Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Kehidupan

20 September 2017   08:47 Diperbarui: 20 September 2017   09:25 2255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: apure.com.tw

Kemarin kau melihat rambutan matang di pohonnya, lalu berkata, "aku ingin memakan rambutan". Hari ini kau melihat seseorang memakan roti, dan berkata, "sudah lama tidak memakan roti". Lalu baru saja tukang es cincau lewat di hadapanmu dan kau menyetop, "aku mau cincau."

Hidup ini ternyata seperti pasar swalayan. Beragam bentuk dan ciptaan berlomba melaparkan mata. Namun kau lupa bahwa itu juga memekik napsu, menguras akal. Kemarin, baru saja lembar-lembar merah mengisi penuh dompetmu. Sekarang, tinggal tersisa berapa lembar abu-abu yang meringsut malu.

Hari ini, kau berceloteh tentang ibu kos yang baru saja menaikan uang sewa kamarmu. Esok, kau berceloteh tentang Gubernur yang tak becus membangun infrastruktur. Sedangkan lusa, kau berceloteh tentang Presiden yang memainkan harga daging dan tahu.

Lalu air matamu berlinang ketika seorang teman mengingatkanmu bahwa masih banyak orang yang hanya berbantal angan, beratap langit, dan beralas bumi untuk menghabiskan malam. Masih banyak orang yang meminum keringat, memakan semangat, dan mengganjal perut yang lapar dengan bait doa. Masih banyak yang melunta-lunta, mengais receh dari bus kota, dan berharap iba pada raga-raga yang mulai tak berjiwa.

Namun keesokan siangnya kau masih menyalahkan tukang parkir yang tak becus memakirkan sepeda motor kesayanganmu. Menyelak antrian untuk membeli tiket kereta di depan seorang ibu yang mulai linglung. Dan pura-pura tak tahu ketika menginjak kaki seseorang untuk mengejar kereta yang pintunya sudah akan tertutup.

Di matamu, kehidupan hanya sebuah sandiwara di panggung sekolah. Hari ini kau menolong nenek tua untuk menyebrang jalan, esok kau mencaci makinya karena terlalu lama berjalan. Hari ini kau menegur seseorang di bangku kereta untuk memberi duduk pada ibu hamil, keesokannya kau pura-pura tertidur agar tak terlihat oleh ibu hamil. Di matamu, kehidupan mungkin hanya sebuah rangkaian dongeng seribu satu malam. Namun kau lupa, dunia punya lebih dari seribu juta, atau bahkan seribu milyar malam, sampai tak ada  yang pernah menghitungnya. Dunia punya lebih banyak kisah yang membuat air matamu meleleh, tawamu meledak, dan kepalamu pusing secara bersamaan.

Tanyakan saja pada langit yang menjaga dunia siang malam, atau kepada angin yang berhembus di segala sisi kehidupan. Mereka lebih memahami kisah dunia daripada manusia. Mereka bahkan tahu bahwa pencopet akan menyesali perbuatannya dalam diam, namun tetap beraksi di hari kemudian.

Tanyakan pada semut yang suka bersembunyi di dinding-dinding rumah. Mereka tahu bahwa seorang ibu yang memarahi anaknya tak pernah sampai hati berkata demikian. Tanyakan pada nyamuk, rayap, dan kupu-kupu. Tanyakan pada jendela, kusen pintu, keramik, dan batu. Tanyakan pada tawa, tangis, dan lara. Tanyakan mengapa daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Tanyakan mengapa matahari tak pernah membenci awan dan hujan. Tanyakan mengapa seorang tak pernah benar-benar membenci mantan kekasihnya.

Kau mungkin lupa kehidupan layaknya roda yang berputar. Ada kalanya kau tertawa kencang, namun tak jarang juga kau menangis sesenggukan. Suatu hari kau memuji kehidupan, di hari lainnya kau memaki permasalahan. Ah manusia memang tempatnya lupa. Termasuk melupakan bahwa hidup dan masalah adalah sabun cuci dan piring gratis yang ada dalam satu paket belanjaan.

Di suatu siang, kemudian kau bertemu dengan seorang ibu yang berteriak-teriak mencari sang anak. Rupanya ia baru saja turun dari bus kota dan tak mendapati anaknya di sisinya. Tentu semua orang mendadak iba dan membantu mencarinya. Salah seorang bahkan mengajukan diri untuk melaporkan kehilangan ini ke polisi. Namun kau tetap diam di tempat. Matamu memanas. Air asin tiba-tiba saja datang tanpa aba-aba. Kakimu kemudian berlari menemui satu-satunya wanita yang kau benci sekaligus kau cintai. Tanah pemakaman itu basah. Mungkin seseorang baru saja menyiraminya. Namun kau ingat, kau adalah satu-satunya anak. Mungkin semalam hujan. Namun siang ini, matahari tengah berada di puncak kemarau. Kau baru sadar kalau bajumu juga basah. Pipimu basah. Matamu basah. Dan bibirmu bergetar, "bu, aku rindu."

20 September 2017.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun