Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasangan Hidup, Tempat Kita Bersandar Ketika Hidup Terpuruk

22 Februari 2017   10:07 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:24 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto: dokumentasi pribadi tjiptadinata effendi

Terkadang Serasa Bumi Menganga dan Kita Terperosok Kedalamnya

Hidup itu terkadang terasa sangat indah. Jalan jalan bergandengan tangan di tepi pantai,sambil menghirup segarnya udara pagi dan memuaskan mata memandangi keindahan alam. Yang merupakan mahakarya Sang Pencipta.Dalam situasi dan kondisi seperti ini,dunia serasa milik berdua.

Tetapi hidup tidak selalu semanis itu,tidak selalu terjadi seperti kisah Cinderrela ,maupun kisah Lampu Aladin,yang dapat mengubah gubuk,menjadi istana,hanya dalam hitungan detik.Tak jarang,hidup menjadi keras,tajam dan seakan tak berbelas kasih. Bahkan kami sudah pernah merasakan,seakan bumi tempat kami berpijak,menganga dan kami terperosok kedalam jurang tak berdasar.

Untuk mengulang ulangi kisah sedih dan kemelaratan,seakan akan menjual kemiskinan dan penderitaan untuk di jadikan konsumsi bacaan orang banyak.Atau bisa jadi ,dianggap untuk menarik rasa simpati. Tapi hal tersebut tidak perlu menjadi beban pikiran ,karena kita menulis ,sebagai bagian dari mengaplikasikan hidup berbagi.

Penderitaan Bukan Hanya Semata Karena Ketiadaan Uang

Secara umum,orang akan merasa menderita,bila tidak cukup uang untuk memenuhi kebutuhan pokok. jangankan beli motor,beli sepedapun tidak cukup uang ,bahkan tidak jarang untuk sebungkus nasi rames,untuk dimakan sekeluarga,harus menebalkan kulit wajah,karena harus utang dulu. Padahal sudah dua kali utang nasi rames,belum lunas dibayar.

Istri sakit,anak sering kejang,diri sendiri batuk darah,tidak ada uang untuk beli obat. Semua pakaian yang masih laku ,termasuk jas dan gaun pernikahan sudah di jual ,bahkan cincin kawin pun dilepas..Sungguh tidak ada lagi yang dapat dijual.Sementara itu, aliran listrik sudah tiga bulan diputus petugas PLN ,karena tidak mampu lunaskan tagihan. Masih serasa belum lengkaplah derita kami, pemilik kedai yang merangkap tempat tinggal,datang dan memberikan ultimatum, bila tunggakan tidak dilunaskan,maka minggu depan ,tempat harus dikosongkan atau akan dilaporkan ke Polisi.

Dalam kondisi seperti ini, sahabat dan kerabat,menjauh. Jangankan datang menengok untuk membantu meringankan derita kami, malahan ketika kami kerumah kerabat, hanya diterima di pintu pagar.

Itulah gambaran ,arti hidup menderita bagi saya. Singkat,tapi mungkin sudah dapat membayangkannya.

Seperti itulah perasaan saya pada waktu itu. Selain istri saya ,tidak ada lagi tempat dimana saya bica bercerita, apalagi meminta saran. Semua sahabat dan kerabat menjauh dari saya. Seperti menjauhkan diri dari orang berpenyakit menular. Inilah agaknya hukum kehidupan, yang tidak pernah disinggung ,apalagi diajarkan dibangku kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun