 6 Juni 2017   08:29 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

(Memori indah masa kecil bersama Pua)

Bersyukur, Pua masih hidup.Maka, kuceritakan kembali memoriku ketika kecil di dusunku yang terpencil, jauh dari keramaian kota. Artikel ini memang sengaja kuhadirkan, agar adik-adikku tahu, bahwa dulu, ketika Pua masih kuat, beliau punya kehebatan (untuk ukuran di kampung).Salah satu kehebatannya adalah, jago menunggang kuda untuk kegiatan ‘napat’ (menangkap rusa atau kerbau dengan cara menunggang kuda).Karena jago dalam hal ‘napat’ itu pulah, maka namanya selalu disebut-sebut, dengan sebutan ‘Pua de Ganggang’. Selain itu, pernah menjadi ‘pencaci’ (orang pandai pecut-memecut dalam tarian Caci di Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur). ‘Rait’-nya (semacam kejagoannya setelah menangkis pecutan lawan) adalah ‘Lalong Kador Bambor’(Ayam Nakal dari Bambor).

Mentari masih menguakkan warna merahnya di ufuk timur. Sementara langit hatiku, masih dipenuhi awan hitam. Apa gerangan terjadi? Lalu, terjawab juga. Usai shalat Subuh tadi, aku menangis. Saat itu, terdengar semacam seruan,”Hai anakku, mudiklah ke kampong halamanmu yang telah lama kau tinggalkan!” Aku diam sejenak, sambil melirik ke samping, Ah…, suara dari mana itu?” batinku.

Dalam seketika, bulir-bulir air mataku membentuk danau kecil Dan akhirnya membuncah keluar melalui pipi.”Belakangan ini, kampong halamanmu, memanggil-manggil namamu!” kembali suara itu datang ke telingaku. Iya, suara itu, akhirnya seakan terjawab, meski berupa ‘neong’ (deringan suara di telinga yang menurut kepercayaan di kampong tempo doeloe, bermakna, ada yang menyebut nama kita).

Dari situlah, aku menduga, pasti kerinduan Pua, buat aku anaknya.Itu pasti, setelah beliau shalat Subuh tadi, menyebut nama anak-anaknya dalam berdoa. Itu juga  pasti, dalam doanya, membangunkan jiwa dan roh kami anak-anaknya untuk pulang barang sebentar saja, sekedar mereguk romantika masa kecil sekaligus kembali mereguk udara dan meneguk air kehidupannya yang barangkali sudah lupa bahwa air kehidupan di kampungku selalu menghaluskan perasaan, tinimbang air kehidupan di kota.

Iya, aku ingat, dua bulan lalu, Ine*) sudah pulang. Dan sebelum pulang, beliau menyebut-nyebut namaku, sekaligus mencari aku keliling kampong. Padahal aku anaknya, berada di rantau. “Ke mana Ine?’ tanya orang sekampung. Mencari anakku Usman, tadi ada di sini. “Ah…Ine, salah! Pak Usman masih di kota. Ine tak menjawabnya, terus saja menyebut namaku dan mencarinya keliling kampong.

Semuanya, aku ingat. Apalagi adik bungsu, Fatima, selalu menelpon dan selalu menceritakan hal yang sama, yaitu cerita tentang Ine yang selalu mencari dan menyebut namaku. Maka, ketika dia ceritakan lagi, aku hadirkan puisi buat Ine yang telah pulang.

Mungkin Rindumu,  Membuncah?

[titip rindu buat Ine]

Siang, terasa terik memanas

Bersik angin pun  tak tampak melodi  suaranya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun