Topik pilihan ini sudah lama saya baca, namun perlu energi lebih untuk bisa menggali aspek-aspek yang sekiranya belum dibahas secara detail. Bahasa Indonesia yang digagas oleh para pendiri bangsa adalah bahasa pemersatu seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama dan etnis.
Saya secara pribadi bangga bila dapat berbahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan. Berbahasa Indonesia dalam miliu yang ilmiah maupun non ilmiah. Paling tidak, saya berusaha untuk mencintai bahasa tanah air ini.
Saya pun mengamati berbagai jenis karakter masyarakat kita dalam menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu tentu akan melekat, namun bahasa Indonesia layaknya seperti bahasa asing dan subjek tambahan dalam kurikulum sekolah.
Hal tersebut tentu menimbulkan aneka gaya hidup yang terkonstruksi dari individu masing-masing. Ada segolongan yang masih menjaga kecintaannya terhadap bahasa Indonesia. Ada pula yang lambat laun menggantikan bahasa Indonesia dengan bahasa asing sebagai bahasa pergaulan.
Pada kenyataannya, memang ditemui beberapa kelompok yang masih malu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun ada pula yang gengsi karena merasa bahasa Indonesia kurang menarik untuk didengar bahkan untuk diucapkan.Â
Apa mau dikata? Begitulah fenomena yang terjadi. Saya merasa optimis bahwa ada pula kelompok yang menjadi ujung tombak untuk mengajak kembali masyarakat agar mencintai kembali bahasa Indonesia dan ditempatkan pada porsi yang seharusnya.Â
Keprihatinan terhadap Bahasa Indonesia
Bulan lalu, saya menjadi salah satu panitia pada sebuah Festival Orang Muda yang diadakan oleh salah satu media nasional di kawasan Jakarta Barat. Ada beberapa tamu yang diundang, salah satunya adalah musisi Deugalih.Â
Dalam sebuah interview singkat dengan MC di atas panggung, Deugalih menyampaikan keprihatinannya terhadap anak-anak Jogjakarta khsususnya (dan daerah lain di Indonesia) yang diharuskan belajar bahasa asing sejak dini.
Menurutnya, jika kurikulum tersebut dicanangkan di kota besar seperti Jakarta sudah menjadi maklum. Kita mengerti bahwa Jakarta adalah kota metropolitan, warganya adalah kaum urban, sehingga anak-anak usia sekolah pun dirasa tak menemui kendala yang berarti untukbelajar bahasa asing.
Hal yang demikian berbanding terbalik jika disandingkan dengan anak-anak di daerah. Deugalih berharap jika anak-anak yang lahir dan tinggal di daerah dibiarkan untuk mencintai bahasa ibunya terlebih dahulu, kemudian bahasa Indonesia hingga melekat dalam diri.