Satu hal yang bikin saya heran menikah sama orang Amerika itu, mereka sering sekali bilang "Thank you" dan "Sorry". Ini dua kata ini saya dapat lima kiloanlah sehari; andai bisa dikilo. Dua buah kosakata yang jarang saya temui ketika saya hidup di kampung. Kalau tidak mepet2 amat dan tidak urgent banget itu dua kata yang hampir dimuseumkeun di kampung saya apalagi ucapan Terima kasih dan Maaf dari atasan ke bawahan, orang tua ke anak, dari kakak ke adik, atau orang-orang yang berada di hierarki tinggi kepada yang berada dibawahnya. Dua kata yang lumayan mahal.
Bahkan ada bibi saya yang mertuanya dan keluarga mertuanya itu katanya anti mengucapkan maaf. Mentang2 mereka bekas ningrat dulunya katanya. Catat; bekas ningrat bukan masih ningrat. Ningrat itu artinya orang kaya di tempat saya. Saking sombongnya karena kekayaan sampai2 ogah mengucap maaf. Bibi saya sampai ketawa waktu suatu Idul Fitri suaminya meminta maaf. Padahal itu cuma lewat telpon dan karena sehari sebelumnya dia bikin salah. Katanya suaminya ini gak pernah minta maaf.
Umumnya kata sorry atau maaf baru keluar dan berhamburan hanya ketika Idul Fitri. Sebagian karena terpaksa malah keluarnya. Tapi disini, lha setiap saya bikin teh dan sarapan buat suami saya, bahkan ngasihin handuk ke tangannya ketika mau mandi, kata thank you selalu meluncur dari bibirnya. Saya pikir itu sesuatu yang enteng dan merasa sudah menjadi kewajiban saya.
Tiada hari tanpa thank you dan sorry pokoknya. Saya sampai bosen ngedengernya. Saya bilang di Indonesia itu bilang maaf kalau Idul fitri saja dan masak itu sudah dirasa kewajiban istri, jadi gak usah bilang terima kasih. Tapi malah lidah saya jadi kebawa kebiasaannya. Suatu hari saya pernah bercanda sama suami soal sorry ini karena saking bosen ngedengernya.
"Ayang, save your sorry for Idul Fitri" kata saya.