Sebelumnya aku tak bisa tidur selama dua hari. Kepalaku pening. Hidungku mampat. Mataku perih. Kulirik jam sekali lagi: ternyata 12 malam. Entah mengapa aku ingin keluar sebentar. Kuputar kunci dan kenop pintu. Dan pusaran angin langsung menampar wajahku.
Katakan, apa yang akan kalian lakukan bila bertemu sosok wanita berpakaian serba hitam sedang menangis di tengah malam? Kabur dan menutup pintu? Atau berteriak dan ikut menangis? Aku biasanya akan melakukan kedua hal itu secara bersamaan. Namun, kini, batinku menolak untuk kabur ataupun berteriak. Kakiku justru memerintah untuk mendekati wanita yang tengah merunduk sesenggukan. Sedangkan tanganku kaku bergemetar.
"Tersesat?" begitu tanyaku pertama kali.
Ia tak menjawab, tak juga menoleh untuk memperlihatkan sopan santun.
"Di mana rumahmu?" tanyaku yang kedua.
Wanita itu tetap menangis. Aku sudah berancang akan kembali ke dalam rumah, bila ia tetap bersikukuh untuk tidak menjawab pertanyaanku yang ke tiga.
"Maaf sudah menganggumu. Ada yang bisa kubantu?"
Lagi-lagi ia terdiam. Final sudah. Aku kembali ke rumah dengan langkah gontai. Bukan membaik, justru kepalaku semakin pening. Hidungku semakin mampat. Mataku perih bukan kepalang. Tetapi kantuk tak juga datang.
Aku kembali membuka pintu dan membiarkan angin menampar wajah dan menerbangkan anak-anak rambutku. Wanita itu mulai berhenti menangis di ujung sana. Ia mulai berjalan pulang.
Tidak, maksudku, ia mulai berjalan menghampiriku.
Aku tidak dapat menahan degup jantung. Tanganku bersiap memutar kenop pintu bila mana ia ternyata makhluk astral tak berwajah atau mempunyai luka mengerikan yang berdarah-darah. Namun... wanita itu ternyata tampak sebagai gadis manis yang tak berdosa.