Mohon tunggu...
tsurayya zain
tsurayya zain Mohon Tunggu... Dosen - edu-parenting practitioner

traveler, scholarship hunter, dream catcher

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Eco Kantin Maatoa, Pahlawan Lingkungan di Tengah Polusi Kebakaran Hutan

3 Oktober 2019   21:02 Diperbarui: 10 Oktober 2019   08:57 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maatoa Eco Canteen: Kantin pertama yang mengusung tema minim sampah di Palembang

Kabut asap yang mengepung Palembang beberapa minggu belakangan ini semakin mengusik aktivitas warganya. Betapa merindunya kami dengan udara bersih yang biasa kami hirup setiap pagi. Belum lagi polusi kendaraan yang membuat udara semakin pekat dan sesak.

Di tengah kepungan asap ini, saya bersinggah di suatu tempat di tengah hiruk-pikuk kota. Maatoa Space namanya. Beberapa pohon matoa menjulang tinggi nampak menggerombol membentuk hiasan alam yang sungguh artistik.

"Selamat datang di Kantin Maatoa. Kantin untuk UMUM. Bebas plastic dan Minim Sampah. Makanan Sehat NOn MSG."

Begitu tulisan yang terpampang di plakat saat kami memasuki kantin nan asri ini. Begitu masuk saya langsung disambut hangat oleh seorang ibu lanjut usia yang tampak masih segar dan berkarisma. Didekapnya tangan saya erat. Ibu Tasmania namanya. Beliau pemilik kantin bersahaja ini yang sudah pensiun dari dari pekerjaannya sebagai dosen Jurusan Biologi UNSRI 2 tahun silam.

"Saya mau pergi ke kampus. Mau ambil dana pensiun"

Ujar beliau sambil mengambil tempat duduk di sebelah saya. Handphone era 2000-an tergenggam di tangannya. Saya pun tak menyangka akademisi seperti beliau masih bertahan dengan model handphone yang sudah lekang oleh zaman.

"Kantin ini saya desain sendiri. Tiang-tiang ini saya dapat dari tukang yang meminta saya untuk segera membelinya pada tahun itu. Ia dapat habis renovasi rumah seorang saudagar kaya. Awalnya saya menolak. Mau saya pakai untuk apa. Tapi dia bilang dia butuh uang untuk menyekolahkan anak. Akhirnya saya ambil seharga 700 ribu tiang-tiang ini. Saya timbun di tanah selama 20 tahun. Ternyata masih kuat. Ya sudah saya pakai saja untuk tiang penyangga kantin ini".

Saya terkesima. 20 tahun ditimbun namun tetap kokoh. Semua bangunan di kantin ini beliau buat dengan tangannya sendiri. Sudah berapa kali gergaji patah digunakan. Beliau juga meminta bantuan 

mahasiswanya untuk melubangi kayu satu persatu yang saat ini kami gunakan untuk duduk.

Pembangunan kantin ini memakan proses yang cukup lama. Ini semua karena bu Tas dengan sengaja menikmati proses demi proses saat membangun. Jaman seperti ini menemukan seorang seperti bu Tas rasanya langka. Jiwanya memang sudah melekat dengan alam. Ia menikmati perjalanan waktu di jaman yang semuanya tercipta serba instan.

Menikmati alur cerita bu Tas seolah membangun fantasi saya membayangkan aksi heorik seorang pahlawan lingkungan. Ia menyulap segala limbah yang dianggap nirguna menjadi benda yang sangat bernilai dan esensial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun