Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Angkatan Darat dan Percaturan Politik Republik

13 Maret 2013   22:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:49 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_249207" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption]

Bisakah roda politik RI bergulir tanpa peran serta angkatan darat?

Sejarah membuktikan bahwa dunia politik RI pasca revolusi kemerdekaan tidak pernah dapat dilepaskan dari campur tangan militer, khususnya angkatan darat. Sebelum reformasi '98, berpolitik tanpa intervensi angkatan darat bagaikan mimpi kesiangan. Laksana burung pemakan bangkai, selama lebih dari 30 tahun rezim Soeharto mencengkeram sistem politik negeri ini dengan kuku-kuku tajam di kaki kanan (Angkatan Darat) dan kaki kirinya (Golkar). Senyum optimis sempat terbit ketika gelombang reformasi berhasil mendorong TNI kembali ke barak.

Namun demikian, gerak-gerik sejumlah perwira angkatan darat di panggung politik belakangan ini menyiratkan satu pesan: sepak terjang politis angkatan darat bukanlah sekedar bayang-bayang masa lalu. Wajah-wajah mantan jenderal angkatan darat yang menghiasi bursa capres 2014 menggarisbawahi pesan itu.

Apakah kehadiran angkatan darat dalam dunia politik sekedar warisan rezim Soeharto? Atau memang itulah jati diri angkatan darat, sebagaimana terungkap dalam rumusan "Dwi-Fungsi" yang digagas oleh jenderal Nasution di tahun 1965?

Sepak terjang angkatan darat dalam percaturan politik RI bukanlah hasil rekayasa jenial the smiling general, Soeharto. Dia juga bukan sekedar perwujudan Dwi-Fungsi yang baru dirumuskan kemudian. Benihnya sudah ada jauh sebelumnya, yaitu dalam revolusi kemerdekaan ketika semangat nasionalisme mendorong banyak pemuda  berjuang demi kemerdekaan (tujuan politis) dengan cara mengangkat senjata (aksi militer).

Angkatan darat adalah tentara rakyat. Ia lahir dari rakyat untuk mengusir kolonialisme Belanda. Akan tetapi, kawah revolusi kemerdekaan tidak memungkinkan tentara rakyat ini untuk memiliki ideologi politis yang jelas. Akibatnya, tergelar sporadisme ideologi dalam tubuh tentara rakyat: ada yang merujuk pada ideologi partai atau golongan tertentu (laskar), sebagian lagi tidak punya ideologi yang jelas selain mengusir pihak asing dari bumi pertiwi (PETA), dan sebagian kecil terlatih untuk menjadi tentara profesional yang apolitis, persis seperti yang diajarkan di akademi militer buatan Belanda.

Sporadisme ideologi inilah yang membuat angkatan darat sulit mencapai kata sepakat. Perpecahan ideologi dalam tubuh angkatan darat kerapkali mencerminkan konflik-konflik ideologis partai-partai politik yang ada. Itulah, misalnya, yang terjadi pada tahun 1948, ketika sebagian tentara mendukung gerakan politik PKI di Madiun.

Dalam sistem parlementer, sporadisme ideologi ini kerap dimanfaatkan oleh partai-partai politik sebagai amunisi untuk merobohkan rivalnya. Sebuah paradoks pun muncul: konflik antar kubu dalam tubuh angkatan darat di satu sisi menghalanginya untuk melakukan kudeta terhadap pemerintahan tetapi di sisi lain menciptakan peluang yang lebih besar untuk bermain dalam sistem politik yang ada. Hal ini dapat terjadi berkat kelihaian para perwira seniornya untuk membaca dan mengambil kesempatan yang tercipta.

Satu contoh: di tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo kembali memegang kendali pemerintahan. Sebagai catatan, kabinet Ali ini termasuk kabinet yang tidak disukai angkatan darat karena sebelumnya pernah mengabaikan pendanaan tentara dan memanfaatkan perpecahan dalam tubuh tentara.

Akan tetapi, angkatan darat tidak dapat berbuat banyak karena mereka sendri terpecah antara kekuasaan pusat di Jakarta dan kekuasaan di daerah-daerah. Nasution, yang dipilih sebagai pemimpin tentara  di tahun 1955, berniat mereorganisasi korps angkatan darat dengan sentralisasi kekuasaan di Jakarta dan pergantian posisi para pemimpin di daerah. Niat Nasution ditentang oleh para pemimpin tentara di daerah-daerah, khususnya yang ada di luar Jawa. Pada tahun 1956, pemimpin-pemimpin pasukan di Sumatra dan Sulawesi pun berontak dan mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil di daerah. Menanggapi keadaan gawat tersebut, presiden Sukarno mengeluarkan keadaat darurat perang pada tahun 1957.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun