Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penggusuran di Sunter dan Sajak "Tukang Gusur" Fadli Zon

18 November 2019   08:41 Diperbarui: 18 November 2019   08:46 8133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi bangunan dan tempat usaha warga di Jalan Sunter Agung Perkasa VIII, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara | Gambar: KOMPAS.com

"Kami semua pendukung Anies, tapi kenapa digusur? Katanya dulu tidak ada penggusuran saat kampanye," keluh Subaidah, salah seorang warga Sunter yang rumahnya ikut jadi korban gusuran.

Apa yang disampaikan Subaidah barangkali mewakili keluhan warga yang bermukim di sekitar Jalan Sunter Agung Perkasa VIII, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada Kamis, 14 November 2019, Pemprov DKI Jakarta melalui Pemkot Jakarta Utara telah melakukan penertiban bangunan di lokasi tersebut.

Sebanyak 1.500 personel gabungan dari kepolisian, Satpol PP, dan PPSU dikerahkan untuk menertibkan "bangunan liar" yang digunakan warga sebagai hunian sekaligus tempat usaha.

Penertiban pun sempat berujung bentrok, karena warga berusaha mempertahankan bangunan mereka yang diklaim sudah ditinggali sejak puluhan tahun lalu.

Pemkot Jakarta Utara mengaku, sebelum penertiban, imbauan dan surat peringatan sebanyak tiga kali sudah disampaikan, namun warga tetap menolak dengan alasan takut kehilangan tempat usaha. Warga mencari nafkah dari barang-barang rongsokan.

Salahkah Pemkot Jakarta Utara melakukan penertiban? Bukankah memang tanah yang didiami oleh warga berstatus ilegal, milik pemerintah, dan tepat berada di pinggir sungai yang bisa mengganggu aliran air?

Itulah dasar mengapa Pemkot Jakarta Utara menegaskan aksi penertiban sesuai aturan. Ditambah lagi ada program pemerintah untuk menormalisasi sungai (sepanjang 400 meter dengan lebar sekitar 6 meter).

Salahnya Pemkot Jakarta Utara yaitu tidak mempertimbangkan secara matang nasib warga korban gusuran. Warga asal digusur, padahal efeknya ke mana-mana.

Baiklah bahwa dijanjikan rumah susun, namun apakah statusnya gratis atau sewa? Di mana lokasinya? Bagaimana dengan sumber mata pencaharian warga yang menjadi terganggu? Bukankah semua warga hidup dari barang-barang bekas? Jadi, di sini Pemkot Jakarta Utara belum menyiapkan solusi pasti bagi warga.

Lalu salah pulakah warga bertahan dan menolak digusur? Bisa salah, bisa juga tidak. Salahnya adalah mereka tidak tahu bahwa meskipun sudah menduduki sekian puluhan, status tanah bukan hak milik pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun