Menulis tentang ini adalah salah satu bentuk ekspresi saya untuk menyuarakan apa yang mengganggu pikiran sejak beberapa tahun terakhir. Bukan karena sedang ramai dengan Pilkada yang ada di sejumlah daerah, khususnya DKI Jakarta.
Sejak saya pulang dari daerah dimana saya menghabiskan waktu masa remaja dan masa transisi menjadi orang dewasa, saya harus siap untuk dihadapkan pada persoalan sulit dan rumit yang terjadi di tengah masyarakat, udara ibukota memang tak lagi layak untuk dikonsumsi dan didiami.
Sejak tahun 1998 – 2007 saya akan pulang ke Jakarta dalam rentang waktu 2 kali dalam satu tahun, demikian peraturan yang tertulis di lembaga. Setiap kali pulang, saya selalu mengamati perubahan yang terjadi di Jakarta. Terutama fasilitas publik yang terlihat oleh kedua mata fisik ini.
Pada masa itu, saya hanya tahu siapa yang memimpin Jakarta, mulai dari Sutiyoso (Bang Yos) sampai Fawzi Bowo (Foke). Entah bagaimana, keterlibatan saya tidak begitu dekat dalam perubahan Jakarta, dan lebih cenderung tidak peduli, meskipun saya harus sakit mata dan sakit hati setiap kali melihat gedung-gedung pencakar langit baru bermunculan.
Kabar dari Jakarta yang paling fenomenal adalah banjir dan macet, begitulah teman-teman saya di asrama menyebutnya. Bagi saya, hal yang membanggakan menjadi warga di Ibukota negara nyaris tak ada, selain karena saya keturunan dari Betawi.
Tidak seperti kebanyakan orang, saya selalu menginginkan hidup di daerah yang masih memiliki udara bersih tanpa polusi, sejuk, dan hidup dengan para warga yang mengedepankan toleransi,keramahan, serta kepedulian terhadap sesama.
Saya masih beruntung dibandingkan warga-warga lain yang ketepatan bertetangga dengan kaum individualis. Ya, saya masih tinggal di daerah perkampungan bernama Rawabelong, di Jakarta bagian barat. Penduduknya masih terbilang asli, meskipun banyak warga pendatang di kanan-kiri tempat tinggal.
Saya melihat bahwa Jakarta sekarang seperti sarang kaum oportunis, maka dari itu saya ingin sekali Presiden Jokowi memindahkan ibukota negara dengan segera! – Sekeren apapun Jakarta ditata, pasti akan menimbulkan gesekan yang lebih dahsyat lagi.
Selebar apapun jalan-jalan di Jakarta, pasti akan macet juga. Sebagus dan sebanyak apapun transportasi massal diwujudkan, tak akan mengurangi laju kedatangan orang-orang dari daerah untuk mengais rezeki di Jakarta.
Intinya adalah Jakarta akan menjadi kota yang mirip dengan balon, jika semakin lama ditiup karena bertambahnya frekuensi udara, maka akan pecah juga! – saya secara pribadi tak ingin melihat Jakarta yang hancur.
Di Jakarta semuanya terhubung, seperti gurita yang siap menelan mangsanya dalam satu waktu. Kaum oportunis yang saya amati, layaknya menjadikan Jakarta sebagai objek yang diperbudak untuk memperoleh apapun yang diinginkan dengan berbagai macam cara.