Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Takut Pulang Kampung

9 Desember 2016   08:27 Diperbarui: 9 Desember 2016   13:26 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : www.depositphotos.

"Kapan balik Opa? Nggak Natalan di Kampung halaman ya? Memang sih, menyedihkan ya Opa. Situasi ditanah air kita. Kami juga batal pulang kampung" Sambil menyalami kami, Grace langsung memberikan komentarnya tanpa diminta.    

Grace, asal Bandung,yang sudah menetap sejak lama di Australia, dulu tinggal satu kota dengan kami di Wollongong dan sering ketemu dalam pertemuan di Multicultural Service. Kemudian hubungan kontak terputus, karena masing-masing punya kesibukan tersendiri. Belakangan kami tinggal di rumah putra pertama kami di Iluka, Western Australia ternyata Grace sekeluarga juga pindah ke sini. Pertemuan antar orang Indonesia kalau bukan di rumah makan Indonesia, biasanya di Joondalup, sebuah kota satelit yang memiliki mal yang sangat luas.

"Kami berdua memang sudah sejak awal mau balik kesini Grace. Karena sudah terlalu lama di Indonesia jadi kangen dengan cucu-cucu di sini" Jawab saya. Mau mengatakan bahwa segala sesuatu di tanah air baik-baik saja, sungguh tidak tega saya mengatakan demikian. Maka saya memilih lebih banyak berdiam diri.

Grace berceita banyak tentang diaspora atau orang Indonesia perantauan yang tinggal di Australia membatalkan rencana Natalan di kampung halaman. Karena menyaksikan siaran di televisi, berita dari Indonesia dan kiriman Whatsapp dari sanak keluarga. Bahwa situasi di Indonesia amat tidak nyaman dan cenderung tidak menentu. Grace masih punya nenek dan keluarga lainnya di Bandung. Ia menikah dengan orang Australia dan sejak saat itu menetap disini.

Masih menurut Grage, bukan hanya ia dan keluarga tapi juga banyak keluarga lainnya yang rela tiket promo yang sudah dibeli sejak beberapa bulan lalu dibiarkan hangus, karena bingung untuk kembali ke tanah air. Mereka takut untuk kembali karena khawatir tidak dapat merayakan Natalan bersama keluarga di kota kelahirannya. Mengingat situasi dan kondisi di tanah air belakangan ini.

Susah untuk Menjawab

Saya hanya merespon dengan "hmm.. oya.. begitu yaa" sekadar menghargai lawan bicara. Walaupun secara pribadi, saya dan istri balik ke Australia sama sekali tidak ada urusan dengan demo-demoan. Semata-mata hanya karena sudah membeli tiket sejak awal. Tapi untuk menjawab, bahwa semuanya baik-baik saja. Karena saya tidak boleh membohongi orang dengan menyembunyikan apa yang sesungguhnya sedang terjadi di tanah air kita. Jadi saya hanya bisa berdiam diri dan mencoba mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lainnya.

Hanya saja, hingga malam hari pikiran saya masih terpaut dengan pembicaraan siang hari. Terpikir oleh saya, betapa menyedihkan sehingga orang Indonesia perantauan merasa perlu membatalkan dan membuang tiket yang sudah dibeli karena takut tidak dapat melakukan ibadah Natal di kampung halamannya, yakni negeri di mana mereka dilahirkan

Memang itu urusan mereka. Mau pulang atau enggak atau mau batalkan tiket juga tidak ada masalah dengan kita. Toh, kalau mereka tidak pulang selama lamanya masih ada 250 juta lagi orang yang memilih tinggal di Indonesia. Tapi sebagai sesama orang Indonesia, sesungguhnya dalam lubuk hati terdalam saya dapat merasakan kesedihan yang mendalam. Betapa orang bingung dan takut untuk kembali menengok tanah tumpah darah yang sudah lama ditinggalkan.

Negeri yang dikenal dengan penduduknya yang peramah dan baik hati, koq bisa membuat anak cucunya keder untuk menengok ibu Pertiwi. Kali ini, tampaknya bukan Ibu Pertiwi saja yang menangis menengok anak cucunya terpecah belah, tapi juga cucu-cucunya yang merantau dibawa peruntungan hidup. Mereka merasakan keperihan yang mendalam karena takut menengok wajah wajah angker di negeri tercinta.

Iluka, 9 Desember, 2016
Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun