Mohon tunggu...
Tyas Maulita
Tyas Maulita Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Konten

Penulis konten untuk web, blog, dan fanspage media sosial sejak 2018.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menelisik Perbandingan Sastra Serumpun dalam Perhimpunan 1000 Penulis

7 Mei 2017   21:30 Diperbarui: 7 Mei 2017   22:09 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aan Mansyur menceritakan perkembangan puisi di Indonesia.

Pesta Buku Antarabangsa Kuala Lumpur (PBAKL) ke 36, tahun ini membawakan satu program baru bagi mengumpulkan penulis-penulis di rantau Asia Tenggara. Bertajuk Perhimpunan 1000 Penulis, dengan tema Seribu Tetapi Satu : Negaraku, event ini ditujukan untuk menyatukan penulis-penulis, sastrawan, dan seniman dalam industri berkaitan, khususnya di Malaysia, dan ASEAN pada umumnya.

Perhimpunan ini membuka tirainya pada 8.00 pagi, 6 Mei 2017 waktu setempat di Dewan Tun Razak 2, Putra Word Trade Centre (PWTC). Acara dibagi ke dalam 3 forum diskusi yang dibuka dengan sambutan oleh Prof. Madya Dr. Ramzah Dambul.

Dilanjutkan dengan Forum 1 yang menghadirkan penulis puisi Aan Mansyur (Indonesia), sastrawan Abdul Razak Panaemalae (Thailand), serta novelis Isa Kamari (Singapura) dan penulis  Gina Yap (Malaysia). Forum bertemakan ‘Penulis Merentasi Sempadan & Generasi’ ini dibuka dengan perkongsian dari Aan Mansyur, beliau mengetengahkan gagasan mempopulerkan bacaan puisi dalam kalangan generasi muda. Menurut penulis kelahiran Makassar ini, generasi muda hari ini mulai menggemari puisi, sejak dipopulerkan melalui buku kumpulan puisi, film, dan pembacaan di kafe-kafe.

Isa Kamari, sebagai penulis Melayu di Singapura pula, mengungkapkan proses kreatifnya dalam berkarya. Dalam novel-novel dan skrip teater, beliau mengkaji sejarah peradaban Melayu di satu sisi, dan memprediksi masa depan melalui isu-isu terkini. Gagasan ini turut disetujui oleh Abdul Razak, dalam pandangan beliau, menulis juga salahsatu cara melintasi batas generasi dengan merekam peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi. Menutup Forum 1, Gina Yap menuturkan, tulisan dan bahasa menjadi perekat persatuan antarkaum di dalam negara.

Marathon diskusi penulis serumpun ini, berlanjut ke Forum 2 yang cukup meriah. Diisi oleh 4 penulis muda Malaysia, Hilal Asyraf, ZF Zamir, Saharil Hasrin Sanin, dan Fahd Razy, forum membahas Apresiasi dan Masa Depan Sastra di Tangan Generasi Muda. ZF Zamir, panelis yang merupakan penulis esai ini, tampil menyengat dan penuh semangat

. Dalam ucapannya, beliau mengkritisi penulis-penulis yang dilihat memiliki kedekatan dengan pemerintah. Hal ini, dipandang sebagaipenghalang bagi mengemukakan kritik terhadap kebijakan yang ada. Hilal Asyraf, penulis buku-buku motivasi islami pula, menomentari  isu kualitas buku yang dihasilkan dewasa ini.

 Pada hemat beliau, buku perlu memberikan efek bagi pembaca setelah melahap isinya. Saharil menambahkan, unsur kapitalisme dalam industry buku juga menjadi salahsatu factor yang mencorakkan karya-karya yang beredar kini. Dalam forum ini, turut membahas isu tema musiman dalam penghasilan karya tulisan. Panelis sempat menyinggung tren novel-novel yang memiliki judul hampir serupa, seperti diawali kata ‘Suamiku ... (dst)’

Apapun yang menjadi trend kini, tidak patut untuk disalahkan, tutur Saharil. Sebab yang demikian adalah masanya, sesuai dengan fungsi karya tulisan yang merekam zaman, selain dari factor ‘menjual’ di dalamnya. Zamir menambahkan, generasi muda sekarang, kurang membaca bacaan-bacaan berkualitas, sehingga karya yang dihasilkan pun terkesan mentah.

Tak hanya panelis yang berbicara dalam forum, audiens pun diberi kesempatan berpendapat. Di antaranya, sastrawan senior Pak Habib, yang mengemukakan bahwa penulis mesti berani menentukan sikap lewat karyanya, tidak silau dengan imbalan, pendapatan, dan penghargaan yang diterima, serta memiliki jiwa idealis.

Forum terakhir, membahas ‘Adaptasi Novel ke Film : Pengalaman Malaysia dan Indonesia’, menghadirkan Ramlee Awang Murshid (Malaysia) dan Trinity (Indonesia). Keduanya menceritakan bagaimana proses adaptasi karya mereka ke dalam layar lebar. Ramlee yang pernah memfilmkan karyanya Legenda Budak Setan, mengaku belum puas terhadap adaptasi yang telah dilakukan.

 Menurut beliau, visualisasi cerita tidak semuanya bisa ditampilkan dalam bentuk gambar bergerak. Terlebih jika cerita menggambarkan kekuatan supernatural seperti dalam novel Tombiruo beliau, yang akan diangkat ke film tahun ini. Sementara Trinity, mengungkapkan, dalam film, unsur komersial harus dipertimbangkan, utamanya dalam memilih pemeran. Kecenderungan film Indonesia, bukan menggunakan actor/aktris yang sesuai dengan penggambaran dalam novel, melainkan yang sedang digandrungi pada masa tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun