Apakah itu lubuk larangan ? Lubuk larangan adalah aliran sungai yang mempunyai dasar yang dalam dan permukaan air yang tenang, yang merupakan tempat berkembang biaknya ikan sungai dan masyarakat dilarang mengambil ikan di tempat tersebut sampai batas waktu yang disepakati berssama-sama. Selain itu lubuk larangan merupakan salah satu tradisi kearifan lokal yang saat ini masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat pedesaan yang ada di Provinsi Jambi. Keberadaan lubuk larangan tidak hanya diterapkan oleh masyarakat Provinsi Jambi, Tradisi ini juga masih dipertahankan oleh masyarakat pedesaan yang ada di Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Utara. Namun sampai saat ini tradisi tersebut masih  tetap dipertahankan, karena merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap lingkungan, membangunan semangat kebersamaan dan gotong royong serta dapat meningkatkan sumber pendapatan desa untuk membangun infrastruktur Desa. Lubuk larangan diawali dengan kesepakatan bersama seluruh masyarakat dalam suatu Desa yang dimulai dengan berdo'a dan makan bersama di dalam Masjid, kemudian pemuka desa berserta seluruh masyarakat bersumpah bersama-sama untuk tidak mengambil ikan di lubuk larangan sampai waktu 1 tahun atau 2 tahun. Apabila ada yang berani mengambil ikan sebelum waktunya maka masyarakat akan menerima tuah sumpah mereka, seperti menjadi orang gila, dan sakit. Adakah yang berani melanggar sumpah ?, pada umumnya masyarakat sangat memegang teguh sumpahnya, namun tak jarang pula ada masyarakat yang mencoba melanggar sumpah bersama, dan menurut pengakuan masyarakat setempat, orang yang melanggar sumpah bersama pada umumnya mereka mengalami sakit, untuk menebus kesalahannya orang tersebut diberi sanksi denda yang berlipat-lipat, setelah itu merekapun sembuh. Setelah 1 tahun setelah acara ritual sumpah bersama, maka diadakan pula acara pencabutan sumpah yang dilaksanakan di Masjid, juga dihadiri oleh seluruh masyarakat Desa. Setelah sumpah tersebut dicabut maka diadakan panen raya bersama dengan menggunakan Jala, memancing, jaring bahkan menembak dengan alat tradisional, tapi sebelumnya masyarakat dikenakan biaya sebesar Rp. 100.000 - Rp. 200.000,- . Uang tersebut digunakan untuk kas Desa dan dipergunakan untuk membangun infrastruktur desa. Pada saat panen raya keceriaan tampak pada wajah mereka, dan merekapun mengemas acara tersebut dengan baik, misalnya mengundang pejabat daerah setingkat Bupati, agar acara panen raya menjadi ramai, pejabat yang hadirpun membeli hasil panen mereka dan masyarakat diluar Desa dapat membeli langsung dengan harga murah. Sungguh sebuah karifan lokal yang sepatutnya bisa ditiru oleh daerah lain. Paling tidak dengan adanya potensi desa (lubuk larangan) ini, Desa tersebut tidak kesulitan untuk mencari dana bagi pembangunan infrastruktur di desanya, sehingga pembangunan akan terus berkelanjutan. Tulisan ini dipersembahkan dalam rangka memperingati Hari lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2011. Salam Lestari