Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi; Akar Tasawuf di Indonesia

5 Maret 2013   11:02 Diperbarui: 4 April 2017   18:01 4976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Penulis: Dr. Alwi Shihab, Ph.D

Penerjemah: Dr. Muhammad Nursamad

Penerbit: Pustaka Iman

Waktu terbit: Juni 2009

Jumlah halaman: 343 halaman

RESENSI

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang dikenal dunia sebagai bangsa yang memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi, hal ini dapat kita amati dari ajaran yang ada pada setiap agama, dan Islam pada khususnya. Dari masa penyebaran ajaran agama Islam, para pendakwah telah menanamkan nilai-nilai spiritual di setiap ajaran yang disampaikan kepada masyarakat. Spiritualitas Islam atau yang lebih dikenal di Indonesia disebut dengan tasawuf, tasawuf telah ada sejak penyebaran agama Islam di wilayah nusantara ini, berkembang pesat seiring diterimanya ajaran agama Islam ditengah-tengah masyarakat kala itu. Menurut catatan sejarah, ajaran Islam dapat berkembang karena disampaikan olah para pendakwah dari beragam negeri di Asia hingga Timur Tengah, diantara mereka ada yang berasal dari bangsa Arab, India, dan Persia. Menurut Abu Al-‘Ala Al-‘Afifi, kehidupan spiritual pada dasarnya bukan hal baru bagi Islam, melainkan sudah terlebih dahulu hidup dan berkembang di setiap negeri yang dimasuki Islam. Jika Islam pada hakikatnya adalah agama terbuka dan tidak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis, tasawuf Islam telah membuka wawasan lebih luas bagi keterbukaan yang meliputi agama-agama lain. Yang patut disyukuri dan lebih menarik lagi, bahwa penyebaran Islam di Indonesia tidak dilalui dengan agenda perang, karena Islam datang dan diterima dengan damai dan tangan terbuka.

Buku yang berjudul “Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi; Akar Tasawuf di Indonesia” oleh Alwi Shihab merupakan hasil penelitian disertasi yang berjudul asli “Al-Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Mu’ashir, yang akhirnya menjadi salah satu kontribusi penting bagi dunia tasawuf di Indonesia. Karya dari sarjana peraih gelar doktor dari dua universitas; Temple University dan University of Ain Shams Cairo, Mesir, setidaknya dapat melengkapi data-data sejarah perkembangan Islam di Indonesia, dan lebih khusus perkembangan ajaran-ajaran tasawuf.

Pada kesempatan ini, Alwi Shihab merupakan salah satu sarjana yang berasal dari Indonesia yang hendak mempersembahkan sebuah karya tentang sejarah tasawuf di nusantara dengan lebih detail dan informatif. Yang patut disyukuri adalah bahwa buku yang lahir dari sebuah disertasi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena melihat kondisi yang sangat perlu tidaklah ragu bahwa buku ini layak menjadi salah satu pegangan wajib bagi mereka yang ingin mengetahui sejarah tasawuf sunni dan tasawuf falsafi di Indonesia. Meskipun buku ini disajikan tidak secara holistik, namun sangatlah bermanfaat untuk dapat menjadi jembatan pemikiran antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Alwi berusaha untuk mengungkap fakta sejarah perkembangan tasawuf yang telah berkembang sejak awal kedatangan Islam di tanah nusantara, dari zaman datangnya para pendakwah yang juga pedagang dari Arab, Persia, dan India, hingga kemunculan Wali Songo di tanah Jawa pada khususnya.

Baik tasawuf sunni ataupun tasawuf falsafi, keduanya memiliki akar yang kuat bagi perkembangan ajaran tasawuf di Indonesia, baik secara nadzari (teoritis) dan amali (praktis). Dua aliran tasawuf ini berkembang pesat hingga saat ini, meski pada awalnya tasawuf sunni lah yang lebih dikenal dahulu oleh masyarakat pada saat itu. Tasawwuf sunni yang dibawa dan dikenalkan oleh para da’i memiliki karakter khusus, yaitu sebagai representasi dari ajaran tasawuf Abu Hamid Al-Ghazali. Banyak kalangan yang menganut ajaran tasawuf ini mempelajari teori dan praktik tasawuf berdasarkan pada kitab-kitab yang dikarang oleh Al-Ghazali, sedangkan yang terjadi pada tasawuf falsafi, figur Mansur Al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain, memegang teguh ajaran panteisme, meskipun pada kenyataannya banyak pula para pelaku jalan tasawuf falsafi yang menyimpang dari yang sebenarnya. Terlepas dari itu semua, pada kenyataannya, pada masa kini jalan spiritual atau tasawuf merupakan jalan alternatif yang sanggup menjadi benteng pertahanan tauhid, iman, serta ihsan bagi masyarakat Indonesia pada khususnya; tanpa menonjolkan doktrin yang dimuat dalam tasawuf sunni maupun tasawuf falsafi. Bagi mereka, selama dapat menjalani ibadah dan muamalah dengan tenang dan khusyu’ sudah cukup, dan memilih untuk mengikuti tasawuf sunni ataupun tasawuf falsafi sebagai jalan untuk ditempuh adalah perkara lain, karena berkaitan dengan keyakinan sepenuh hati.

Buku ini terdiri dari pendahuluan dan tiga bagian, terdiri atas bagian pertama yang membahas tentang Kehidupan Spiritual di Indonesia, bagian kedua membahas tentang danmesih seputar “Kehidupan Spiritual di Indonesia; Sumber-Sumber dan Tokoh-Tokohnya.” Bagian ketiga merupakan penutup dan catatan akhir. Bagian pertama ini diawali dengan kehidupan spiritualitas di Indonesia sebelum kedatangan ajaran-ajaran Islam, kemudian rangkaian sejarah asal – usul kedatangan para pendakwah dari berbagai negeri yang menyiarkan Islam dan ajarannya. Hal ini menarik perhatian bahwa para pelopor dakwah Islam di Indonesia dapat diklasifikasi menjadi tiga bangsa atau negeri; India, Persia, dan Arab. Kemunculan para Wali Songo pun tak ketinggalan menjadi data penting dalam penulisan buku ini, karena Wali Songo bisa dikatakan sebagai trend-setter bagi perkembangan tasawuf di Indonesia, pulau Jawa pada khususnya. Pada kala itu, masyarakat di Indonesia lebih banyak mengenal sosok Wali Songo dari pada sosok ulama yang lain, hal ini diakibatkan karena metode dakwah yang disampaikan lebih sederhana dan dapat dengan mudah dimengerti oleh khalayak. Untuk itu, para Wali Songo dapat dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam dan tasawuf di Indonesia, sejarah mencatat bahwa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang telah memiliki warisan karya tentang ajaran tasawuf yang manfaatnya sangat berpengaruh sampai sekarang. Sedangkan bagian kedua membahas tentang kehidupan spiritual di Indonesia; Sumber-sumber dan tokoh-tokohnya. Pada bagian ini dipaparkan sejarah mengenai tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi yang berkembang pesat di Indonesia, dengan disertai pula para tokoh dan karya-karya mereka yang hingga saat ini masih terasa pengaruhya. Di Indonesia Syaikh Nur Al-Din Ar-Raniri dan Syaikh ‘Abd As-Shamad Al-Palimbani dikenal sebagai pelopor bagi perkembangan tasawuf Sunni, karena metode dan ajaran-ajaran yang disampaikan sedikit banyak diserap dari hasil karya pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali, salah satu karyanya “Ihya Ulum Ad-Din” merupakan salah satu pegangan wajib bagi pengajaran tasawuf Sunni pada masanyadan hingga saat ini. Raniri berupaya keras dalam menanamkan serta mengembangkan ajaran tasawuf Sunni, hal ini tidak lain demi menunjukkan sikap antipati terhadap keadaan sosial masyarakat ketika itu, yang sangat mengagungkan materi sebagai gaya hidup, tasawuf Sunni disamping sebagai sikap juga dapat dikatakan sebagai alternatif dan solusi untuk menghindarkan masyarakat dari kecintaan terhadap hal-hal duniawi. Sepeninggal Raniri, ‘Abd Shamad Al-Palimbani berdiri tegak untuk meneruskan semangat perjuangan gurunya meskipun banyak pertentangan dimana-mana, Raniri yang begitu keras memperjuangkan tasawuf Sunni dengan mengadakan kampanye anti-tasawuf falsafi mendapat kecaman yang luas, meskipun pada akhirnya tetap mendapatkan tempat di masyarakat, perjuangannya tidaklah sia-sia dan berhenti sampai disitu. Al-Palimbani muncul untuk mengusung visi dan misi yang sama dengan gurunya. Dengan berbekal ilmu dari berbagai negeri yang telah ia kunjungi, Al-Palimbani tetap mengajarkan para pengikut tasawuf Sunni dengan ajaran-ajaran yang telah disampaikan sebelumnya. Semasa hidupnyaAl-Palimbani telah menulis sebanyak delapan karya, sebagian karya-karyanya merupakan tarjamah dari kitab-kitab Imam Al-Ghazali, dengan ditambahkan komentar-komentar. Tapi berbeda dengan gurunya, dalam hal pengaruh pemikiran yang ada padanya, Al-Palimbani terlihat jelas sangat terpengaruh oleh pemikiran Ibn ‘Arabi, hal ini nyata ketika dalam thesisnya tentang ruh, Al-Palimbani lebih mengutamakan konsep yang digagas oleh Ibn ‘Arabi, namun meskipun begitu Al-Palimbani tetap berusaha untuk membuat sinthesis terhadap pemikiran keduanya, hal ini sebagai bentuk upaya untuk menjembatani antara pemikiran Imam Al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi. Al-Palimbani berusaha untuk membuktikan bahwa ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi tidaklah berseberangan bahkan bertentangan dengan akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

Dalam sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia, peran tasawuf Falsafi tidak dapat dipisahkan begitu saja, apalagi banyak kontribusi yang telah diberikan dalam pemikiran-pemikiran tasawuf di Indonesia. Pada bukunya, Alwi menyusun beberapa tokoh pelopor tasawuf Falsafi, diantaranya: Syaikh Hamzah Fansuri dan Syaikh Muhyi Al-Din Al-Jawi. Hamzah Fansuri dikenal sebagai seorang Sufi nusantara dengan pengaruh paham wujudiyyah Ibn ‘Arabi, yang telah dianggap sebagai ajaran tasawuf yang sesat oleh Nur Al-Din Ar-Raniri, oleh karena itu Hamzah Fansuri dijatuhi hukuman mati semasa Raniri menjabat sebagai mufti, karya-karyanya telah habis dibinasakan, hingga dipastikan tidak ada lagi yang dapat mempelajari apa yang disampaikan oleh Fansuri, nasib serupa juga dialami para pengikutnya. Para murid dan pengikut ajaran tasawuf Falsafi yang digagas oleh Fansuri mendapat tekanan dari Syaikh Raniri dan juga pengikutnya. Rasanya tidak lengkap jika membahas ajaran tasawuf tanpa membicarakan tarekat, tarekat yang tak ubahnya seperti tasawuf praktis. Bersama dengan ajaran tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi yang berkembang sangat pesat, tarekat-tarekat yang dipimpin oleh para mursyid pun secara alamiah ikut pula berkembang. Tarekat biasanya dipelopori oleh seorang mursyid yang telah lebih dulu menuntut ilmu kepada gurunya atau syaikhnya, dan ketika dianggap telah layak dan mumpuni, barulah seseorang mendapatkan ijazah untuk dapat mengajarkannya kepada orang lain. Di Indonesia sendiri terdapat dua klasifikasi tarekat, yakni tarekat mu’tabarah (valid) dan tarekat ghairu mu’tabarah (invalid).

Dalam bukunya, Alwi menyebutkan tarekat-tarekat dan ciri-cirinya yang berada di Indonesia. Di samping itu, Alwi juga mendata para Syaikh yang dianggap sebagai pelopor keberadaan tarekat di Indonesia, diantaranya: Syaikh Yusuf Al-Makassari, ‘Abd Al-Shamad Al-Palimbani, dan Habib Abdullah Al-Hadad. Dan tak lupa di akhir pembahasannya mengenai tarekat, Alwi juga mengungkapkan tentang aliran kebatinan Jawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan kejawen. Ronggowarsito disebut-sebut sebagai “bapak kebatinan,” semasa hidupnya Ronggowarsito banyak menghasilkan karya dan pemikiran yang menjadi warisan spiritualitas di Indonesia. Diantara karyanya seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, Paramayoga, dan Serat Hidayat Jati.

Perkembangan spiritualitas di Indonesia sangatlah dinamis dari beragam aliran dan sumbernya, salah satu faktor yang menjadikan aliran-aliran spiritualitas ini berkembang adalah kesadaran beribadah dan toleransi, meskipun didapati tidak sedikit pula yang menjadikan para pengikutnya fanatik atau anti terhadap aliran tertentu. Spiritualitas di Indonesia pada khususnya, tidak dapat dipisahkan dari tradisi-tradisi serta adat istiadat dimana spiritualitas itu berkembang, katakan saja tasawuf baik Sunni maupun Falsafi, meskipun tidak didapati kesamaan di awal masuknya Islam atau tasawuf itu sendiri. Para pendakwah harus bekerja dan berjuang keras guna diterimanya Islam dan seisinya. Pada penutup dari bagian buku ini, Alwi juga melampirkan sejarah pendatang Arab Hadhramawt di Indonesia, ia mengatakan bahwa menulis sejarah bukanlah suatu tugas mudah, data-data yang ada harus disesuaikan dengan fakta di lapangan. Ulasan yang terakhir ini ditulis dan disusun sebagai bentuk koreksi terhadap seorang peneliti Van den Berg, yang ia rasa memiliki mispersepsi terhadap sejarah budaya Arab Hadhramawt. Dalam hal ini, Alwi mencoba mengurai dari awal dan meluruskan kembali tentang konsep-konsep inti yang dibawa dan disampaikan para pendakwah dari Hadhramawt tersebut ketika berhijrah dan menyiarkan Islam di Indonesia. Berlanjut kepada pendatang Arab Hadhramawt, bagi Alwi pendatang Arab Hadhramawt yang berhijrah ke Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan dan kemajuan syiar Islam, mereka memiliki keistimewaan pada bidang-bidang tertentu, contohnya: ekonomi, pendidikan, dan dakwah. Tidak sedikit dari mereka yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, yang berguna untuk memajukan perdagangan di Indonesia kala itu, membangunmadrasah-madrasah Islam, sampai mendidik para ulama yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Menulis sejarah sama halnya dengan mengungkap kebenaran, tanpa adanya kontaminasi dari pengaruh apapun, terlebih diri sendiri. Sejarah haruslah bersifat objektif tanpa didasari oleh kepentingan tertentu, karena sejarah tinggal sejarah. Mungkinkah sejarah dapat berbicara tentang dirinya sendiri? Jawabnya mungkin saja, bilamana seorang penulis atau peneliti sejarah memiliki kemampuan kontemplasi yang dalam, dirinya bersih dari segala bentuk pengaruh dari kemurnian sejarah tersebut dan mendapat pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla. Wallahu a’lam bi as-shawwab.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun