Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hak Kelas Penuh? Kan Bisa "Titipan"?

17 Februari 2019   07:10 Diperbarui: 17 Februari 2019   07:42 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mau numpang nanya.ayah sy terdaftar BPJS kelas 1. Semalam krn kondisi darurat hrs di bawa ke IGD. Dokter memutuskan harus rawat inap. Kebetulan kamar kelas 1 dan VIP penuh. Adanya krlas 2 dan 3. Saat sy memutuskan mengambil kelas 2, dari pihak rumah sakit menjawab tidak bisa memakai BPJS dengan alasan beda kelas. Kalau naik kelas sy bisa maklum krn ada selisih lebih mahal. Ini sy pilih kelas 2 yg lebih murah kenapa ditolak?
Ahhh.... Peraturan darimana itu? 
Kl kelas rawat inap penuh:Pasien dititip 1 tingkat lebih tinggi. Free smp max 3 hari.atauBila penuh juga dititip 1 tingkat lebih rendah. Free.Itu peraturan menteri kesehatan.
Apakah benar demikian Dok? 
Terima kasih Pak/Bu.  
Salah satu masalah yang sehari-hari sering dibahas dalam hal JKN adalah tentang "titipan naik kelas". Mari coba kita dudukkan pelan-pelan. 
Di awal JKN 2014, peserta JKN baru mencakup 86,4 juta peserta PBI, ditambah 17,5 juta eks Askes, sekitar 3,5 jiwa dari TNI/Polri, katakanlah sekitar 7,5 juta dari PT Jamsostek. Ditambah sebagian peserta Jamkesda yang sudah diintegrasikan ke JKN. Katakanlah total 121 juta orang, atau sekitar 48% dari seluruh penduduk waktu itu. Itupun dengan tingkat utilitas yang masih rendah. Terutama dari kelompok PBI. 
Padahal RS baru saja berubah dari pola lama. Proporsi masih lebih banyak pasien non JKN dengan utilitas tinggi. Maka perlu ada "perlindungan" bagi peserta JKN. Itulah aura kebijakan di awal-awal pelaksanaan JKN dulu. 
Berjalan 6 bulan, pada Juni 2014 terbit Permenkes 28/2014. Ini yang dimaksud "ada permenkes-nya" pada pertanyaan tersebut. Selain soal naik kelas "titipan", pada Permenkes 28/2014 juga ada "himbauan" untuk tidak membuat kuota bagi pasien JKN.  
Dalam Permenkes 28 tersebut, dibahas soal "titipan naik kelas" seperti dituliskan seperti dalam foto. 

screen-shot-2019-02-17-at-07-10-15-5c68a68d12ae945b5e1298d6.png
screen-shot-2019-02-17-at-07-10-15-5c68a68d12ae945b5e1298d6.png
Bila pasien datang, dan ternyata tempat tidur di hak kelasnya penuh, maka ada beberapa pilihan. Salah satunya yang lazim disebut "titipan kelas". 
Tentang titipan kelas ini, kata-kata di Permenkes 28/2014 adalah:  "DAPAT" bukan "WAJIB" dtempatkan di kelas atasnya. Bila setelah 3 hari tetap tidak ada yang sesuai hak, dan tida bisa dirujuk, atau pasien tidak mau dirujuk, maka RS MENANGGUNG biaya selisihnya. 
Maka sifatnya "DAPAT" bukan "WAJIB" dalam arti: 
a. RS tidak melanggar aturan JKN, bila menempatkan peserta bukan di hak kelasnya, bukan karena permintaan pasien. b. RS siap menanggung risiko bila setelah 3 hari tetap saja tidak ada kamar sesuai hak, dan pasien tidak bisa dirujuk ke RS lain.
Maka dapat difahami bila RS menanggung biaya selisihnya bila tetap tidak bisa turun ke kelas sesuai haknya. Sampai di sini, tentu fokus kita pada "RS menanggung biaya selisihnya" tersebut.  Apakah memang sepenuhnya adil bagi para pihak?
Sebaliknya, bila RS menempatkan di BAWAH hak kelas, maka RS harus menanggung konsekuensi dibayar SESUAI KELAS yang ditempati. Jadi ketika turun kelas, RS dibayar SESUAI kelas yang ditempatinya. Klausulnya tidak sama dengan kalau "dititipkan di kelas lebih tinggi". 
Sampai di sini sudah dapat difahami bahwa memang aturan itu untuk "melindungi" peserta JKN. Terutama di awal-awal JKN dulu. Mengingat waktu itu, jumlah pasien JKN masih relatif sedikit. Masih lebih banyak pasien non JKN. Kalau tanpa "perlindungan" tersebut, ada risiko hambatan akses. Tempat tidur RS bisa saja sudah penuh pasien non JKN. Maka ada klausul "titipan kelas" tersebut agar tetap dapat dilayani. 
Saat ini, jumlah pasien JKN di RS pemerintah sudah mencapai minimal 80%, bahkan sudah banyak yang mencapai lebih dari 90%. Di RS swasta sudah berkisar 60-70%. 
Artinya, saat ini proporsi jumlah pasien JKN di RS juga makin dominan. Maka sebebenarnya, klausul "titipan kelas" itu sudah tidak seperti konsep awal  lagi. Mengapa? 
Harus difahami bahwa kalau menempati kelas lebih tinggi maupun lebih rendah, dalam pemahaman "titipan", itu berarti juga mengurangi akses atau mengurangi hak dari peserta lain pada kelas yang dititipi tersebut. Padahal sama-sama peserta JKN. Jadi bukan lagi karena kalah dominasi oleh peserta non JKN.
Maka, sebaiknya mari kita fahami dalam konteks memberikan yang sebaik-baiknya untuk semua peserta. Bila memang kamar penuh, maka mohon jangan tergesa-gesa menuding RS sebagai "TIDAK MAU menitipkan di kelas lebih tinggi". Langkah paling tepat adalah mencarikan tempat rujukan yang sesuai sehingga secara medis pasien tertangani, secara hak peserta juga terpenuhi di kelas yang menjadi haknya. Ini pilihan lain, yang sebenarnya lebih tepat dan lebih baik bagi para pihak. 
Tapi kalau benar-benar penuh? Mencari rujukan juga sulit? Kembali, ada klausul bahwa titipan naik kelas itu sifatnya "DAPAT", opsional, situasional, bukan "WAJIB". Bila ini disadari, maka yang muncul adalah kesepakatan bersama, musyawarah, bukan menuntut RS HARUS menaikkan kelas sebagai titipan. 

Dalam hal ini lah, negara hadir dalam bentuk "mengawasi dan membina pelaksansaan rujukan". Wujudnya misalnya adanya Sistem Penanganan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Tujuannya membantu masyarakat mendapatkan pelayanan pada kondisi gawat darurat. Di sana, Dinkes mengkoordinasikan seluruh sumber daya kesehatan di wilayahnya. Dengan koordinasi Dinkes, menjadi lebih mudah memetakan sumber daya yang ada: mana yang ada kamar tersedia, mana yang ada kamar ICU dengan ventilator, mana yang bisa membantu ambulans dan seterusnya. Salah satu contohnya SPGDT di Kota Surakarta. 

Secara nasional, dikembangkan Layanan Public Safety Center (PSC) 119 oleh Kemenkes. Diharapkan nomor tunggal ini bisa menjadi nomor bagi semua pihak tatkala situasi pasien gawat darurat. PSC dilaksanakan sampai ke level tingkat Kabupaten dan Kota. 

Dari sisi RS, kewajibannya adalah menyediakan data real-time (peka waktu terkini) tentang ketersediaan tempat tidur, ruang ICU, ambulans dan pendukung lainnya. Dengan demikian, mendorong saling keterbukaan. Tujuannya satu: melayani secara optimal bagi pasien terutama di saat gawat darurat. Sisi lain: mengurangi potensi salah paham antar pihak yang mudah tersulut di situasi gawat darurat. 

Khusus tentang klausul titipan kelas JKN tadi, saat ini, diusulkan agar ada revisi terhadap klausul "titipan kelas" tersebut. Diusulkan bahwa bila setelah 3 hari ternyata tetap tidak ada tempat di hak kelas, juga tidak diperoleh tempat rujukan, atau pasien tidak bersedia dirujuk, maka berlaku klausul naik kelas dengan beban selisih biaya ditanggung peserta. Tentu, pasien PBI tetap dikecualikan dari aturan-aturan terkait naik kelas ini. 
Demikian ringkasnya, mangga kita kedepankan mencari jalan tengah sebagai kemaslahatan. 
Nuwun. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun