Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kita Merasa Diri Orang Paling Malang di Dunia

26 Maret 2017   10:43 Diperbarui: 26 Maret 2017   19:00 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila Suatu Waktu , Merasa Diri Kita Adalah Orang Paling Malang di Dunia 

Perjalanan hidup itu ada enak dan ada tidak enaknya. Terkadang berjalan begitu mulus,seakan kita sangat dimanjakan Tuhan. Apa saja yang kita inginkan terpenuhi.Tapi ada kalanya kita merasakan seakan diri kita tercampakan ,tidak dilirik dengan sebelah matapun. Semua teman dan sahabat,bahkan kerabat menjauhi diri kita. Segala upaya dan kerja keras ,serta doa yang tak putus putusnya,seakan membentur dinding tembok. Dan kita merasa diri kita adalah orang paling malang di dunia ini.Tidak hanya ditinggalkan para sahabat,tapi juga seakan doa kita tidak pernah dijawab. Kalaulah hal ini terjadi pada diri kita, apa lagi yang harus dilakukan ? Putus asa dan mengambil jalan singkat untuk mengakhiri semua penderitaan? Tentu saja,sebuah pikiran yang sangat keliru. Karena dalam kesulitan dan penderitaan ,sikap mental kita diuji dan dilatih ,untuk menjadi semakin kuat,menghadapi berbagai masalah hidup. Yang tidak jarang keras ,tajam ,kejam dan tak berbelas kasih. Tengoklah Ke Kolong Jembatan 

Daripada bengong ,murung dan menjadi orang yang emosional di rumah,berjalanlah keluar rumah. Jangan ke mall atau ke restoran,tapi ke bawah kolong jembatan. Turunlah kebawah dan tengoklah,disana ada kehidupan.Bukan kodok atau ular,melainkan anak anak manusia yang sekarat dalam berjuang ,mempertahankan diri agar bisa tetap hidup. Mereka tidur hanya beralaskan kardus bekas,sementara dengan jemari yang kotor ,makan sisa sisa nasi yang ditemukannya di buang ditong sampah. Mereka itu manusia,yang sama seperti diri kita.Sama seperti kita,mereka juga pasti memiliki impian,agar suatu waktu dapat hidup sebagaimana manusia yang layak.Tapi butuh waktu ,kesabaran dan kerja keras untuk dapat mengubah hidup mereka. 

Hal ini akan menggugah hati dan menghadirkan pencerahan,bahwa ada jutaan orang lain,yang hidupnya jauh lebih menderita,dibandingkan dengan diri kita.Menyalakan kembali api rasa syukur yang sudah lama padam dalam diri ,karena merasa ditinggalkan .Hal inilah yang kami lakukan,disaat saat mengalami keterpurukan hidup selama bertahun tahun dan sangat membantu membangun semangat hidup untuk tetap bertahan hidup dalam segala kemelut yang membelit kami. Ketika Kita Sukses Bilamana setelah perjuangan panjang,kerja keras tanpa kenal kata lelah dan menyerah dan doa yang tak pernah terputus,akhirnya doa kita dijawab dan hiduppun berubah. Bisa jadi ,kita merasakan bahwa diri kita adalah orang sukses,orang terpandang dalam komunitas kita. Punya rumah di daerah elit,kendaraan bagus dan deposito sekian miliar. Tentu saja,patut di syukuri,karena tidak banyak orang yang mendapatkan keberuntungan hidup seperti apa yang dianugerahkan kepada kita. Kembali kita diuji, apakah kita tipe manusia yang seperti kacang lupa pada kulitnya. Yang lupa bahwa kita pernah hidup terpuruk,menjalani hidup dengan merangkak hidup di gubuk kumuh ? Hidup ini,adalah merupakan sebuah proses pembelajaran diri tanpa akhir,seperti yang sering kita dengarkan :" Learn from the craddle into the grave".Belajar sejak dari buaian,hingga kita diantarkan keliang kubur. Jalan terbaik adalah tetap menjalani hidup dengan rendah hati. Karena kesombongan diri,hanyalah ibarat orang yang menggali lubang untuk dirinya sendiri. Hargailah setiap orang yang berhadapan dengan kita,siapapun adanya. Jangan merasa gensi menolong orang kecil,misalnya bila ada nenek nenek berpakaian kumuh yang akan menyeberangi jalan. Atau atau anak tukang kebun,yang mau melahirkan ditengah malam dan sedang hujan lebat. Ikhlaskan diri kita untuk bangun dan mengantarkannya dengan kendaraan pribadi kita. Percayalah menolong orang kecil,tidak akan mengurangi martabat kita dan tidak mengurangi apa yang ada pada kita. Email dari Anak Asuh Pagi ini ,ketika membuka email,ada ribuan email yang belum terjawab.Mata saya mencoba menelusuri dengan cepat dan memilah,mana yang patut diprioritaskan untuk dijawab.Salah satunya adalah dari anak asuh kami,yakni cucu dari tukang kebun kami di Padang, Isinya saya singkat saja: " Assalamualaikum Opa dan Oma yang Syifa sayangi. Semoga Opa dan Oma sehat walalfiat, Berkat doa restu Opa dan Oma,Alhamdulilah,Syifa sudah lulus sarjana di Unand. Bilamana Opa dan Oma ke Padang,mohon kabarkan, sangat kangen bisa bertemu Opa dan Oma" Salam takzim cucunda Syifa Syifa ini adalah yang lahir,sewaktu ibunya kami antarkan kerumah sakit ,pada jam 02.00 subuh dinihari.karena hujan sangat lebat. Dan kemudian menjadi anak asuh kami. Walaupun saya mengerti ,bahwa ada kata kata bijak mengatakan:" Bila tangan kananmu memberikan,hendaknya janganlah tangan kirimu mengetahuinya. Karena bila engkau melakukannya agar dapat pujian dari orang,maka tidak akan ada lagi pahala bagimu" Ini sudah saya hafat sejak smp,tapi karena memang sejak kecil,saya dididik agar jangan pernah berharap balasan untuk apapun yang dilakukan . Maka saya sama sekali tidak pernah menghitung hitung pahala ketika ada kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk meringankan derita orang lain. Karena ada kala nya kita membantu dan ada kalanya kita yang membutuhkan bantuan orang lain. Menghargai orang lain,tak akan mengurangi wibawa ataupun harga diri kita. Dan pasti tidak akan mengurangi martabat diri kita. Jangan lupa,mungkin kita merasa diri orang hebat,tapi ada jutaan orang yang jauh lebih hebat dari kita.Atau merasa kita kaya? Jangan lupa,apa yang kita sebut sebagai kekayaan kita,bagi orang lain,mungkin hanyalah uang recehan yang tidak berarti. Karena itu, jangan mempermalukan orang lain dan jangan pula mempermalukan diri sendiri.Maka jalan terbaik adalah tampil selalu rendah hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun