Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Multikulturalisme Dalam Hubungan Antar Umat Beragama yang Harmonis

27 September 2012   20:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:34 5195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13487774481661903689

Pandangan Drs. Hari Untoro Drajad, MA

Multikulturalisme diungkapkan dalam berbagai kearifan lokal yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Semua suku di Indonesia memiliki kearifan lokal dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok, dengan sesama suku maupun dengan suku lain dalam kehidupan sosial-keagamaan, baik intern – sesama penganut agama yang sama maupun ekstern – antar penganut agama yang berbeda. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Dalam Rangka Pembukaan Monumen Global Harmony, Ashram Ubud sekaligus International Bali Meditators’ Festival  2012 (20-23 September 2012) yang dilakukan oleh Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) turut hadir beberapa perwakilan dari berbagai agama. Disamping 24 workshop tentang berbagai latihan meditasi diadakan beberapa panel diskusi tentang global harmoni. Acara Pembukaan IBMF 2012 dibuka oleh Drs. Hari Untoro Drajad, MA, Staf Ahli bidang Multikultural Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebagai seorang pejabat eselon 1 yang membidangi multikultural, yang sering berkunjung ke seluruh wilayah di Indonesia, maka pandangan pria kelahiran Jogja ini pantas disimak. Di sela-sela kesibukan beliau dalam acara tersebut, kami sempat berbincang-bincang tentang multikulturalisme. Tulisan ini hasil perbincangan dengan beliau ditambah informasi dari berbagai sumber yang mudah diperoleh di internet.

Kearifan lokal  dari berbagai budaya di Nusantara sebenarnya sudah menuju ke arah Global Harmony, misalnya di Bali ada Tri Hita Karana, dimana dijelaskan adanya hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan lingkungannya. Di sini tidak dikenal adanya tekanan dari mayoritas terhadap minoritas. Dan, tidak ada yang merasa diri sendiri paling benar. Yang paling benar hanyalah Yang Maha Benar.

Sistem budaya Pela-Gandong adalah bentuk Kearifan Lokal dari Maluku. Ikatan persahabatan dan persaudaraan yang diaktualisasikan dalam sapaan-sapaan kekerabatan, seperti Nyong Pee, Nona Pee, Gandongee, Bongsoee, ataupun aktivitas tolongmenolong dalam keadaan aman ataupun kesusahan. Larangan dan kewajiban di antara warga yang ber-pela dan ber-gandong itu dipelihara dan ditaati dengan penuh tanggung jawab karena didasari adanya penghormatan atas janji dan sumpah leluhur yang telah mengikat dirinya, keluarga, bahkan negeri. Kembali di sini juga tidak ada ungkapan bahwa mayoritas boleh menekan minoritas. Seseorang menghormati orang lain dan tidak akan memaksakan pendapatnya tentang kebenaran terhadap orang lain.

Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung adalah Kearifan Lokal dari Minang, sehingga dimanapun orang berada dia menyesuaikan diri dengan adat-istiadat negeri yang dipijaknya. Budaya yang dibawa agama pun menyesuaikan diri dengan kondisi negeri. Mereka yang hidup di bumi Indonesia yang subur, di daerah hutan tropis yangberwarna-warni, akan tetapi hendak memaksakan langit budaya padang pasir yang hitam dan putih, agar kembali ke wilayah idolanya saja. Wali Songo menyesuaikan budaya yang dibawa Islam dengan budaya lokal, ada wayang kulit, ada grebeg sekaten, oleh karena itu Nahdlatul Ulama dapat diterima baik di masyarakat. Buddhist menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, sehingga ada buddhist model Tibet, China, Jepang, Thailand dan sebagainya. Hindu di Jawa juga lebih banyak menghormati Dewi Sri, Hindu di bali mengenal pawai Ogoh-Ogoh. Romo Mangun dikenal berinteraksi baik dengan masyarakat. Ada Gereja di Watukaru, Bali dimana Gusti Yesus digambarkan memakai Udeng, ikat kepala tradisional Bali. Di kampung kami di Solo ada Masjid yang berdampingan dengan Gereja. Di kampung kami, setiap tahun ada haul orang tua yang dihadiri umat NU, Muhammadiyah, Kristen/Katholik dan Kejawen yang kesemuanya berdoa di rumah yang dipenuhi lambang dari seluruh agama. Semua suku di Indonesia memiliki kearifan lokal dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok dengan sesama suku maupun suku lain dalam kehidupan sosial-keagamaan, baik intern – sesama penganut agama yang sama maupun ekstern – antar penganut agama yang berbeda.

Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan.Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat darikondisi sosial-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia.

Bapak Anand Krishna dalam artikel di Bali Times 28 Mei 2012 menyampaikan bahwa kata Bhinneka Tunggal Ika. Jika dipelajari dengan saksama terdapat tiga kali kata berarti ‘satu’ yaitu eka, tunggal, dan ika. Bhinn berarti beragam, Eka berarti satu. Jadi sesungguhnya jika ingin dimaknai sebagai Unity in Diversity, kata Bhinneka saja sudah cukup. Jadi apa maksud dari Mpu Tantular dengan pemakaian kata satu atau ‘eka’sampai tiga kali? Menurut Beliau ungkapan dalam bahasa Inggris yang lebih tepat adalah Appearing as many essentially One. Nampaknya beragam namun sesungguhnya satu adanya. Jadi, spiritual itu satu dan bukan pluralisme. Yang bisa plural adalah bentuk kasarnya.

Albert Einstein juga mengatakan segala sesuatu yang nampak itu pada hakekatnya adalah energi. Formula E=M.C2 (Massa dalam fungsi kecepatan tertentu adalah energi). Bapak Anand Krishna dalam buku “Indonesia  Baru”, Anand Krishna, One Earth Media, 2005 menyampaikan........ Para founding fathers kita sangat arif. Orang-orang bodoh yang tidak memiliki akal sehat dan latar belakang ilmu yang memadai, mempersoalkan Bhinneka Tunggal Ika, kesatuan dan persatuan. Bertanyalah kepada Einstein dan Hawking, mereka akan menertawakan perbedaan yang terlihat kasat mata itu. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar semboyan negara, bukan pula sekedar Saripati Budaya Nusantara... Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah Rumusan Ilmiah, Rumusan Kesadaran yang tak dapat dipungkiri. Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah rumusan hasil eksperimen panjang para leluhur kita jauh sebelum Einstein berbicara tentang Unified Field of Energy atau Medan Energi Terpadu.

Apakah Spiritualitas adalah singularitas? Tidak juga. Secara spiritual, Anda dan saya adalah sama tetapi secara fisik tidak demikian. Anda adalah Anda dan saya adalah saya. Saya tidak dapat membuat Anda kenyang dengan makanan yang saya makan. Anda harus makan sendiri untuk mengenyangkan diri Anda. Demikian, sehingga Upanishad mengetengahkan “bukan ini atau itu”. Spiritualitas bukan pluralitas atau singularitas. Itu sebabnya Mpu Tantular mengetengahkan Bhinneka Tunggal Ika, Nampaknya Beragam Esensinya Satu.

Tidak ada ungkapan Mayoritas menekan minoritas, tidak merasa diri sendiri paling benar karena meyakini bahwa yang nampaknya berbeda itu esensinya Satu. Kita tidak tersinggung dengan perbedaan orang lain. Itulah Kearifan-Kearifan Lokal dari seluruh Nusantara. Itu adalah spiritual dan itu adalah sufi bagi Gus Dur...... Dalam buku “Cakrawala Sufi 3, Kembara Bersama Mereka Yang Berjiwa Sufi”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 1999 disampaikan pandangan Gus Dur tentang spiritual……….

.......Jiwa sufi menuntut kejujuran dan pengakuan kelemahan diri. Saya sendiri orang Islam – tetapi Islam pun banyak kekurangannya. Seperti yang diketahui, Islam itu terbagi dua: Satu yang legalistik/formalistik, satunya lagi yang spiritual. Saya pribadi lebih cenderung kepada yang spiritual. Yang legal suka menghantam yang spiritual. Dalam setiap agama, ada bagian-bagian yang bersifat universal, ada pula yang bersifat kontekstual. Yang kontekstual ini mungkin sangat relevan pada masanya, tetapi sudah tidak relevan dengan masa kini. Kita tidak perlu mengkritiknya. Yang diperlukan adalah kearifan kita untuk memisahkan bagian-bagian yang sudah tidak relevan lagi……..

……. “Kebersamaan Sufi” berbeda dari apa yang kita sebut “Demokrasi”. Demokrasi akan selalu memisahkan masyarakat dalam dua kelompok – kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Demokrasi akan menuntut pemungutan suara. Demokrasi akan mementingkan hak-hak mereka yang didukung oleh suara “terbanyak” dan “terkeras”. Demokrasi tidak akan segan-segan menindas hak-hak mereka yang tidak memiliki suara banyak. Kelompok minoritas akan selalu ditindas oleh kelompok mayoritas. Demokrasi sangat tidak bersifat spiritual. Seseorang yang mengaku dirinya “demokrat” sebenarnya juga mengakui bahwa dia “belum” spiritual. Kalau suara terbanyak dan terkeras menghendaki Yesus disalibkan, demokrasi akan merestui penyaliban itu. Apabila suara terkeras menolak Socrates, demokrasi tidak akan berpikir dua kali sebelum meracuninya. Demokrasi akan melindungi kursi kepresidenan seorang Clinton. Apabila 51 orang mengatakan bahwa ia tidak bersalah,suara 49 orang lainnya tidak akan diperhitungkan lagi. Demokrasi sangat-kejam, jelek – dan bukanlah harapan bagi dunia yang damai. Gus Dur bukanlah seorang demokrat. la meyakini sesuatu yang lain. Yang ia yakini adalah “kebersamaan”.

Boleh jadi pandangan Bapak Anand Krishna tentang kebhinnekaan, spiritualitas dan demokrasi tersebut mengusik beberapa gelintir oknum, sehingga beliau mengalami kezaliman peradilan di Indonesia. Di media online Tempo Interaktif (25/2/2010) pengacara Tara Pradipta Laksmi, Agung Mattauch mengaku, “Pelecehan hanya entry gate untuk persoalan yang lebih serius. Ini adalah penodaan agama.”........

Setelah beberapa kelompok yang dianggap sesat seperti kelompok Lia Eden, kelompok-kelompok kecil lainnya, kemudian Ahmadiyah dan saat ini Syiah, Anda dapat menjadi korban berikutnya untuk di-anandkrishna-kan. Bersuaralah!!!!

Silakan membaca artikel........ Bubarkan Saja Pengadilan Negeri Jaksel Implikasi Yurisprudensi Atas Putusan Mahkamah Agung

http://hukum.kompasiana.com/2012/09/25/bubarkan-saja-pengadilan-negeri-jaksel-implikasi-yurisprudensi-atas-putusan-mahkamah-agung/

Rekaman CCTV Kezaliman Hukum terhadap Anand Krishna http://hukum.kompasiana.com/2012/08/30/rekaman-cctv-kezaliman-hukum-terhadap-anand-krishna/ dan

Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasib mereka sendiri. Ubah nasib dan bersuaralah!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun