Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Museum MACAN dan Pelajaran tentang Waktu

12 September 2018   07:00 Diperbarui: 12 September 2018   07:32 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.platform-ad.com

Life is the heart of a rainbow

Hidup adalah jantung dari sebuah pelangi. Begitulah tajuk dari pameran karya seniman asal Jepang, Yayoi Kusama. Semenjak melihat ulasan dari seorang teman di instagram tentang Museum MACAN, saya jadi penasaran tentang seperti apa rupa dan penampakan museum tersebut. 

Pikiran saya tentang benda-benda kuno khas museum, langsung sirna seketika. Tidak ada lukisan tua dengan cahaya redup, atau benda-benda kuno yang mulai diselimuti debu. Museum Macan adalah museum paling instagrammable yang saya tahu. Bahkan saya sendiri bertanya-tanya, cocokkah tempat itu disebut museum?

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ketika saya sangat ingin mengunjungi Museum MACAN, salah satu komunitas mengadakan event untuk berkunjung ke sana secara gratis. Dan tanpa disangka, nama saya terdapat dalam daftar nama-nama yang terpilih. Saya tidak dapat menahan senyum lebar saat itu. Namun apa daya ketika deadline tugas kuliah bertepatan dengan jadwal kunjungan. Walau sudah saya jadwalkan sebaik mungkin, saya akhirnya telat sampai ke sana.

Dikarenakan pengunjung yang meledak di hari terakhir pameran, pihak museum akhirnya membatasi jadwal kunjungan. Saya yang telat dari jadwal kunjungan, akhirnya tidak dapat masuk, bersama dua teman saya yang ikut telat. Namun ternyata bukan hanya kami, pengunjung yang baru datang pun banyak yang tidak bisa masuk, karena tiketnya sudah habis terjual. 

Karena sudah terlanjur datang, saya akhirnya memutuskan untuk berkeliling di luar ruang museum. Toh sudah basah, lebih baik berenang sekalian, dari pada mengeringkan baju sekarang. Senyum saya akhirnya melebar ketika menemukan bola-bola kuning dengan motif polkadot yang menggantung di langit-langit. Dots obsession.

Ilustrasi: dokpri
Ilustrasi: dokpri
Bola-bola itu tergantung di pintu masuk ruang museum. Motif bola kuning dengan titik-titik hitam, membuat saya berpikir tentang nama museum ini. Ya, Museum MACAN. Untuk orang awam yang baru pertama kali mendengar nama Museum MACAN, mungkin mengira museum ini menyimpan arkeologi atau tulang belulang macan. Namun ternyata tidak. Maka saat itu saya berpikir, mungkin dinamakan "Macan" karena dots obsession ini. Bukankah motif dots obsession mirip dengan macan tutul?

Namun setelah ditelisik lebih jauh, ternyata MACAN merupakan singkatan dari Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara. Maka, penulisan yang benar adalah "Museum MACAN" bukan "Museum Macan", karena MACAN itu sendiri merupakan sebuah singkatan. 

Setelah puas melihat bola kuning bermotif polkadot, saya beralih ke tembok yang tampak ditempeli oleh banyak tulisan. Tulisan tersebut ternyata rangkuman sejarah sang seniman, yakni Yayoi Kusama. Wanita yang akrab dengan wig bewarna merah menyala itu ternyata mengalami kisah hidup yang cukup rumit.

Salah satu kisah hidup Yayoi Kusama di Museum MACAN. Ilustrasi: dokpri.
Salah satu kisah hidup Yayoi Kusama di Museum MACAN. Ilustrasi: dokpri.
Yayoi Kusama lahir di kota Matsumoto, Jepang pada 22 Maret 1929. Masa kecilnya tidak terlalu baik. Kusama mengalami gangguan mental karena ia sering mengalami kekerasan di rumah. Kekalahan perang dunia II membuat psikis Kusama rapuh. Terlebih ketika ia memutuskan menjadi seniman profesional, yang jelas ditentang orang tuanya karena menganggap itu sebagai profesi yang sia-sia. Meski begitu, Kusama akhirnya belajar di Kyoto Municipal School of Arts and Crafts, Jepang, sebelum akhirnya pindah ke Amerika dan menyelenggarakan beberapa pameran di sana. 

Pada 1962, Yayoi Kusama bertemu dan memulai hubungan dengan seniman Amerika, Joseph Cornell. Namun setelah Joseph Cornell meninggal, Yayoi Kusama kembali ke Jepang dan kesehatannya juga memburuk. Sejak tahun 1977, Kusama memilih tinggal di rumah sakit jiwa karena halusinasi dan gangguan kecemasan yang ia derita sejak kecil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun