Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mari Menghormati Pepohonan; Nasihat dari Rengas dan Putat

9 Mei 2013   12:25 Diperbarui: 4 April 2017   17:22 7340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Awal Mei, di Sampit, ibu kota kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah 2013.

Satu pagi saya menggaruk terus betis kaki sebelah kini. Ada gatal yang bukan saja berulang namun juga menjalar. Menggaruknya  selalu menghadirkan 'nikmat plus  rasa penasaran'. Makin digaruk kok makin gatal dan menjalar ?. Hingga akhirnya dari bekas garukan itu menimbulkan kumpulan bintil-bintil kecil, berwarna merah dan permukaannya terasa panas. Wah, gawat, ini bukan gatal yang biasa, batin saya.

Lalu mulailah saya bertanya-tanya : terkena apa saya ?. Apa yang saya lakukan sebelum balik ke Sampit ?. Kenapa kaki saya bisa begini ?. Tidakkah selama dua bulan hidup di tengah suku sungai tak ada satu pun terjadi gangguan terhadap kulit ?. Saya mandi di sungai yang berwarna coklat dengan jejeran jamban di pinggirnya pun tak kenapa-kenapa. Atau gatal-gatal ini muncul sebagai akibat dari penumpukan bakteri dan sejenisnya selama mandi di sungai itu ?.

Saya juga lahir dan besar di Papua, terbiasa main di pinggiran hutan dan sungai, masa tubuh ini kalah dengan hutan Kalimantan ?. Sungguh, serangan si Rengas ini sudah mengguncang ‘keyakinan historis lagi eksistensial’, seolah menyindir halus : ‘kamu memang manusia produk budaya urban, tak cocok hidup di habitat seperti ini!’. Huh!.

Hingga akhirnya seorang kawan, turunan salah satu anak suku di Kalimantan Tengah, menyimpulkan kalau betis sebelah kiri itu terkena ‘serangan pohon Rengas’. ‘Kamu di-bari pohon Rengas!’ tegasnya. Spontan saya bertanya :’ seperti apa rupa pohon itu ? adakah di dekat ini (Sampit), saya mau lihat!’. ‘Tidak ada. Ia tumbuh di pinggiran sungai atau hutan’, katanya lagi. Jangankan terkena langsung getahnya yang berwarna putih, melintasi pohonnya saja, bisa diserangnya. Pendudukan kampung saja masih sering terkena serangan ini. Saya yang sekedar melintasinya saja gatalnya sudah gak karuan, apalagi dihajar langsung getahnya. Tegas kata : belum ada ilmu untuk kebal dari serangannya kala pertama berjumpa.

Dari cerita teman ini dan akibat yang saya derita, terbitlah kesimpulan jika Rengas  merupakan pohon yang tergolong berbahaya dalam urusan gatal menggatalkan. Ampun deh Rengas.

Besok harinya, paska timbulnya bintil-bintil merah itu, betis sebelah kiri mulai berwarna hitam. Tapi gatalnya tetap tak berhenti. Belum selesai di kiri, persis di atas mata kaki sebelah kanan, juga hadir gejala yang sama. Oh, sialan, serangan si Rengas tak main-main rupanya.

Bagaimana melumpuhkan’serangan si Rengas ini’ ?.

Tindakan pertama yang saya lakukan adalah mengoleskan salep anti gatal. Mula-mula saya mencoba salep buatan China, lupa mereknya apa. Hasilnya, salep China kalah kuat. Lalu coba ganti dengan Dexametason, masih juga kurang efektif. Lah ?. Lalu harus bagaimana sekarang ?. Haruskah ke dokter kulit ?. Dimana dokter kulit yang hebat di kota kecil seperti Sampit (pikiran urban saya mulai bekerja) ?. Karena serangan Rengas, haruskah meminta tolong dokter kulit ?. Tak adakah tata cara atau pengetahuan tradisional untuk menghalau keluar gatal-gatal ini ?.

Lalu teman saya mulai bercerita kebiasaan unik di kampungnya jika terserang Rengas. ‘Ini pun kalau kamu percaya Ji’, pesannya sebelum membuka cerita. Di kampungnya warga yang terserang Rengas hanya akan mengambil salah satu pakaian (kaos, kemeja, kutang, dll) yang diikat pada sebatang pohon. Tapi bukan sembarang pohon. Hanya pohon bernama Putat (seperti Rengas, hingga balik jeJakarta, lagi-lagi saya tidak sempat berjumpa dengan pohon ini). Lalu sesudah diikat, si pemilik pakaian itu berujar pada si Putat (tentu dalam bahasa lokal): ‘Pembekal, Pembekal, saya diganggu Rengas. Mohon Rengas ditegur!’.

‘Hasilnya apa?’ tanya saya sesudah kita minta tolong ke Putat. ‘Nanti sembuh sendiri’, katanya sambil tersenyum. Oh ya ?. ‘Itu kalau kamu percaya’, tegasnya. ‘Kalau tidak cukup, maka daun Putat diambil pucuknya lalu dicampur dengan bedak dingin dan oleskan di kulit terdampak itu, segera saja akan sembuh’, jelasnya menambahkan. Oh, tetap saja Putatlah sang penyelamat itu.

Yang menarik bagi saya adalah 'ritus pengaduan korban ini'. Pengaduan korban serangan Rengas kepada sang Pembekal bisa dikata merupakan bentuk 'tindakan simbolik' yang bukan sembarang tindakan. Dari tindakan simbolik seperti ini, dalam hemat subyektif saya, bisa ditafsirkan beberapa makna yang tersimpan :

Pertama, bisa dikatakan Rengas yang ‘nakal’ ini punya ketakutan terhadap Putat. Putat adalah pembekalnya, semacam pemimpin di antara mereka. Dengan mengadu kepada Putat yang memiliki otoritas lebih tinggi dalam komunitas mereka, Rengas bisa dikendalikan kelakuannya. Barulah saya tersadarkan, sebagai makhluk hidup, pepohonan bukanlah pelengkap keindahan atau pemuas kebutuhan manusia. Mereka juga hidup, saling terhubung, dan punya komunitas sendiri. Mereka juga hidup dan punya daulat yang tak bisa diperlakukan suka-suka hati oleh tangan-tangan manusia.

Kedua, di antara pepohonan itu, ada hubungan-hubungan yang saling melengkapi. Mereka tidak diciptakan dalam komposisi yang nir-fungsi. Maka segala rupa penyakit yang berasal dari alam juga akan  ditemukan penyembuhnya pada alam, seperti hubungan Rengas dan Putat. Karena itu perlakukan mereka dengan baik : penuh cinta dan penghormatan.  Sebagaimana sudah dipraktikkan manusia Dayak yang terkenal sangat religius kepada alam dan isinya.

Ketiga, sebab itu posisi dan hubungan manusia dan hutan dan segala isinya adalah setara dan saling memperkuat keberadaan juga keberlangsungan hidup satu sama lain. Inilah basis nilai dan etik relasional untuk menjaga keseimbangan juga keberlanjutan kehidupan alam raya. Jika manusia ‘sakit’ karena serangan makhluk dari hutan, maka penangkal atau obatnya pun selalu tersedia disana. Tak perlu panik, alam menyediakan banyak hal untuk menampung kebutuhan manusia, namun kerakusan manusia yang menghancurkannya, pesan Mahatma Gandhi.

Mungkin bagi banyak orang, ‘tindakan simbolik’ diatas hanyalah pantulan dari sisa-sisa primitifisme suku-suku di Nusantara saja. Dunia yang kita huni sekarang memang makin menjauhkan kita dari pemahaman seperti ini. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran juga industri farmasi yang lebih ‘positivistik’ telah menggusur kearifan lokal di banyak tempat.

Sudut pandang kita yang terus memahami alam tidak lebih dari obyek pasif yang bisa suka-suka hati dieksploitasi sudah menuai akibatnya. Kini bukan saja potensi perang nuklir yang mengancam keberlangsungan hidup spesis manusia tetapi juga krisis ekologi.

Bagi saya, pelajaran dari Rengas dan Putat yang mengajarkan untuk lebih memposisikan alam sebagai sahabat, sebagai sebagai subyek dalam kehidupan sebagai titipan sementara dari Pencipta. Ini hanyalah satu kasus kecil saja dari lautan kekayaan kearifan lokal suku-suku di Nusantara kepada alam.Intinya, mari kita kembali belajar kepada alam.

Semoga bermanfaat. Salam akhir pekan para Kompasianer.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun