Mohon tunggu...
Tyas Maulita
Tyas Maulita Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Konten

Penulis konten untuk web, blog, dan fanspage media sosial sejak 2018.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merindukan Balon di Langit Wonosobo

29 Juni 2017   12:20 Diperbarui: 29 Juni 2017   12:25 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hampir satu dekade, saya meninggalkan Wonosobo, kota kelahiran saya. Namun, perhatian terhadap perkembangan berita di sana tidak pernah lepas. Kabar dari keluarga lewat telepon, posting rekan di media sosial, dan artikel-artikel dari portal berita online, menjadi media sampainya segala informasi tentang 'negeri di atas awan' ini.

Mengenang jauh ke masa kecil, hari Lebaran merupakan hari-hari untuk duduk di emperan rumah. Menikmati jajan mewah, semacam ciki, wafer berlapis ratusan, dan minuman berkarbonat rasa strawberry, sambil menghitung balon warna-warni di langit. Lebih dari itu, anak-anak yang lebih besar, sanggup berlari mengejar jika melihat balon jatuh yang diyakini lokasinya tak jauh dari tempat mereka duduk.

Sementara itu, yang lain tetap anteng memerhatikan balon berbentuk es krim, kepala Doraemon, buah jeruk, bola basket, atau yang sekadar berupa objek hitam berbentuk silinder saja. Balon-balon itu, ada yang di bagian ekornya digantungi mercon, sehingga ketika meletus, bunyinya membahana di angkasa. Mendengar bunyinya saja, anak-anak sudah tak tenang duduk di rumah. Ingin keluar, meski hanya menonton balon udara dari kejauhan.

Sebagai bagian dari romantika masa lalu ini, saya yakin, ini tak mudah lekang dari dalam ingatan. Sehingga, ketika keluar peraturan pemerintah yang melarang penerbangan balon ini, banyak warga yang tak menghiraukan. Secara sembunyi-sembunyi, warga tetap membuat dan menerbangkan balon tradisional di kampung mereka. Ancaman pidana dan denda, tampaknya belum cukup membuat mereka menghentikan tradisi ini.

Pro kontra soal pelarangan ini terus bergulir. Namun, kerinduan pada langit Wonosobo yang dihiasi balon di hari-hari setelah Idulfitri, tampaknya lebih menggebu-gebu.

Pun begitu dengan saya, yang sesekali menatap lama pada foto balon udara di Cappadocia yang terselip di lembaran majalah, mengandaikan itu di lembah, pegunungan, dan tanah kami.

Di Semenanjung Malaysia sendiri, festival balon udara panas digelar setiap tahun. Sekali di Pulau Pinang dan Kuala Lumpur. Festival berskala internasional ini, melibatkan sejumlah negara selain Malaysia, seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Festival balon, digelar sepaket dengan promosi wisata negara-negara tersebut. Tentu dengan tarikan utama, mengudara dengan balon di langit Kuala Lumpur atau Penang.

Selain balon yang dinaiki penumpang, balon-balon lain cukup dikembangkan saja, lantas diikat. Pengunjung cukup puas menikmati pameran di sekitar lokasi festival, pertunjukan di panggung hiburan, dan berfoto dengan balon-balon. Meski dengan tiket masuk yang lumayan.

Seandainya kreativitas warga Wonosobo dalam membuat balon udara bisa diarahkan, tentu bisa menjadi ajang promosi wisata dan hiburan bagi masyarakat.

Pembandingan ini, barangkali tidak apple to apple. Tapi pelarangan secara tegas, memang melukakan hati (termasuk saya) yang mencintai balon.

Kalaulah bisa diambil jalan tengah, kami masih ingin melihat balon di ruang udara Wonosobo, tanpa harus berhadapan bahaya dan hukuman serius akibat melanggar peraturan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun