Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsep ilmu logika yang utuh (8)

16 Oktober 2012   06:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:47 8160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

perbedaan mendasar antara logika akal dengan  pemikiran bebas (spekulatif)

Logika akal dan pemikiran bebas-spekulatif adalah dua hal yang berbeda dan jangan pernah disama ratakan tapi dalam kehidupan keduanya sering tercampur baur dan sering menimbulkan kerancuan sehingga orang sering tidak bisa memilah dan membedakan antara keduanya,sehingga sering yang hanya berupa pemikiran bebas-spekulatif  malah dianggap sebagai suatu pemikiran yang ‘rasional’.

Kebenaran berdasar logika dan ‘kebenaran’ berdasar pemikiran bebas spekulatif adalah dua hal yang berbeda jauh,sebab kebenaran berdasar logika itu memiliki struktur atau konstruksi yang jelas tertata sedang ‘kebenaran’ berdasar pemikiran bebas itu bersifat spekulatif - meraba raba dan karenanya hasilnya adalah kebenaran yang bersifat relative.

Keduanya berbeda karena memiliki essensi atau konstruksi yang berbeda,dimana konstruksi dari cara berfikir logika akal adalah suatu yang tertata-beraturan-terpola-sistematis-mekanistis (konstruktif) dalam arti dari sisi yang satu ke sisi yang lain saling  berhubungan secara sistematis,dimana satu sisi menerangkan sisi yang lain dalam tatanan pola fikir yang teratur,sehingga hal itu bisa diibaratkan dengan konstruksi kerja sebuah kesatuan unit mesin apakah itu mesin mobil,mesin komputer,mesin jam dlsb. dimana semua element yang ada didalamnya saling berhubungan satu sama lain secara tertata dan beraturan.

Sebaliknya pemikiran bebas-spekulatif memiliki konstruksi yang tak beraturan - tidak sistematis (tidak konstruktif) dimana ciri khas yang menjadi kelemahan dasarnya adalah ia mudah berantakan kala diserang oleh argumentasi yang berlandaskan kepada cara berfikir logika akal.sebaliknya konsep yang berasal dari logika akal itu akan kuat kokoh manakala diserang oleh berbagai bentuk pemikiran bebas yang bagaimanapun,sebagai contoh : lima bukti rasional keharusan adanya Tuhan yang disusun Thomas Aquinas tetap kokoh hingga saat ini walau diserang dengan berbagai pemikiran bebas yang bagaimanapun,mengapa (?) karena bangunan konsepnya mengikuti cara berfikir logika akal yang tertata sehingga walaupun berbagai fihak dengan berbagai pemikiran bebasnya berusaha untuk  menolak serta meruntuhkannya tapi hingga saat ini logika akal fikiran atau cara berfikir sistematis mana yang bisa menolak atau meruntuhkannya ?

jadi bila konsep Aquinas ini nampak menimbulkan penolakan maka itu adalah pasti penolakan yang datang dari bentuk pemikiran bebas spekulatif dan pasti bukan dari cara berfikir logika akal,karena sebuah konsep yang dibuat berdasar kepada cara berfikir logika akal yang sistematis akan diterima oleh logika akal manusia dimanapun secara keseluruhan karena karakter akal fikiran manusia dimanapun diciptakan sama dan seragam oleh Tuhan yaitu berkarakter sistematis.

Bagaimana sebenarnya mengurai dan memecahkan ke serba rancuan itu (?) tiada lain ibarat kita harus mencari emas diantara berbagai logam lain yang tercampur dengannya maka kita harus menggunakan alat yang bisa memilah beragam logam yang berbeda itu serta menentukan secara pasti identitas masing masing logam itu.begitu pula untuk menentukan mana bentuk pemikiran bebas yang spekulatif serta mana bentuk kebenaran yang rasional maka kita harus menggunakan alat yang alat itu harus bersifat hakiki tak boleh berubah ubah dan satu satu nya alat itu adalah konsep hukum kehidupan yang serba pasti.sehingga siapa yang lari atau mengingkari konsep hukum kehidupan ia akan jatuh ke dalam bentuk pemikiran bebas yang spekulatif yang derajat kebenarannya bersifat relative,sedang bentuk kebenaran logis yang bisa diterima oleh logika akal selalu cenderung tidak akan berlawanan dengan konsep hukum kehidupan.

Sebagai contoh : seorang yang terlena dengan kesenangan berwacana pemikiran bebas spekulatif memiliki kecenderungan serupa dengan orang yang hidup didunia khayal dimana dengan pemikiran bebas nya ia sering melahirkan pandangan pandangan yang bila dikorelasikan dengan konsep hukum kehidupan akan nampak ganjil.sebagai contoh : pemikiran bebas yang berpijak pada faham liberalisme sebenarnya  bila kita kaji kemudian kita korelasikan dengan konsep hukum kehidupan serba pasti maka dasar pandangannya akan nampak bersifat ganjil,karena sebagai contoh faham liberalisme  mengajarkan kebebasan tanpa mengindahkan batasan yang telah ditentukan Tuhan sehingga bentuk pemikiran seperti itu sebenarnya tidak logis mengingat manusia sama sekali bukan makhluk yang bebas secara mutlak ia ditentukan oleh berbagai batasan yang hakiki : akan tua - akan mati dan akan mempertanggungkan perbuatannya di pengadilan akhirat.

Dua cara berfikir yang berbeda itu ada dalam dunia filsafat sehingga kita tak bisa mengkultuskan filsafat sebagai : ‘cara berfikir logis’ karena didalam dunia filsafat cara berfikir logis dan cara berfikir yang bebas-spekulatif  kedua duanya ada dan tercampur baur.di masa silam era filsafat klasik cara berfikir yang logis-tertata masih kuat mewarnai dunia filsafat kemudian seiring berjalannya zaman dimana para pemikir di dunia filsafat lebih menyukai bentuk pemikiran bebas spekulatif maka beragam bentuk ‘kebenaran’ versi pemikiran bebas spekulatif lebih mendominasi dunia filsafat.dan ujungnya pada era filsafat ‘kontemporer’ ciri khas filsafat sebagai wacana kebenaran rasional  mulai meredup dan wacana filsafat di era ini seperti lebih banyak dikuasai oleh para pemikir bebas spekulatif yang seperti sudah tak mau lagi orientasi pada tata cara berfikir logika akal yang sistematis,karena semua yang bernuansa ‘kebenaran rasional’ justru kemudian seperti digugat dengan dalih di 'dekontruksi'.

Wacana filsafat adalah tempat kebenaran yang rasional dan spekulatif bercampur baur itulah sebab wacana filsafat harus kita bagi antara yang benar dan yang salah.mengapa filsafat sering jatuh kepada bentuk pemikiran bebas spekulatif (?) jawabnya adalah karena berbeda dengan agama filsafat tidak berpegang kepada hal hal yang bersifat hakiki.dalam agama ‘kebenaran’ yang berasal dari pemikiran spekulatif itu tidak ada sebab landasan dasar konsep kebenaran agama berangkat atau bersandar pada hal hal yang bersifat hakiki (hal hal yang sudah ditetapkan Tuhan sebagai ketentuan atau kepastian yang tidak bisa dirubah lagi).jadi perbedaan mendasar antara agama dan filsafat adalah yang satu sering berpijak pada hal hal yang bersifat hakiki sedang yang satu berpijak hanya pada hal hal yang bersifat spekulatif.

Dunia filsafat adalah dunia yang didalamnya penuh dengan pemikiran spekulatif yang sebagian mengkristal menjadi mazhab pemikiran atau ‘isme’ tertentu dan demikian pula dalam dunia sains kita melihat banyak teori atau pemikiran yang oleh sebagian orang dianggap ‘ilmiah’ tapi sebenarnya bersifat spekulatif malah lebih mendekati khayal,sebab itu untuk mendeteksi mana teori-pemikiran negative serta mana kebenaran yang rasional maka kita harus membawa kacamata konsep hukum kehidupan kedalamnya sebagai alat deteksi.

Logika adalah cara berfikir akal yang sistematik dan ilmu logika adalah ilmu yang dibangun oleh metodologi cara berfikir sistematis,dan itu sudah pasti berbeda dengan apa yang disebut sebagai  pemikiran bebas spekulatif yang tidak terikat kepada metodologi tata cara berfikir yang sistematis.dengan kata lain apa yang datang dari pemikiran bebas belum tentu bersesuaian dengan logika akal fikiran manusia.tetapi bagaimana cara memilah dua kutub yang berbeda jauh itu  secara jelas dan terang (konstruktif) mengingat dua kutub itu dalam kehidupan manusia sangat mudah untuk tercampur baur sebagaimana yang juga terjadi dalam dunia filsafat bahkan hal itu bisa terjadi pada kelompok yang menggumuli agama sekalipun.

Kita sering disuguhi pernyataan bahwa filsafat adalah ‘cara berfikir logis’ dan itu tertera pada buku buku textbook pengantar filsafat,benarkah pernyataan itu (?)

Kalau kita rekonstruksi pernyataan itu sebenarnya kita harus menyangsikan kebenarannya,sebab memang sudah merupakan fakta bahwa dalam wacana filsafat banyak konsep yang berasal dari cara berfikir yang logis dan melahirkan pernyataan yang logis artinya cara berfikir yang akal fikiran manusia secara umum bisa memahaminya, tapi jangan lupa wacana filsafat pun dipenuhi oleh banyak pemikiran bebas spekulatif bahkan yang berbau khayali.dan pemikiran spekulatif itu tak bisa didefinisikan sebagai sebuah konsep yang logis sebab belum tentu logika akal fikiran manusia secara umum bisa memahaminya.sebab ukuran kebenaran yang bersifat logis adalah sebuah bentuk kebenaran yang akal fikiran manusia secara umum bisa menerima serta memahaminya serta tidak bertentangan dengan konsep hukum kehidupan dualistik.sebab istilah ‘logis’ itu sendiri identik dengan makna ‘masuk akal’ atau ‘bisa difahami oleh cara berfikir akal fikiran’ sedang sesuatu disebut tidak logis artinya kurang lebih sama dengan ‘tidak masuk akal’ atau ‘akal fikiran manusia umum tidak bisa menerimanya’.

Apa sebab banyak lahir pemikiran yang bersifat spekulatif disamping yang logis (?) pertama ; bisa difahami sebab akal fikiran manusia yang sangat terbatas sehingga terkadang ketika berhadapan dengan problematika yang bersifat kompleks maka logika akal fikirannya tak bisa lagi mengandalkan metodologi berfikir yang sistematis sehingga manusia lari kepada sebuah cara berfikir yang disebut : cara berfikir spekulatif.kedua ; manusia sangat mudah terjatuh kepada mengikuti rasa perasaan manusiawi dalam berfikir sehingga tanpa terasa jatuh kepada bentuk khayal dan pemikiran negative,dan salah satu bentuk pemikiran negative itu adalah pemikiran yang bersifat spekulatif artinya bentuk pemikiran yang belum tentu bersesuaian dengan kebenaran yang berasas logika dan belum tentu bersesuaian dengan konsep hukum kehidupan dualistik.

Dunia filsafat-sains adalah dunia yang penuh dengan konsep-teori yang rasional yang lahir dari cara berfikir sistematis dan juga yang irrasional yang lahir dari cara berfikir bebas yang tidak tertata-spekulatif.

Itulah kini saatnya terbuka mata dan fikiran kita untuk tidak lagi menganggap atau mengkultuskan filsafat sebagai ‘ibu kebenaran’ atau wacana yang selalu dianggap ‘rasional’ karena nyata nya dalam dunia filsafat yang benar dan yang salah bercampur baur dan menjadi tugas kita untuk bisa  memilahnya,karena itu apapun yang datang dari dunia filsafat tidak layak bila kita telan secara langsung tanpa dikunyah terlebih dahulu

Jadi untuk kelak tidak terjadi penyesatan paradigma maka manusia harus bisa membedakan secara konseptual apa itu cara berfikir logis dan apa itu cara berfikir spekulatif serta apa itu kebenaran yang bersifat logis dan kebenaran yang bersifat spekulatif ,sebab bila direkonstruksi keduanya akan berbeda jauh bak bumi dan langit.dan sekaligus kita juga harus membongkar kembali anggapan klasik yang keliru yang bisa menyesatkan yang selalu mengidentikkan filsafat dengan ‘cara berfikir logis’,sebab faktanya dalam filsafat didalamnya tercampur baur antara fikiran yang logis dan yang tidak logis.

Artinya manusia harus bisa membuat perbedaan konstruktif antara kebenaran yang berasas logika atau bentuk kebenaran ‘rasional’ dengan bentuk pernyataan yang berasal dari bentuk pemikiran spekulatif. tiada lain agar manusia bisa memahami problematika kebenaran secara jelas dan terang - tidak rancu sebab  banyak kebenaran di dunia ini yang dinyatakan atau dideskripsikan oleh berbagai golongan manusia dimana masing masing seolah ingin memposisikan diri sebagai ‘kebenaran’ dan sebagian mengklaim ‘bersifat logis’.

Problematika seputar perbedaan diantara kebenaran yang bersifat logis dan ‘kebenaran’ yang berlandaskan pemikiran negative-spekulatif  harus ditela’ah secara seksama lalu dibuat definisi perbedaan yang jelas-konstruktif agar umat manusia juga tidak tersesat oleh pernyataan yang mengatas namakan logika atau ‘rasio’ tapi sebenarnya sesuatu yang hakikatnya berasal dari sebuah bentuk pemikiran negative belaka.

Sebab agama pun mengkonsepsikan manusia agar menggunakan akal semaksimal mungkin dan itu berarti agar manusia menggunakan cara berfikir akal yang : matematis - konseptual - mekanistik,karakter serta metodologi cara berfikir akal yang serba bersifat dualistik tiada lain agar manusia tidak jatuh kepada bentuk khayal dan pemikiran negative.sebab khayal dan pemikiran negative adalah sebuah bentuk ‘kebenaran’ atau sudut pandang manusiawi yang essensi nya bertentangan dengan prinsip dualisme yang Tuhan tetapkan sebagai hukum kehidupan.

Bila prinsip dualisme senantiasa bisa direkonstruksi dan difahami oleh akal karena akal memang diciptakan sebagai alat berfikir yang berkarakter dualistik dan untuk tujuan agar manusia bisa membaca prinsip konsep dualistime yang Tuhan ciptakan khususnya yang ada dalam konsep hukum kehidupan. sehingga ketika agama direkonstruksi oleh konsep dualisme maka kita akan melihat bahwa agama adalah konsep yang sudah diselaraskan dengan cara berfikir akal manusia.

Tetapi  cara berfikir pemikiran bebas spekulatif sebagaimana yang bermunculan dalam dunia filsafat memang jauh berbeda dengan struktur cara berfikir akal yang sistematik sebab cenderung bersandar pada prinsip meraba raba dan berspekulasi.sedang konsep kebenaran agama bersandar pada segala suatu yang serba pasti, dimana salah satu  artinya adalah pasti akal fikiran bisa menerima dan memahaminya,sebab itulah tak ada sifat spekulatif dalam konsep agama.

Sehingga kala bentuk bentuk khayal dan pemikiran negative itu merajalela dan bahkan mendominasi budaya hidup dan cara berfikir manusia maka agama selalu menyeru kepada manusia untuk mengenal benar - salah,baik - buruk secara konstruktif tiada lain agar manusia bisa selalu berpegang pada prinsip dualisme yang ada dalam konsep hukum kehidupan dan menelikung seluruh peri kehidupan manusia.sedang ciri khas dari khayal dan pemikiran bebas (negative) adalah yang diikuti bukan prinsip dualisme atau prinsip benar - salah yang akal fikiran manusia secara umum bisa menerimanya tapi seringkali merupakan keinginan keinginan yang hakikatnya berasal dari rasa perasaan nafsu manusiawi yang memang cenderung suka kepada bentuk pemikiran yang meraba raba atau spekulatif.

Bangunan kebenaran yang berkonstruksi hukum kehidupan dan berkarakter dualistik (serba berpasangan,karena Tuhan menciptakan segala suatu dengan serba berpasangan) itu melahirkan bentuk kebenaran yang disebut ‘rasioal’ artinya bentuk kebenaran yang akal fikiran manusia secara umum bisa memahami dan menerimanya nya,sedang ‘kebenaran’ yang bersifat spekulatif yang berasal dari bentuk pemikiran bebas negative seringkali jatuh kepada bentuk pemikiran yang irrasional sebab seringkali sudah meninggalkan prinsip dualisme yang merupakan rel dasar dari ilmu logika sehingga akal fikiran manusia yang bersifat umum sudah tak bisa lagi memahami serta menerimanya sehingga bagi akal statement yang berasal dari bentuk pemikiran negative seringkali nampak ganjil.

Sebab itu sungguh merupakan suatu yang aneh dan sangat ironis bila kemudian sebagian manusia sering beranggapan agama sebagai suatu yang ‘irrasional’ hanya karena deskripsinya tak bisa tertangkap mata sehingga tak bisa dibuktikan secara empirik.padahal apapun yang dinyatakan agama itu bukan untuk dilihat atau dibuktikan dengan mata telanjang tapi untuk difahami oleh akal ( rasional atau tidak nya),dan sama sekali tak ada keterkaitan serta keterikatan langsung antara akal dan penglihatan mata (sehingga yang dianggap ‘rasional’ mesti ‘yang tertangkap mata’).

Jadi anggapan bahwa agama adalah suatu yang irrasional musti berasal dari orang orang yang beranggapan bahwa ‘yang rasional adalah segala suatu yang pada dasarnya memiliki bukti langsung yang tertangkap panca indera’ dan itu adalah sebuah prinsip yang menyalahi asas dasar ilmu logika,sebab ilmu logika tidak berdiri diatas prinsip keharusan bukti fisik atau empirik yang langsung.

Tapi itulah pengaruh besar pemikiran bebas negative manusia yang seringkali seperti bisa menjungkir balikkan yang logis menjadi tampak irrasional dan yang irrasional menjadi dianggap ‘logis’,dan hal demikian sudah biasa terjadi dalam dunia filsafat dan itu terjadi karena manusia tidak mengenal apa itu ilmu logika dan apa itu pengertian ‘akal’ yang bersifat utuh-menyeluruh atau pemahaman manusia terhadap semua itu bersifat rancu-tidak konstruktif sehingga yang merupakan bentuk pemikiran negative yang kebenarannya bersifat spekulatif sering dianggap sebagai suatu yang logis - rasional.

Tentu sangat berbeda jauh dan manusia harus bisa membedakannya secara konseptual antara bangunan ilmu logika yang memiliki konstruksi yang serba sistematis dengan dunia khayal yang tidak memiliki sifat konstruktif dan sering keluar dari asas prinsip hukum kehidupan atau dengan pemikiran bebas negative yang bentuk kebenarannya serba bersifat spekulatif.karena itu ilmu logika dijadikan Tuhan sebagai alat untuk mengkonsepsikan kebenaran Nya,sedang khayal dan pemikiran bebas negative pada dasarnya sering hanya merupakan alat bagi eksistensi rasa perasaan nafsu manusia.

Karena karakter ilmiahnya yang konstruktif itulah maka Ilmu logika berfungsi untuk memilah antara fikiran fikiran manusia yang masih bisa dikategorikan sebagai ‘rasional’ dengan fikiran yang sudah berada dalam pengaruh khayal atau bentuk pemikiran negative.

Perbedaan konseptual antara kebenaran berasas logika dengan bentuk teori atau pemikiran bebas negative bisa dibedah pada konstruksi bagian dalamnya,dimana cara berfikir logika akal yang sistematis akan menghasilkan bentuk kebenaran yang dikategorikan sebagai ‘logis’ ( bisa difahami oleh mekanisme ilmu logika) atau ‘rasional’ ( bisa difahami oleh cara berfikir logika akal ) serta bersifat konstruktif (bisa disusun dalam bentuk konsep ilmu yang tertata - runtut ).sebaliknya kesimpulan dari cara berfikir ganjil atau yang tidak orientasi pada prinsip dualisme akan melahirkan suatu yang bisa dikategorikan sebagai ‘tidak logis’ ( tidak bisa difahami oleh mekanisme ilmu logika) atau ‘irrasional (tidak bisa difahami oleh cara berfikir logika akal) serta bersifat spekulatif (tidak bisa disusun dalam bentuk konsep ilmu yang tertata - runtut ).itulah perbedaan itu harus diketahui sampai kepada konstruksi bagian dalamnya agar manusia bisa memilah keduanya secara jelas dan terang (konstruktif).

Sebagai contoh bila prinsip dualisme hukum kehidupan menempatkan manusia dan hewan pada dua kutub yang terpisah baik fisik - fikiran serta hakikatnya secara jelas dan tegas,dan artinya ketika kita membicarakan tentang hubungan manusia dan hewan maka kita bersandar kepada perbedaan asasi yang telah ditetapkan oleh hukum kehidupan itu. kemudian bila ada ilmuwan yang merancukan bentuk hubungan antara manusia dan hewan dengan mengemukakan teori bahwa manusia berasal dari hewan maka kita harus memeriksa konstruksi bagian dalam dari teorinya itu apakah masuk kategori logis atau tidak logis, konstruktif atau spekulatif (?)

Contoh lain bila ada yang menyatakan ‘Tuhan itu tidak ada’ sedang disisi lain logika akal kita melihat keserba teraturan semesta yang mengindikasikan keharusan akan adanya hanya satu maha pengatur,maka kita harus merekonstruksi pernyataan ‘Tuhan tidak ada’ itu apakah masuk kepada pernyataan yang kebenarannya ber asas ilmu logika atau ber asas pemikiran bebas spekulatif (?)

Tetapi dari ‘permukaan’ memang terkadang sulit untuk menilai mana yang merupakan hasil mekanisme cara berfikir yang logis dan mana yang merupakan bentuk pemikiran bebas spekulatif yang ganjil.dan satu satunya cara terbaik adalah dengan melakukan anlisis yang sistematis dengan berpegang kepada prinsip dasar ilmu logika yaitu : mekanisme berfikir dualistik dan keterhubungan cara berfikir akal yang dualistik itu  secara paralel dengan mekanisme konsep hukum kehidupan.tapi bila kita tidak mengukurkan ilmu logika itu pada prinsip dualisme sebagai parameter  maka mana yang dinilai sebagai ‘logis’ dan mana yang tidak akan menjadi rancu. apalagi bagi public yang terkadang lebih banyak melihat kepada ‘kulit luar’ sehingga mudah untuk jatuh kepada ‘pengkultusan’, sehingga pernyataan dari seorang yang dianggap ilmuwan atau filosof sering dikultuskan sebagai teori atau pemikiran yang ‘rasional’ walau bila ditela’ah bagian dalamnya sangat jauh dengan prinsip asas rasional.

Sebagian manusia sering mengidentikan agama dengan hal hal yang irrasional,hal demikian tentu tidak benar sebab agama Ilahi dikonsep agar bersesuaian dengan cara berfikir logika akal manusia,

bila dalam agama terdapat hal hal yang nampak ‘irrasional’ atau diluar jangkauan akal untuk memahaminya maka itu adalah jalan Tuhan agar akal manusia tunduk pada kebenaran versi Tuhan sehingga manusia tidak menjadikan akalnya sebagai Tuhan.jadi prinsipnya dalam konsep Tuhan akal adalah alat - bukan tujuan,serta hamba yang bekerja untuk majikannya dan sama sekali bukan ‘Tuhan’.

Dengan merekonstruksikan agama lewat jalur mekanisme ilmu logika dan kemudian menghubungkannya dengan konsep hukum kehidupan maka kita akan melihat kesatu paduan yang konstruktif antara agama dengan akal sebagai alat berfikir yang berkarakter dualistik dan hukum kehidupan yang bersifat hakiki, sehingga dengan cara demikian agama tidak harus difahami sebagai dogma demi dogma semata.cara demikian juga akan bisa memilah antara agama yang benar dan agama khayali sebab agama khayali didalamnya tidak akan memiliki konstruksi ketersaling hubungan yang konstruktif dengan konsep hukum kehidupan dan karena nya sulit direkonstruksi serta difahami oleh karakter cara berfikir akal yang dualistik.

Hanya segolongan manusia yang memilah agama dengan rasio yaitu kelompok manusia yang melekatkan rasio dengan bukti empirik atau orang yang bersudut pandang materialist,sehingga prinsip dasar mereka adalah ‘yang rasional adalah yang berpijak pada bukti mata telanjang yang langsung’,dan karena deskripsi agama tidak selalu menyertakan bukti fisik-empirik yang langsung maka karena itu pada dasarnya agama mereka definisikan sebagai ‘tidak rasional’.nah masalahnya adalah disatu sisi orang orang bersudut pandang materialist ini sering mendeskripsikan hal hal yang sebenarnya sesuatu yang lebih merupakan khayal dan pemikiran spekulatif sebagai ‘rasional’ yang membuat istilah ‘rasional’ ini menjadi kabur dan makin menjauh dari konstruksi yang sebenarnya dan seharusnya yang berpijak pada asas dualisme.

Itulah sebab istilah ‘logis’ atau ‘rasional’ itu sering jadi rebutan antara dua kubu antara sudut pandang kaum materialist dan sudut pandang golongan universalist ( orang yang melihat realitas lahiriah dan abstrak secara menyatu) atau antara orang yang antipati terhadap agama dengan para pembela agama.dan ini adalah masalah umat manusia yang akut yang seperti benang kusut yang harus kita urai dan kita selesaikan. dan cara yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah ini secara konstruktif adalah tentu menyelesaikannya secara konsep keilmuan diantaranya dengan mendeskripsikan rahasia konsep ilmu logika secara utuh-menyeluruh.

Pertama ; kita harus menempatkan makna istilah ‘rasional’ ini ditengah tengah yaitu dengan menyandarkan atau memparalelkannya dengan prinsip dualisme sebab istilah dualisme adalah suatu yang berlawanan atau selalu harus dilawankan dengan pengertian ‘ganjil’.sehingga bila pengertian ‘rasional’ paralel dengan karakter dualistik maka pengertian ‘irrasional’ berarti paralel dengan karakter ‘ganjil’. kemudian dengan mengukurkan pengertian ‘logis’ serta ‘rasional’ kepada mekanisme cara berfikir dualistik dan prinsip dualisme maka kita akan bisa menilai mana yang lebih sesuai dengan cara berfikir logika akal : konsep agama atau  pemikiran pemikiran kaum materialist (?).

Kedua ; kita harus membersihkan ilmu logika serta istilah ‘rasional’ itu dengan jalan mengembalikan ilmu logika sebagai cara berfikir matematis yang murni tidak disertai prinsip keharusan untuk selalu menghadirkan bukti fisik,sebab faham yang selalu menyertakan keharusan bukti fisik bukan aliran rasionalistik tapi aliran ‘empiristik’ dimana keduanya harus difahami secara berbeda atau ‘hitam - putih’ untuk tidak menimbulkan kerancuan,sebab dalam filsafat kedua bentuk faham ini pada akhirnya seperti saling tumpang tindih,dimana pada ujung sejarahnya filsafat tidak memperlihatkan keberfihakan kepada prinsip cara berfikir kogika murni tapi lebih condong memihak pada prinsip empirisme,karena para filosof tertentu lebih melihat kesuksesan sains sebagai ilmu material.

Karena itu suatu yang sebenarnya sangat keliru bila ada yang mengklaim sebagai ‘rasionalist’ tapi selalu menyertakan syarat bukti fisik,karena sebenarnya bila harus jujur kepada akal maka seluruh pemikir diseluruh dunia seharusnya bersepakat dengan prinsip ini : bahwa bagi akal pada dasar nya yang benar itu bukan yang terlihat mata tapi yang bisa difahami oleh cara berfikir logika akal.artinya kita harus memilah dengan jelas dan tegas antara prinsip rasional yang orientasi pada cara berfikir murni akal dengan prinsip empiris yang orientasi pada bukti fisik,sehingga tidak tumpang tindih sebagaimana terjadi dalam filsafat dan sains,sebab bila tidak kita luruskan maka akan teramat banyak deskripsi agama yang divonis sebagai ‘irrasional’ hanya karena dianggap tidak bisa menyertakan bukti empiric yang langsung,dan kasus demikian menjadi bukti nyata adanya kerancuan pemahaman antara prinsip rasionalistik dengan prinsip empiristik.

Dan ketiga kita harus membersihkan ilmu logika dan istilah ‘rasional’ itu dari ekspansi pemikiran bebas negative manusia jangan sampai hal hal yang sebenarnya lebih merupakan bentuk khayal dan pemikiran negative tapi di klaim sebagai ‘rasional’ hanya karena dianggap berasal dari pemikir besar.ambil contoh pernyataan yang berasal dari seorang Descartes : ‘aku berfikir karena itu ada’ sering dianggap orang sebagai salah satu bentuk pernyataan ‘rasional’ padahal sebenarnya itu hanya sebuah bentuk pemikiran spekulatif yang dijadikan ‘filosofi’ tersendiri oleh sang pemikir dalam melihat keberadaan dirinya. sebab bila kita bedah pernyataan itu dengan mekanisme ilmu logika maka kita harus tunduk pada kenyataan bahwa secara logika ‘ada’nya seseorang atau sesuatu itu tidaklah  bergantung pada disadari atau tidaknya keberadaan nya  itu baik oleh dirinya maupun oleh orang lain,sama dengan seorang bayi itu harus disebut ‘ada’ walau ia tidak menyadari dirinya ada,atau seorang yang tengah tertidur tak bisa dikatakan ‘tidak ada’ hanya karena ia tidak menyadari dirinya ada,atau sama dengan planet itu sejak dulu ‘ada’ walau keberadaannya belum diketahui manusia.jadi sangat tidak logis kalau unsur manusia atau kesadaran manusiawi menjadi tolok ukur yang menentukan ada atau tidak adanya sesuatu.

Dan banyak pernyataan para pemikir besar yang bila ditela’ah sebenarnya hanya bentuk pemikiran bebas spekulatif semata tapi sering dianggap sebagai suatu yang ‘rasional’ hanya karena berasal dari filosof tertentu atau karena berasal dari wacana filsafat. sehingga secara umum filsafat atau pemikiran yang datang dari para filosof sering di definisikan orang sebagai ‘pemikiran rasional’ suatu yang sebenarnya salah besar dan bisa menyesatkan sebab yang datang dari filsafat itu selalu sesuatu yang senantiasa bersifat relative : ada yang rasional - ada yang tidak,sebagaimana juga ada yang benar dan ada juga yang salah,dan karena itu tak bisa dikultuskan sebagai ‘selalu rasional’ apalagi dikultuskan sebagai ‘selalu benar’.

Karena itu kita harus merekonstruksikan apa itu ilmu logika se konstruksif mungkin agar tak ada jalan bagi teori atau pemikiran bebas atau isme tertentu yang sebenarnya bila dikaji dengan prinsip ilmu logika bertentangan dengan konsep dasar logika tapi sering mengatas namakan sebagai suatu yang ‘logis’ atau ‘bersesuaian dengan rasio’.ambil contoh : faham atheisme sering beranggapan bahwa pandangan mereka berlandaskan kepada prinsip ‘rasional’ tapi coba kaji pandangan pandangan dasar atheisme maka akan kita temukan bahwa cara berfikir faham ini pada dasarnya sangat bertentangan dengan cara berfikir logika akal.contoh : ketidak percayaan pada adanya Tuhan itu sama sekali bukan keputusan rasio karena itu sama dengan beranggapan bahwa segala keteraturan bisa berasal dari kebetulan,padahal menurut logika akal tak akan pernah ada kebetulan yang bisa melahirkan keserba teraturan bahkan bila seluruh ilmuwan melakukan uji coba atas prinsip demikian. keteraturan secara logika hanya bisa berasal dari adanya maha pengatur yang menurut logika hanya harus satu sebab bila lebih maka akan ada pertentangan diantara dua atau lebih pengatur.itulah deskripsi rasional atas keharusan adanya Tuhan yang harus satu.dan terlalu banyak pemikir besar yang berhasil mengkonsepsikan kebenaran agama dengan rasio tapi sebagian manusia malah tetap beranggapan agama sebagai bertentangan dengan rasio apa sebab (?) sebab dasarnya sebenarnya hanya satu yaitu adanya sudut pandang materialist dalam diri manusia.

Karena itu bila kita kaji dengan asas asas metodologi cara berfikir logika yang benar maka kita akan temukan bahwa keimanan adalah suatu yang rasional dan atheisme justru adalah suatu yang irrasional.  tapi mengapa orang atheis sering mengatakan bahwa dasar pemikirannya adalah suatu yang ‘rasional’ (?) atau mengapa banyak teori ilmiah yang sama sekali jauh dari logis tapi sering merasa bahwa itu suatu yang ‘rasional’ (?) itu bukan berasal dari pandangan logika tapi dari pandangan materialist yang beranggapan 'yang rasional' pada dasarnya adalah sesuatu yang ‘tertangkap dunia indera’ padahal menurut logika teramat banyak realitas yang tak terlihat mata,dan sebab asas logika adalah dualisme yang salah satunya adalah keniscayaan akan  keberadaan yang abstrak disamping yang lahiriah sebagaimana keharusan adanya jiwa dibalik raga.

Itulah landasan dasar dari tidak difahaminya ilmu logika secara benar adalah manusia lebih memahami logika sebagai permainan tekhnik berfikir semata sehingga sering jadi permainan sebagian orang untuk 'merasionalisasikan' pemikiran atau teorinya yang justru tidak rasional.atau tidak memahami ilmu logika dari asas atau fundament dasarnya yaitu prinsip dualisme yang Tuhan tetapkan sebagai hukum kehidupan serba pasti.juga tidak memahami karakter dasar cara berfikir akal yang selalu paralel dengan prinsip dualisme itu sehingga sampai manapun berjalan cara berfikir akal itu akan selalu berkarakter dualistik yg dicirikan melalui karakter berfikir : mekanistik - analitis -matematis dlsb.yang semua itu melahirkan hal hal yang rasional dan mustahil melahirkan hal hal yang ganjil.

Jadi hanya apabila manusia berpijak diatas pemahaman terhadap prinsip asas dualisme yang benar maka cara berfikir akalnya akan benar dan juga ilmu logika yang difahaminya akan benar. sebaliknya bila seorang tidak berpijak diatas pemahaman terhadap prinsip dualisme maka cara berfikir akalnya akan pincang,misal bila ia lebih condong orientasi ke dunia alam lahiriah,misal : bila seorang beranggapan bahwa yang disebut realitas adalah yang tampak mata dan beranggapan bahwa yang gaib atau yang abstrak adalah bukan realitas sehingga dari sudut pandang demikian terciptalah apa yang disebut sudut pandang ‘materialist’ atau ‘faham materialisme’ yang dalam tiap argumentasinya cenderung selalu berpegang pada atau menjadikan dunia alam lahiriah sebagai ‘ukuran kebenaran’,maka pemahamannya terhadap ilmu logika akan pincang.

Dan celakanya itulah yang justru jadi prinsip sebagian besar ilmuwan yang mendeklarasikan terbentuknya konsep ‘saintisme’ yang berasas pada sudut pandang materialist.dan efeknya ia memperlakukan dunia gaib secara pincang misal tidak menganggap apapun yang datang dari dunia abstrak-gaib sebagai bagian konsep ilmu, maka dengan menjadi seorang materialist pada dasarnya  ia telah keluar dari pijakan dasar ilmu logika yaitu prinsip dualisme. sebab salah satu pijakan dasar prinsip dualisme dalam hubungannya dengan realitas adalah keharusan untuk memahami bahwa realitas itu terdiri dari dua alam : yang lahiriah-material dan yang abstrak-gaib, dan prinsip dualisme itu berdiri diatas dua kaki dimana satu kaki berpijak di alam lahiriah dan satu kaki berpijak di alam abstrak. dengan kata lain sudut pandang materialist beranggapan bahwa dunia abstrak-gaib bukan dunia yang bisa difahami oleh akal, padahal agama mengkonsepsikan bahwa realitas secara keseluruhan harus direkonsrtusi oleh cara berfikir akal dengan kata lain dalam konsep agama akal adalah alat untuk membaca realitas secara keseluruhan bukan hanya realitas yang bersifat lahiriah - material semata.

Dengan kata lain realitas keseluruhan harus dipandang oleh sudut pandang yang berimbang - tidak ganjil atau oleh sudut pandang ‘bermata dua’ maka dari sudut pandang berimbang itu akan lahir deskripsi serta pemahaman terhadp realitas menyeluruh yang rasionalistik.sehingga ketika agama mengkonsepsikan sorga - neraka maka tak ada yang menganggapnya sebagai suatu yang ‘irrasional’ hanya karena tidak bisa tertangkap mata sebab manusia bisa memahami landasan dasar mekanisme hukum kausalistik yang berada dibelakangnya.

Sebab itu memasukkan dunia material tapi meminggirkan yang gaib dari konsep ilmu maka itu adalah perilaku berfikir yang tidak jujur sebab itu sama dengan tidak mau menerima realitas kenyataan.dan inilah yang melahirkan definisi ‘rasional’ yang keliru yang bertentangan dengan prinsip dasar ilmu logika itu sendiri yaitu asas dualisme.dan kelak definisi ‘rasional’ versi kaum materialist inilah yang akan bertentangan dengan konsep kebenaran agama yang menyatu padukan keseluruhan realitas ( yang lahiriah-gaib) dalam kesatu paduan konstruktif.

Itulah teramat banyak faham atau isme atau teori ilmiah yang tidak berangkat dari pemahaman yang benar terhadap asas dualisme khususnya dualisme yang berasal dari realitas antara yang lahiriah dan yang abstrak.dengan kata lain banyak teori atau pemikiran yang lahir dari sudut pandang yang ‘ganjil’ padahal asas logika dan sekaligus asas dasar cara berfikir akal yang logic adalah prinsip dualisme bukan berangkat dari hal hal yang ganjil.

Contoh teori ilmiah yang berangkat dari hal yang ganjil karena ke tidak percayaan kepada hakikat yang bersifat abstrak adalah teori Darwin.ketidak logisannya terdapat pada pandangan dasar tentang manusia dan binatang,sebab asas dualisme membedakan dengan jelas segala suatu yang ada dalam kehidupan ini termasuk antara manusia dan binatang dan itu harus berbeda dari hakikat atau dari asal permulaannya.kedua,teori tentang evolusinya sendiri yang ganjil bagi akal sebab yang disebut evolusi adalah suatu yang terjadi berbarengan dengan kata lain mustahil yang satu ber evolusi dan yang lain tidak.maka suatu yang ganjil bila sebagian ber evolusi menjadi manusia dan sebagian masih tetap jadi hewan sampai saat ini.sedang dalam asas ilmu logika untuk difahami sebagai ‘logis’ maka hal hal yang ganjil mesti disingkirkan.

‘Pembersihan’ terhadap ilmu logika termasuk membersihkan istilah ‘rasional’ dari definisi atau tafsiran orang bersudut pandang materialist adalah suatu yang urgent - sangat diperlukan untuk difahami umat manusia.sebab definisi atau argumentasi mereka yang selalu menggunakan istilah 'rasional' termasuk pada hal yang sebenarnya 'tidak rasional' membuat pemahaman manusia terhadap apa itu 'kebenaran' (khusus nya bentuk kebenaran  yang harus difahami oleh akal) menjadi ‘rancu’.sebab istilah ‘rasional’ itu harus ditegakkan diatas ke seluruh an realitas baik yang abstrak maupun yang gaib,sehingga mekanisme cara berfikir logika akal manusia akan memiliki wilayah jelajah yang luas.sedang bila istilah ‘rasional’ hanya dilandaskan pada dunia lahiriah maka wilayah jelajah akal akan menjadi sempit dan akan serba gamang terutama kala kita berhadapan dengan problematika yang sudah mengarah kepada dimensi yang serba bersifat abstrak.

Kita harus membersihkan ilmu logika dari bentuk khayal dan pemikiran bebas negative yang ingin membawa pengertian istilah 'logika' untuk melegitimasi bentuk pemikiran spekulatif yang sebenarnya jauh dari logis. sehingga kelak kita akan mendapat ‘ilmu logika murni’ yaitu ilmu logika yang tidak dibingkai oleh sudut pandang materialist yang bermata satu.ilmu logika murni itulah yang akan bisa merekonstruksikan realitas secara menyeluruh sehingga apa yang dideskripsikan agama akan bisa dibaca dan difahami oleh logika akal.sebab memang ada kendala untuk membaca agama dengan logika diakhir zaman seolah keduanya berada dalam kotak yang terpisah yang tidak bisa disatu padukan.dan itu terjadi karena kaum materialist membuat batasan pengertian ‘logika’ dan pengertian ‘rasio’ dengan prinsip saintisme yang selalu mensyaratkan bukti fisik-empirik yang langsung,sehingga apapun yang datang dari agama selalu nampak ‘tidak rasional’.

Jadi pada dasarnya kaum materialist terkadang seperti belum bisa memilah antara apa itu realitas yang harus terbukti secara fisik-empirik dengan apa itu cara berfikir akal.

Karena itu kita mesti bertanya sisi mana dari konsep kebenaran Ilahi yang ada dalam agama yang tidak bisa difahami oleh logika akal (?) sebab soal realitas yang abstrak itu bisa saja diketahui belakangan sebagaimana kasus planet planet (yang dulu belum diketahui keberadaannya itu),dan bukankah bisa saja bahwa pada akhir nya Tuhan akan memperlihatkan segala suatu yang di alam dunia manusia menyebutnya sebagai ‘gaib’ kepada seluruh umat manusia di akhir kehidupannya (?) karena itu keliru besar bila ditengah ke serba terbatasan dunia inderawi nya  manusia membatasai pengertian ‘ilmu’ pengertian’rasio’ dan pengertian’logika’ sebatas segala suatu yang bisa masuk wilayah pengalaman indera,sebab kita seluruh umat manusia tidak pernah tahu realitas apalagi yang akan kita saksikan esok - lusa atau masa yang akan datang,termasuk setelah kita mati,sebab itu pandangan mata itu tak bisa jadi ukuran kebenaran.

Posisi kita di zaman ini menuju ke masa depan sama persis dengan orang orang dimasa silam yang tidak tahu realitas yang manusia hadapi saat ini.karena itu yang harus kita pegang adalah konstruksi hukum kehidupan pasti karena itu abadi dan tak mungkin berubah oleh realitas yang bagimanapun,serta tentu cara berfikir akal yang berlandaskan kepadanya.

Karena itu bila segala konsep yang bersifat abstrak tidak difahami oleh akal sebenarnya bukan konsep Tuhan nya yang salah tapi kacamata akal nya yang sempit karena wilayah jelajah nya dibatasi oleh prinsip sudut pandang materialistik.sedang agama mengkonsepsikan agar akal digunakan semaksimal mungkin bukan hanya untuk membaca realitas dunia lahiriah yang mudah disertai bukti fisik tapi juga terhadap realitas dunia abstrak, sehingga kedua alam itu difahami sebagai realitas keseluruhan yang menyatu padu yang bisa direkonstruksi oleh ilmu pengetahuan yang bersifat konstruktif (tertata).

Itulah kita harus membersihkan ilmu logika dari sudut pandang materialist yang selalu ingin menggunakan istilah ‘logika’ untuk melegitimasikan teori atau pemikiran mereka yang sebenarnya jauh dari logis atau bertentangan dengan prinsip prinsip dasar ilmu logika.karena agama mengkonsepsikan agar manusia menggunakan akal semaksimal mungkin itu artinya Tuhan ingin agar segala suatu bisa difahami oleh cara berfikir logika akal atau tidak melihat dan memahami sesuatu dari kacamata sudut pandang materialistik yang bersandar pada kekuatan dunia inderawi.

Dengan kata lain dengan ilmu logika murni sebagaimana matematika maka kita akan membaca atau merekonstruksikan kebenaran agama secara konseptual sehingga bisa serba difahami oleh logika akal tapi dengan ilmu logika yang sudah dikonsep oleh sudut pandang materialist yang bersandar pada  paradigma ‘yang rasional adalah yang tertangkap mata’ maka sudah jelas kebenaran agama tak akan bisa direkonstruksi oleh prinsip logika seperti itu. ambil contoh : persoalan sorga dan neraka bila kita menyelesaikannya dengan logika murni atau logika yang tak terikat dengan keharusan bukti fisik maka sebenarnya mudah untuk memahami keberadaan sorga dan neraka bahkan orang awam pun mudah untuk diajari bahwasanya sorga - neraka ada karena sebab - akibat dari adanya kebaikan dan kejahatan didunia,titik.tapi bila kita melihatnya dengan sudut pandang logika kaum materialist yang selalu menuntut bukti fisik untuk disebut ‘benar’ maka persoalan sorga - neraka bisa berubah menjadi rumit dan akhirnya akan tampak seperti ‘dogma moral’ semata.

Tapi itulah perbedaan faham antara ilmu logika versi Tuhan dan ilmu logika versi kaum materialist.sebab ilmu logika versi Tuhan adalah ilmu logika murni sebagaimana halnya matematika yang tak memerlukan syarat bukti fisik sehingga pada dasarnya sesuatu yang  dianggap masuk akal maka itu bisa disebut sebagai ‘benar’ tanpa harus dengan syarat  bukti fisik yang langsung.dan dengan ilmu logika murni versi Tuhan maka element konsep dualisme yang ada di alam abstrak bisa dijangkau oleh kekuatan cara berfikir logika akal,artinya logika murni akan bisa berjalan di wilayah dunia abstrak lain dengan logika versi kaum materialist yang selalu mensyaratkan bukti empirik maka logika seperti itu jelas tidak akan jalan didunia abstrak-gaib.

Karena itu istilah ‘logis’ atau ‘rasional’ versi agamawan dengan logis’ atau rasional versi kaum materialist akan selalu sering bertubrukan atau bertolak belakang karena perbedaan sudut pandang yang mendasar dasar terhadap apa itu realitas itu tadi,dimana dalam pandangan kaum materialist yang disebut ‘realitas’ adalah semua yang bisa dialami dunia inderawi sedang bagi agamawan yang disebut ‘realitas’ itu terdiri dari dua alam : yang bisa di inderai dan yang tidak dimana pada yang tidak bisa diinderai itulah manusia memerlukan deskripsi Ilahi sebagai penciptanya.

Perbedaan tentang prengertian ‘logis’ dan ‘rasional’ ini melebar ke masyarakat umum sehingga di masyarakat ada dua versi tentang pengertian ‘logis’ dan ‘rasional’ ini. sebagai contoh seorang sering beranggapan bahwa orientasi kepada kesenangan hidup didunia sebagai suatu yang ‘logis’ mengingat itu adalah hasil jerih payahnya.disisi lain orang beriman berpandangan bahwa itu adalah sikap yang ‘tidak logis’ mengingat dunia adalah ajang perjuangan dan manusia akan dihadapkan kepada pengadilan akhirat dimana ada sorga dan neraka didalamnya.karena itu orang beriman menyatakan bahwa pemikiran yang membenarkan orientasi kepada kesenangan dunia tidak bisa di katakan sebagai suatu yang rasional tetapi merupakan sebuah bentuk ‘pemikiran negatif’ semata sebab yang rasional mesti yang paralel dengan prinsip dualisme.

Itulah salah satu fungsi utama dari ilmu logika adalah menjadi penyaring bagi seluruh bentuk kreativitas berfikir manusia,dimana ilmu logika akan menyaring serta merekonstruksi mana cara atau jalan berfikir yang lurus dan mana cara atau jalan berfikir yang salah.ilmu logika akan menyaring tiap bentuk teori dan pemikiran manusia mana yang harus dikategorikan sebagai ’ganjil’ dan mana yang bisa dikategorikan logis atau rasional.bagaimana ilmu logika menyaring beragam bentuk khayal serta teori dan pemikiran bebas spekulatif yang banyak bertebaran didunia filsafat - sains serta beragam bentuk isme itu akan seperti mesin pabrik yang harus memilah beragam bahan olahan dimana yang berkategori ‘sampah’ akan dibuang.

Bentuk kebenaran rasional hasil olahan ilmu logika bisa dibawa ke jenjang ilmu berikutnya yang lebih tinggi tapi bentuk pemikiran spekulatif hanya melahirkan beragam kebenaran versi sudut pandang manusia dan tidak bisa dibawa kejenjang ilmu berikutnya yang memiliki derajat lebih tinggi.sebab bila ditelusuri bentuk pemikiran negative (yang berpijak pada prinsip spekulasi-relativitas) hanya akan membawa manusia kepada bentuk cara berfikir dan kesimpulan yang tidak bersesuaian dengan prinsip dualisme hukum kehidupan.sebagai contoh prinsip : ‘hidup untuk mencari kesenangan’ tampak sebagai sebuah pernyataan yang logis bagi banyak orang yang tidak mengenal agama,tapi bila ditelusuri lebih dalam secara konstruktif mengikuti logika murni serta diparalelkan dengan hukum kehidupan maka prinsip itu adalah bentuk pemikiran yang ganjil sebab menurut hukum kehidupan disamping dunia ada akhirat disamping sebab ada akibat dan disamping perbuatan akan ada balasan yang setimpal.

Jadi logis atau tidaknya sebuah pernyataan terkadang bergantung pada sudut pandang manusia dalam cara berfikir,sebagai contoh pernyataan : ‘dunia tempat untuk  bersenang senang’ akan seperti ‘logis’ bagi orang tak beriman tetapi akan menjadi suatu yang tampak ganjil bagi orang beriman sebab orang tak beriman tidak melihat adanya element dunia abstrak dibalik yang lahiriah sebaliknya orang beriman melihat adanya element dunia abstrak dibalik yang bersifat lahiriah.

Itulah manusia dalam berhadapan dengan problem seputar kebenaran yang berasas logika atau kebenaran rasional akan dihadapkan pada memilih logika murni sebagai cara berfikir matematis-sistematis atau ia memilih bentuk logika yang dibingkai oleh sudut pandang materialist.dan kedua pilihan itu memiliki konsekuensi tersendiri tentunya,sebab yang pertama akan bisa menembus dunia abstrak dan memasukan element dunia abstrak dalam mekanisme ber logika,dan kedua tidak akan bisa menembus dunia abstrak sehingga ia akan mengkotakkan dunia abstrak pada ‘kotak tersendiri’ yang terpisah misal pada kotak ’moral’- ’ilusi’ dlsb. dimana kekuatan logika murni bersifat essensial karena memiliki akar kepada yang bersifat hakiki sebab paralel dengan prinsip dualisme sedang yang serba bergantung pada bukti fisik akan menjadi kebenaran yang bersifat relative dan temporer sebab realitas lahiriah sering berganti rupa dan warna dari zaman ke zaman.

Artinya prinsip berfikir yang berasal dari logika murni itu tak bisa dihentikan oleh keterbatasan indera manusia sebab logika murni itu seperti matematika yang yang dalam membuat atau memahami konsep kebenaran ia menembus batas batas dunia alam material.sebab itu bila ingin memahami logika yang betul betul murni manusia tak bisa menjadi seorang materialist yang membatasi  metodiologi ilmiah nya sebatas wilayah pengalaman inderawi.

Adanya begitu banyak pemikiran manusia yang antara lain dikonsepsikan dalam berbagai bentuk isme  membuat konsep tentang nilai dan kebenaran menjadi beragam dan bahkan satu sama lain bisa saling berbeda bahkan saling bertentangan atau saling menjatuhkan dimana masing masing bisa sama sama mengatas namakan logika,dan inilah salah satu kelemahan mendasar dari ilmu logika yang bisa dipakai untuk beragam tujuan dan sudut pandang yang berlainan.dan banyaknya pandangan yang berasal dari pemikiran manusiawi membuat nilai nilai yang semula sudah baku-mapan karena sudah disesuaikan dengan nilai yang bersifat hakiki bisa dijungkir balikkan menjadi seperti ‘tidak benar’ dan itupun bisa dengan mengatas namakan logika.

Karena itu suatu konsep yang konstruktif tentang ilmu logika yang dimulai dari dasar dan diparalelkan dengan konsep dualisme yang ada dalam hukum kehidupan setidaknya akan menghindarkan ilmu logika dari penggunaan yang salah atau mengatas namakan logika untuk melegitimasi suatu bentuk teori atau pemikiran yang sebenarnya jauh dari bersifat logis atau hanya bersifat spekulatif belaka.sedang logika yang disandarkan pada hukum kehidupan adalah logika murni yang harus dibedakan essensi dan derajatnya dengan kebenaran yang bersifat spekulatif.

Pada dasarnya semua umat manusia harus bersepakat bahwa logika adalah cara berfikir dualistik sebab relevan dengan karakter cara berfikir akal yang dualistik pula.tapi coba tela’ah dalam teori atau bentuk pemikiran spekulatif sifat dualistik itu sering diabaikan hanya untuk mengikuti sudut pandang manusia yang orientasi pada menyukai kebebasan atau suka pada bentuk meraba - raba dan itu semua faktor yang sering melahirkan statement yang terkadang dinilai sebagai ‘ganjil’.sedang ilmu logika murni tak akan pernah membuat kesimpulan yang ganjil sebab ganjil itu bukan karakter akal dan otomatis bukan karakter ilmu logika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun