Saudara kita Jumini Nizam pada edisi kali ini, bernarasi terkait menoreh luka tokoh ‘aku’ dengan tajuk : “IZINKAN AKU MENULIS KISAHMU NIE”. Sebuah permohonan yang bernuansa puitis. Bukan hanya hadirkan nuanasa puitis tetapi juga bermakna luas dan dalam. Kepada kita sebagai penikmat, Saudara Jumini mengingatkan, agar senantiasa minta izin sebelum kita membicarakan tentang pribadi, meskipun kepada adik , apalagi kalau orang lain terkait pola tingkahnya dalam keseharian.
Bagaimana bentuk izinnya Saudara Jumini, terkait pola tingkah seorang Nie yang disapanya sebagai adik? Dia memulainya, berawal dari menyebut nama tokoh ‘aku’ bernama Nie, yang kesehariannya selalu berada di tempat hiburan malam. Dalam hal ini, Mbak Jumini bertugas sebagai pengamat masalah social. Berikut ini, selengkapnya!
Nie,
Aku tahu, kau pernah tenggelam di dasar lumpur paling hitam sepanjang perjalanan hidupmu, bahkan sedetik saja kau luput menaikkan kepalamu ke permukaan, mungkin kini kau hanya sebuah nama yang terlupa.
Saat ini, kau hanya butuh sedikit kebebasan, menikmati semilir juga kesiur angin, yang olehmu pasti tak sebanding dengan lebam di bahumu akibat beban yang kau panggul begitu gunung.
Dulu, kau selalu habiskan waktu di hampir setiap tempat hiburan malam, tapi kau tidak pernah larut Nie, kau bahkan tetap wangi sebagai bunga yang sedang mekar, kau tetap pada pesan ibu; ADA ZAT YANG MELIHATMU DIMANAPUN KAU SEMBUNYI NDUK.
Itulah kau Nie. Di balik tingkah binalmu, sesungguhnya ada ribuan jarum yang sedang menancapi jiwamu.
Di balik rekah madumu, kau sembunyikan ramuan mahoni, yang sengaja dibuat sebagai anti malaria.
Sabar Nie, mungkin takdirmu adalah untuk menuai ujian, bahkan sampai lelah kakimu melangkah menuju pembaringan abadi.
#RBU--300517
Sama seperti pada edisi pertama, Menganyam kisah cinta dalam hidup, pada edisi kedua ini, bahasa yang diungkapkan Mbak Jumini, begitu gurih dan segar, lalu alurnya bagai mengalirnya air di sungai. Lancar dan mencair. Pelukisan kisah hidupnya Nie, begitu puitis, dan meninggalkan kesan mendalam. Perhatikan bait pertamanya: Bermula dari kehidupan Nie yang pernah tenggelam di dasar lumpur paling hitam.” Lumpur apa itu?”, tanya kita sekenanya.
Tetapi ketika kita diajak untuk masuk lebih dalam lagi, simpulan kita pun mengena, yaitu terkait sikap yang dilalui Nie sebagai tokoh ‘dia’ (Nie si tokoh dia yang diceritakan). Begitu menyedihkan. Si Nie, hidup penuh dengan lumpur dosa, lantaran sikapnya dalam tempat hiburan malam. Simpulan kita beralasan, karena terlukis dalam alur bait pertama, Jumini sebagai pengamat sudah melakukan pengamatan yang objektif, sahih, dan akurat yang dirangkai indah hingga terdeskripsi dengan apik, apalagi memanfaatkan majas segarnya seperti : /bahkan sedetik saja kau luput menaikkan kepalamu ke permukaan, mungkin kini kau hanya sebuah nama yang terlupa//.
Tapi itu dulu. Kini,(perhatikan bait kedua), Nie menanggung segala perbuatannya selama berada di tempat hiburan. Mbak Jumini sebagai pengamat mencatat sejumlah derita Nie: /lebam di bahumu akibat beban yang kau panggul begitu gunung//.Kembali Mbak Jumini hadirkan majas segar: /kau panggul begitu gunung//.