Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyatu dengan Kehidupan Indonesia, Menikmati Kekhasan Budayanya

28 Juli 2019   22:55 Diperbarui: 28 Juli 2019   23:35 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival Bumi Raflesia. Hajatan tahunan yang dihelat Pemda Prov. Bengkulu | Dok. pribadi

Saya masih teringat, selepas subuh saya bersama empunya rumah di perkampungan suatu dataran tinggi di Pulau Bali, duduk hendak menyambut pagi. Minuman teh kemudian dihidangkan kepada saya selaku tamu dari jauh yang kemarin senja baru datang.

Selain memang suasana dingin akan lebih syahdu jika menikmati yang hangat-hangat, saya hendak menyambut suka cita suguhan dari tuan rumah. Langsung saya seruput gelas hidangan teh di depan saya,


"Cuk, Astaghfirullah..." spontan saya terhenyak!

"Oia, maaf, di sini kalau menghidangkan teh memang dari air mendidih langsung tanpa dicampur air dingin. Harusnya saya ingatkan dulu tadi bahwa beda dengan kebiasaan di Jawa." Kata kawan saya si empunya rumah, sambil kemudian pamit sebentar karena mau sembahyang pagi di pura rumahnya.

Pengalaman itu membekas hingga sekarang. Sekaligus membuat saya tersenyum betapa corak budaya Indonesia ini beragam bentuknya.

Pengalaman saya hidup berdomisili di tujuh kota di Indonesia, menginap setidaknya lebih dari satu malam di hampir seratus kota, secara tidak sadar menyisakan kenangan di benak tentang khas corak minor namun menarik untuk diceritakan.

Di kota kelahiran saya misalnya, Pasuruan, Anda akan menemui dimana-mana orang memakai sarung. Bahkan, saat naik sepeda motor untuk berbelanja di toserba atau pada nelayan yang hendak menangkap ikan di tengah laut. Apalagi jika hanya bersantai selepas maghrib di rumah. Buat kami, sarung adalah simbol adab yang diturunkan dari tetua kami yang bercorak Islam.

Kekagetan lain akan ditemui saat Anda hidup di Surabaya. Term Jancuk yang buat mayoritas masyarakat Jawa Timur-pun adalah suatu makian/umpatan, benar-benar menjadi bahasa keseharian penuh keakraban di sini. Di luar Surabaya, orang dewasa akan tetap dianggap kurang adab jika sampai melontarkan term tersebut, namun berkebalikan dengan di Ibukota Jawa Timur ini.

"Cuk, iwak e mlayu rono. Jancuk ojo meneng ae, ndang godaken. Jaringmu uncalno, Cuk!"

Frase itu benar-benar saya dengarkan dari anak seusia Sekolah Dasar yang sedang bermain di empang mencari ikan. Lawan dialognya juga menjawab dengan taburan 'Cuk' dimana-mana. Terjemahannya kira-kira seperti ini:

"Cuk, ikannya lari ke sana. Jancuk, kamu jangan diam saja, cepat kejar. Jaring yang kamu pegang lekas lemparkan, Cuk!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun