Mohon tunggu...
Tyo Mokoagow
Tyo Mokoagow Mohon Tunggu... -

Haus ilmu. Saya bisa sakit bila tak memahami apa-apa dalam sehari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Policy" Dua Anak dalam Satu Keluarga

12 Maret 2013   09:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:56 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kebijakan 2 anak dalam satu keluarga adalah kebijakan yang lahir dari ketegasan pemerintah akibat dari lonjakan penduduk yang terjadi dalam negara ini. Kita mengetahui bahwa Indonesia termasuk negara ketujuh dengan populasi terbanyak di dunia. Pada Maret 2012 lalu data menunjukan bahwa jumlah populasi masyarakat dengan tingkat menengah di bawah tercatat 29,13 juta orang yang sangat memprihatinkan kemaslahatan umum sebab jumlah kelahiran melonjak lebih banyak pada masyarakat menengah lebawah di banding masyarakat dengan level menengah dan menengah ke atas yang berakibat menganggu stabilitas ekonomi negara. Di sisi lain saya merasa kurang setuju dengan kebijakan ini sebab anak adalah anugrah dari Tuhan yang tak bisa kita tolak. Berangkat dari kegalauan ini saya mencurahkan pemikiran saya mengenai judul ini.
Sebelumnya, definisi policy 2 anak dalam satu keluarga atau yang lebih kita kenal dengan program KB tercantum di UU No 10 Tahun 1992 yang tertulis : upaya peningkatan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Dalam artian bahwa tujuan program KB sebenarnya adalah tujuan yang luhur. Bagaimanapun ketika kita ingin mewujudkan kemaslahatan di tanah air ini maka kita telah memiliki tujuan yang mulia. Tapi memiliki anak yang banyak juga merupakan suatu berkah yang mulia juga bagi orang tua manapun yang menjalankan kodratnya untuk berketurunan.
ANTARA PRO DAN KONTRA
Saya menyetujui adanya policy 2 anak dalam satu keluarga dengan tujuan untuk menghambat lonjakan jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk miskin yangmasih begitu besar dan kesadaran untuk mengontrol jumlah anak begitu rendah berimplikasi terhadap kelahiran anak-anak miskin yang lebih banyak yang lalu berimplikasi juga kepada tingkat kesejahteraan masyarakat umum. Dengan lonjakan penduduk yang begitu besar mempersempit lapangan pekerjaan, lahan tempat tinggal dan bercocok tanam berkurang, semakin besarnya limbah dan polusi yang bersal dari industro, peternakan, pabrik, perusahaan, dll.
Penggerakan dan informasi BKKBN menunjukan bahwa 3,5 sampai 4 juta bayi lahir tiap tahunnya yang artinya setara dengan jumlah populasi masyarakat Singapura. Hal ini sangat memprihatinkan karena belum siapnya (bahkan tak akan pernah siap) menangani angka pangangguran yang begitu besar. Sehingga berangkat dari pemahaman bahwa Indonesia masih tergolong negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, saya menyepakati kebijakan dua anak dalam satu keluarga ini.
Di samping itu, saya meragukan kebijakan ini merupakan kebijakan yang tepat ataukah tidak. Karena dengan mengintervensi hak dari keluarga untuk mebuat keturunan sebanyak-banyaknya merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak kemanusiaan yang tercantum dalam hak underogable of human right yang artinya adalah hak-hak yang tak dapat dikurangi. Dengan pemerintah mengeluarkan kebijakan ini, maka pemerintah telah menghianati landasan filosofis Indonesia yaitu Pancasila pada sila ke dua yang mengandung nilai kemanusiaan yang beradab.
Belajar dari negara Cina yang juga menerapkan kontrol kelahiran yaitu dengan penerapan 1 anak dalam keluarga terbukti telah menciderai nilai kemanusiaan pada negara itu. Akibat tekanan pemerintah yang begitu ketat terhadap angka kelahiran, akhirnya pemerintah Cina melegalkan praktek aborsi. Isu ini lalu berkembang dengan adanya berita bahwa salah satu tempat makan di Cina menjual sup bayi aborsi. Pada awal tahun ini isu kependudukan lebih memanas karena seorang pejabat pemerintah Cina memaksa seorang ibu di barat laut Provinsi Shaanxi untuk menggugurkan bayinya yang sudah berumur 7 bulan.
Mengenai isu kemiskinan, Karl Marx mengatakan bahwa kemiskinan terjadi bukan karena ledakan penduduk tetapi praktik kapitalisme yang dilakukan oleh para kaum borjuis terhadap masyarakat-masyarakat kecil. Karl Marx juga berpendapat bahwa angka kemiskinan naik karena tenaga-tenaga manusia mulai digantikan dengan teknologi.
Secara subjektif, saya mengakui bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan yang mulia, tapi disisi lain rasa kemanusiaan saya bergejolak disamping keprihatinan ini. Sebagai pemerhati kesejahteraan bangsa, saya mencurahkan hati.
www.triwardanamokoagow.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun