Mohon tunggu...
Tulus Sinurat
Tulus Sinurat Mohon Tunggu... -

Mahasiswa tingkat akhir Program Studi Teknik SIpil Universitas Katolik Parahyangan, Kota Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demografi Indonesia: Aspek Krusial Pembangunan yang Terpinggirkan

5 Juni 2018   11:10 Diperbarui: 6 Juni 2018   19:44 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 261 juta manusia, merupakan negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan karakteristik, komposisi, dan distribusi penduduk, yang dikenal dengan istilah demografi. 

Namun, diskusi mengenai hal ini seringkali terpinggirkan di media massa yang dipenuhi dengan isu-isu mengenai huru-hara politik, korupsi, dan sentimen primordial. Desentralisasi kekuasaan paska reformasi pun menyebabkan terpinggirkannya pengendalian demografi melalui program Keluarga Berencana sebagai prioritas di banyak pemerintah daerah.[1] Sementara untuk jangka panjang, perihal demografi ini dapat menentukan maju tidaknya suatu negara.

Dalam beberapa tahun kedepan Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi atau dikenal pula dengan istilah demographics dividend. Suatu kondisi dimana jumlah populasi penduduk di usia produktif (15-64 tahun) melampaui jumlah penduduk usia non-produktif (<15 tahun dan >64 tahun).[2] Bahkan di rentang tahun 2020 hingga 2030, jumlah penduduk usia produktif lebih dari dua kali lipat jumlah penduduk usia non-produktif.

Secara sederhana, asumsinya adalah bahwa demografi bonus ini akan menggenjot perekonomian bangsa, dikarenakan semakin banyaknya orang yang bekerja. Sehingga ketersediaan lapangan perkerjaan menjadi krusial. India menghasilkan 17 juta tenaga kerja setiap tahunnya, ketika lapangan kerja yang tersedia setiap tahunnya hanya sejumlah 5,5 juta.[3] Jelas kondisi tersebut mengakibatkan tingginya jumlah pengangguran dan menjadi sumber kemiskinan.

Namun nyatanya, ini bukan hanya perkara pekerjaan. Retorika bahwa bekerja setidaknya lebih baik daripada menganggur adalah omong kosong. Tanpa adanya pegembangan kualitas sumber daya manusia dan perlindungan hak pekerja, masyarakat hanya akan menjadi tenaga kerja buruh dengan penghasilan minimum, dan tetap terperangkap dalam kemiskinan. Korea Selatan yang menanggulangi kekurangan lapangan pekerjaan dan menikmati bonus demografinya semenjak tahun 80'an hingga puncaknya di tahun 2004, nyatanya selama satu dekade terakhir mengalami peningkatan populasi miskin. Dimana generasi mudanya memiliki penghasilan dibawah angka layak, sementara generasi tua yang sudah tidak lagi produktif juga hidup dalam kondisi miskin. Pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak dapat dinikmati semua orang, mengingat tingginya tingkat kesenjangan ekonomi.[4]

Puncak bonus demografi biasanya didahului oleh penurunan tingkat fertilitas. Melalui semacam program Keluarga Berencana (KB), yang kemudian menahan laju pertumbuhan populasi non-produktif di rentang usia dibawah 15 tahun. Sehingga mengurangi tanggungan populasi produktif. Hal tersebut, terlepas dari sukses tidaknya negara memanfaatkan puncak bonus demografi, akan menciptakan perubahan struktur populasi selanjutnya. Dimana populasi produktif ini, cepat atau lambat, akan menua. Bila pada puncak bonus demografi, negara sukses menciptakan dan memanfaatkan populasi produktif. Serta mempersiapkan masyarakat akan masa tuanya. 

Maka alih-alih menua menjadi populasi tidak produktif dan membebani negara, mereka akan tetap produktif. Sehingga rentang usia produktif memanjang, dan akan menghasilkan puncak bonus demografi kedua. Namun bila negara gagal, maka tidak hanya puncak bonus demografi pertama sia-sia. Namun juga diikuti dengan besarnya populasi produktif tak berkualitas yang menua dan menjadi beban negara. Jepang merupakan kasus unik, dimana mereka mampu memanfaatkan bonus demografi pertama mereka. Namun kewalahan menghadapi masyarakat mereka yang menua dan menjadi beban negara dikarenakan tidak produktif dan tidak memiliki proteksi hari tua. [5]

Pemerintah Indonesia berkeyakinan bahwa perubahan struktur populasi ini hanya dapat menghasilkan bonus pertumbuhan ekonomi selama disertai dengan kebijakan pembangunan lintas sektor yang memperhatikan dampak jangka panjang. Hal ini tercermin melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Mencakup lima aspek mulai dari (1) Sosial, kebudayaan, dan keagamaan; (2) Ekonomi dan ketenagakerjaan; (3) Sumber daya alam dan lingkungan hidup; (4) Politik, hukum, dan keamanan; serta (5) Pengembangan wilayah, infrastruktur, dan tata guna lahan.

Namun disamping memastikan tercapainya RPJMN, penyesuaian kebijakan harus dilakukan terkait beberapa hal.[6] Diantaranya adalah penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan mampu mengakomodasi populasi produktif hingga 25 tahun kedepan. Fleksibel terkait ketentuan ketenagakerjaan, upah minimum, jam kerja, dan perlindungan hak pekerja. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian insentif agar masyarakat mau menyisihkan penghasilannya baik untuk menabung maupun berinvestasi. 

Hal ini agar masyarakat dapat membangun dan melindungi aset mereka, sehingga dapat mempertahankan standar hidup ketika mereka pensiun (guna menghindari kasus Jepang). Hal lainnya adalah mengenai kesehatan, dimana sektor ini harus menyesuaikan dengan perubahan struktur usia populasi. Yaitu dengan lebih memfokuskan pelayanan kepada penanggulangan dan pencegahan penyakit kronik yang disebabkan oleh gaya hidup. Mengingat tingginya jumlah perokok dan pola makan yang tidak sehat di tengah masyarakat Indonesia. Hal terakhir adalah mengenai pendidikan. Bila Indonesia ingin memiliki tenaga kerja yang berkualitas dan inovatif, pengembangan dan peningkatan akses terhadap pendidikan tinggi dan vokasi perlu dilakukan. Guna menghindari tenaga kerja Indonesia hanya menjadi buruh rendahan di negeri sendiri.

 Tentu isu demografi Indonesia perlu dikaji lebih jauh. Mengingat minimnya diskusi akan isu tersebut, terkait dengan perannya dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negara. Dan, belajar dari pengalaman negara lain, kebijakan-kebijakan yang diterapkan haruslah dinamis dan dapat mengakomodasi perubahan-perubahan struktur populasi kedepannya. Sehingga alih-alih mengikuti proses yang sama dengan yang dilalui oleh negara-negara maju, Indonesia dapat melompat lebih jauh dan menyusul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun