Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Maraknya Diskon Hukuman Mati Bandar Narkoba dan Kewenangan Tanpa Akuntabilitas

15 Oktober 2012   20:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:48 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1350326445914022281

Monopoli Kewenangan, Diskresi Luas Tanpa Akuntabilitas para Hakim Agung memicu maraknya putusan pahit diskon Hukuman Mati bagi Bandar Narkoba. Diskresi adalah kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi. (Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara yang membolehkan melakukan kebijakan yang melanggar undang-undang, dengan 3 syarat: demi kepentingan umum, dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik). Demikian kira-kira rumusan permasalahan Mafia Peradilan dalam buku Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, mengapa banyak putusan yang jauh dari rasa keadilan. Sebagai ilustrasi, proses penahanan terhadap Chandra Muhammad Hamzah dan Bibit Samad Rianto (anggota KPK lalu) hanya berdasar alasan bahwa yang bersangkutan mempersulit proses penyidikan dengan sering melakukan konferensi pers.

Seorang teman kami berseloroh tentang ungkapan “Guru kencing berdiri murid kencing berlari”, bahwa sekarang murid lebih canggih, dan Guru karena kesibukannya gampang dipengaruhi murid, apalagi bila sang murid pernah membantu kerabat Guru tersebut......

Presiden mempunyai kewenangan memberikan grasi, akan tetapi Mahkamah Agunglah yang memberi pertimbangan terhadap permohonan grasi tersebut, walau secara formal pertimbangan tersebut tidak mengikat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi dua terpidana mati kasus narkoba, Deni Setia Maharwan alias Rafi Muhammad Majid, dan Merika Pranola alias Ola alias Tania. Grasi Presiden tersebut membuat hukuman kedua terpidana itu menjadi lebih ringan, yakni pidana seumur hidup. Bahkan kepada Schapelle Leigh Corby dan Peter Grobman, terpidana kasus narkoba asal Australia, Presiden malah memberi pengampunan.

Pemberian grasi kepada Corby dan Grobman dinilai sebagai ironi dalam kebijakan pemberantasan narkotika yang selalu didengung-dengungkan pemerintah. Termasuk oleh Mahkamah Agung, yang sudah memasukkan narkotika sebagai kejahatan yang perlu mendapat perhatian pengadilan. Kritikan keras disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dalam menetapkan hukum, di samping mempertimbangan hak terpidana (termasuk pertimbangan kemanusiaan), tetap saja harus menjaga sisi keadilan korban dan sisi keadilan masyarakat.

Juru bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyatakan pemberian grasi oleh Presiden SBY atas hukuman pidana seumur hidup dua gembong narkoba, Deni Setia Maharwan Merika Pranola itu adalah sesuatu yang masih berada dalam kadar atau toleransi yang bisa diterima. Akan tetapi kenyataannya tindakan tersebut tidak hanya di-“likes”, di-“retweet” dan di-“follow” akan tetapi bahkan di-“share” dengan diskon yang lebih gede oleh beberapa oknum Hakim Agung sesuai kewenangannya.

Mungkin atas dasar tindakan tersebut para Hakim Agung MA berani memberi diskon gede hukuman mati Hengky Gunawan, Sang Produsen Narkoba dan hanya memberi hukuman selama 15 tahun penjara. Dan apakah 15 tahun itu dijalani penuh? Wallahu Alam Bissawab.......

Dalam buku Satgas Pemberantasan Mafia Hukum disampaikan bahwa permainan di MA lebih tidak transparan. Calo perkara dapat “bermain” bebas karena tiadanya akses informasi. Berbeda dengan persidangan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sidang di MA tidak dihadiri para pihak. Karenanya, saat majelis memutus perkara hingga putusan tersebut di terima para pihak, ada kesenjangan waktu yang sangat lama – dapat mencapai hitungan tahun – karena setelah diputus, putusan masih harus dikonsep pertimbangan hukumnya oleh panitera pengganti, diketik, dikoreksi, ditandatangani, diberikan ke bagian administrasi perkara untuk dicatat dan dikirim ke pengadilan tingkat pertama dan baru diberikan oleh pengadilan tingkat pertama ke para pihak.Masyarakat bisa telah lupa bahwa Adami Wilson telah diputus mati 10 tahun lalu. Hanya karena pernyataan Adami Wilson bahwa tindakannya mengedarkan narkoba dari Lapas untuk mencari uang, dan setelah punya Rp.3 Milyar hukuman mati bisa diskon menjadi 20 tahun, beritanya menjadi ter-“update” lagi. Menurutnya kalau hanya Rp 1 Milyar hukuman mati hanya berubah menjadi hukuman seumur hidup. Mungkinkah rumor dari Adami Wilson menjadi penyebab maraknya diskon hukuman mati bagi bandar narkoba? Mengapa eksekusi hukuman mati terlalu lama diantaranya karena menunggu proses grasi dan permintaan terakhir tereksekusi. Mungkinkah ungkapan Adami Wilson juga menjadi salah satu penyebab juga?

Ketua Presidium Indonesia Police Watch manyampaikan bahwa peredaran narkoba di Lapas bukan barang baru. Dalam lingkup terbatas Lapas pemerintah masih menjadi pecundang dari para bandar narkoba. Menurutnya ada 5 solusi:

1.Rotasi berkala bandar narkoba ke Lapas berbeda.

2.Pengacak sinyal HP perlu diaktifkan di semua Lapas.

3.Penggeledahan secara periodik.

4.Tindak tegas oknum Lapas yang terlibat narkoba.

5.Percepat eksekusi hukuman mati bandar narkoba.

Dalam buku Satgas Pemberantasan Mafia Hukum disebutkan adanya kelemahan sistem pengawasan, baik eksternal maupun internal serta sanksi tegas bagi pelanggar. Kemudian kelemahan dalam standard operation procedur (SOP) yang masih memberikan diskresi yang terlalu besar tanpa sistem checks and balances serta akuntabilitas yang memadai. Kelemahan lainnya adalah tidak adanya standar waktu pelayanan. Selanjutnya minimnya akses informasi bagi publik dan pencari keadilan.

Kelemahan sistem tersebut nampak dalam kasus penuh rekayasa terhadap Anand Krishna. Jaksa Penuntut Umum Martha Berliana Tobing tanpa saksi mata dan visum RS (yang kemudian visum dr. Mun’im Idris dari RS Cipto Mangunkusumo ternyata korban masih perawan dan tak ada tanda-tanda kekerasan) tetap menuntut perkara pelecehan seksual terhadap Anand Krishna. Untuk membuat opini berita di media massa dibombardir tentang kesalahan Anand Krishna, tanpa didukung fakta yang benar. Di media online Tempo Interaktif (25/2/2010) pengacara Tara Pradipta Laksmi, Agung Mattauch mengaku, “Pelecehan hanya entry gate untuk persoalan yang lebih serius. Ini adalah penodaan agama.”........ Belum ada keputusan hukum, pihak Anand Krishna sudah di hakimi bersalah oleh masyarakat.

Karena merasa dizalimi maka Anand Krishna kemudian melakukan aksi mogok makan. Sidang kemudian dipimpin oleh Hakim Hari Sasangka dinyatakan tertutup dan pelaksanaannya berlarut-larut lebih dari 1 tahun dimulai bulan Agustus 2010 sampai bulan September 2012. Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Hari Sasangka hampir 90% berisi tentang gugatan terhadap pandangan dan buku-buku tulisan Anand Krishna dan sedikit sekali menyinggung pelecehan seksual terhadap saksi korban yang menurut visum Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo masih perawan dan tak ada tanda-tanda kekerasan. Pada bulan September 2011, Majelis Hakim yang dipimpin Hari Sasangka diganti oleh Albertina Ho. Karena Hari Sasangka ketahuan melakukan hubungan gelap dengan Saksi yang memberatkan Shinta Kencana Kheng.  Setelah itu Anand Krishna menghentikan aksi mogok makan. Pada bulan November 2011 Hakim Albertina Ho menyatakan Anand Krishna bebas dan tidak terbukti bersalah. Setelah itu Albertina Ho dipindahkan ke Pengadilan Negeri Bangka di Pulau Bangka Belitung.

Setelah hampir 8 bulan dan masyarakat mulai melupakan kasus tersebut, tiba-tiba tiga oknum Mahkamah Agung pada tanggal 24 Juli 2012, menerima kasasi jaksa dan mengabaikan seluruh fakta-fakta dalam sidang yang dipimpin Albertina Ho. 3 oknum Hakim Agung tersebut adalah: Zaharuddin Utama (yang menyatakan Prita Mulyasari bersalah dan menghukum 6 bulan penjara serta  menghukum Rasminah dalam kasus pencurian 6 piring dengan hukuman 130 hari penjara); Achmad Yamanie (yang terlibat pembatalan vonis hukuman mati pemilik pabrik ekstasi Henky Gunawan menjadi 15 tahun penjara dan membebaskan bandar narkotika Liong-liong, dari hukuman 17 tahun menjadi hukuman bebas); dan Sofyan Sitompul.

Kali ini Anand Krishna juga tidak akan mau tunduk pada kezaliman eksekusi tentang perbuatan yang tidak dilakukannya. Aparat tidak akan bisa membawanya keluar Ubud dalam keadaan bernyawa.

Seorang sahabat kami, Ahmad Yulden Erwin – Aktivis Anti Korupsi mengatakan.......Kita bisa saja berfilsafat dan menuliskan kata indah tentang keadilan, namun betuk wajah keadilan negeri ini hanya diketahui oleh mereka yang berjuang mencari keadilan. Keadilan tidak akan pernah ada sampai kita sendiri yang memperjuangkannya menjadi ada. Tanyalah pada aktivis anti korupsi, tanyalah pada mereka yang dimajukan kepengadilan karena terkena fitnah, tanyalah... tidak akan pernah ada keadilan itu sampai kita memperjuangkannya menjadi ada. Satu langkah kecil adalah satu langkah besar saat dilakukan oleh seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, atau sejuta orang. Karena KEADILAN tak akan pernah ada, sampai DIPERJUANGKAN untuk menjadi ADA!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun