Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Polemik di Balik Batalnya Program Kartu Jakarta Jomblo

18 September 2017   17:37 Diperbarui: 14 Oktober 2017   06:06 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Foto : seword.com]

Polemik Di Balik Batalnya Program Kartu Jakarta Jomblo [Sebuah Catatan]

Ada sebuah program yang diusung oleh pasangan pemenang pilgub DKI,  namanya Kartu Jakarta Jomblo. Meskipun batal diluncurkan, namun program ini cukup menarik untuk diulas. Bukan berarti program ini jelek, hanya unik dan perlu dikaji. Saya tadinya sedikit heran dan bertanya-tanya apakah program ini cocok untuk warga DKI, yang nota bene banyak warga DKI yang "jomblo" saat terkena macet jalanan ibukota. Apakah sekarang sedang tren, jika ke-jomblo-an seseorang menjadi sebuah permasalahan atau ancaman terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat? Hm.

Baca : Kartu Jakarta Jomblo Program Turunan Dari OK-OCE Dan Rumah DP Nol

Banyak orang jomblo di Jakarta karena ada dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal antara lain; seseorang jomblo karena memang sengaja belum ingin mencari pasangan, atau seseorang jomblo karena belum punya pengalaman dalam dunia romantism, atau bisa jadi memang karena pertarungan batin dirinya antara berkarir atau kebingungan mencari pendamping hidup yang cocok; atau yang terakhir karena nasib dan gagal "move on".

Sedang faktor eksternal bisa jadi ; orang jomblo karena beban kerja yang tinggi sehingga tidak ada waktu untuk cari pasangan hidup; seseorang jomblo karena belum memiliki bekal materi menuju pelaminan (modal nikah); atau seseorang jomblo karena faktor tuntutan ekonomi , sosial dan lingkungan yang tidak mendukung bahkan hanya sekedar untuk "merayu" seorang wanita.

Nah, apapun faktor internal dan eksternal nya, jomblo-ngga-jomblo itu merupakan lingkup "privasi" seseorang. Oleh karena itu, harus ada kajian mendalam dan penelitian apakah status orang jomblo itu mempengaruhi kesejahteraan masyarakat warga DKI.

Apakah status jomblo-tidak jomblo begitu mendesak dibandingkan dengan permasalahan banjir, macet, pengangguran, korupsi, pendidikan, dll?

Bukankah, akan ada banyak "biro jodoh" dan para "mak comblang" diluar sana yang akan tersinggung karena lahan kerja mereka diambil? Mungkin, sebentar lagi para perusahaan aplikasi chat biro jodoh dan kencan online akan turun ke jalan menuntut pemerintah karena berkurangnya pelanggan mereka. Atau, akankah semakin banyak warga luar DKI (yang jomblo) berbondong-bondong ingin menjadi warga DKI?

Padahal survey BPS, seperti yang diberitakan reporter Elisa Valenta Sari, (CNN Indonesia/m.cnnindonesia.com), pada Selasa, 15/08/2017 menyebutkan survei data Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2017, terungkap bahwa orang yang belum menikah (baca: single) ternyata memiliki angka indeks kebahagiaan tertinggi dari status lainnya. 

Sesuai data BPS dalam tulisannya, indeks kebahagiaan penduduk yang belum menikah cenderung lebih tinggi (71,53) dibandingkan dengan penduduk dengan status perkawinan yang lain. Sedang penduduk dengan status menikah memiliki indeks kebahagiaan (71,09), penduduk dengan status cerai hidup memiliki indeks kebahagiaan (67,83). Sedang indeks kebahagiaan penduduk cerai mati (68,37).

Baca : Survei BPS: Orang Lajang Indonesia Paling Bahagia (CNN Indonesia) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun