Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pria Sukses

28 Februari 2017   10:29 Diperbarui: 1 Maret 2017   06:00 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: LandingStanding

Ia tak bisa melihat bulan tanpa mengira-ngira jaraknya.

Dia produk dari sebuah jaringan kampus ternama. Benar-benar ternama, berumah budaya di sebuat centris-state, pusat yang mengontrol. Pusat yang mengimani mutlak, total, dan konsisten kepada yang serba modern: segala peristiwa harus tunduk dalam penjelasan rasio. Di negara serba harus ada penjelasan yang masuk akal, rumah kesadaran yang bertahun-tahun disetubuhinya sebelum pulang, segala yang di bumi tidak boleh menyisakan misteri, tahayul pun romantisme. Bahkan masa lalu, atau apa yang pernah hidup di zaman sebelum penjelajahan, penaklukan, pemusnahan termaktub dalam aksara, mereka akan berusaha menuliskannya. Mendapuk diri sebagai jenius penemu. 

Kini terhadap masa depan, kepada bumi yang tidak lagi bersisa misteri dan terus terluka, dia mulai membayangkan sebentuk kehidupan di luar sana. Seperti dalam interstellar, masa depan adalah kehidupan baru di luar angkasa, teknologi yang bisa mengatasi penjara ruang dan waktu, ekonomi dan kekuasaan yang digerakan robot, dan ras khusus yang memimpin. Hanya ras terpilih!

Ia tak bisa melihat pohon tanpa mengira-ngira kayu yang bisa didapatnya.

Segala yang disediakan bumi hanyalah materi, keberadaan yang harus selalu memberi manfaat-manfaat langsung pada dirinya. Demi menumpuk kekayaan? Aha, ini hanya akibat turunan semata. Lebih dari menjadi kaya atau karena dengan menjadi kaya, maka mereka yang miskin hanyalah statistik manusia-manusia tidak berguna, yang hendak ditunjukkannya adalah berpengetahuan adalah senjata terbaik untuk berkuasa. 

Hutan, laut, langit biru harus tunduk pada kehendak berkuasa itu!

Ia tak bisa melihat lukisan tanpa mengira-ngira harganya.

Bagaimana dengan estetika, seni keindahan, keberadaan lain yang secara sempurna selalu dilukiskan alam raya sebelum manusia belajar meniru hingga bermimpi melampauinya? Dia berpikir itu sesuatu yang ganjil kalau bukan sakit. Seni hanyalah kebutuhan untuk bernostalgia. Maksudnya, ketika bumi tak lagi bersisa, semua yang ada padanya hanyalah kisah materi yang berangsur-angsur musnah, seni hadir untuk mengenang bumi dalam penceritaan aneh, penuh misteri dan tahayul. 

"Kau sudah paham bila kukatakan, seni adalah kebutuhan untuk pelarian diri?" tanyanya suatu ketika.

Ia tak bisa melihat menu tanpa mengira-ngira kalorinya.

Masihkan dengan pikiran-pikiran seperti itu, dia memikirkan keberadaan tubuhnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun