dia mendirikan samudera di atas
kepala yang sempit dan gagap
berbincang-bincang dengan jejak langkah
berwarna gelap di sepanjang bayangan sendiri. hampir pasrah
masih ada seorang anak kecil di sana, rupanya!
tak mampu lagi berpura-pura sebagai orang tak berbahaya
kepada dunia, kepada khotbah tentang karir,
contoh-contoh kesuksesan
atau sekolah pemerintah demi menyamar
dari rasa letihnya sendiri
anak itu, fana, malang. muak dan merosot:
ia padang tandus dan asing. pantai yang hening.
pada setiap senja, samudera di kepalanya ikut berwarna jingga
dia terkantuk-kantuk seperti lelaki menunggu
perempuan datang dari balik gelombang
tanpa membawa apa-apa, selain rona saja
tapi, bahkan sedikit saja cerita dari laut bulan September
tak ada! hanya dongeng mereka yang telah menjadi mayat,
di matanya putus asa ingin menghempaskan segala,
membakar yang memelihara pikirannya
pernah dipajang foto bapaknya yang sepanjang waktu
berkeringat tanah itu. yang mati tanpa sedikit saja tersenyum.
tidak mengatakan apa-apa, tidak pernah percaya siapa-siapa.
terus ibunya ikut mati, tapi tidak bersedih.
dia memang menunggu angan-angan,
tanpa pernah kemana-mana.
tinggal samudera bergemuruh di kepala
hingga tua membelah rahasia-rahasianya
sementara kasih sayang memang
tidak selalu ingin menjadi puisi.
[Solok Buntu-Sembilang, 2019]