Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bunuh Diri Karena Ingin Buktikan Setia Pada istri

26 Juli 2017   08:22 Diperbarui: 26 Juli 2017   17:41 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://depositphotos

Salah seorang teman sekerja yang cukup akrab dan sering bercanda dengan saya, tiba-tiba sikapnya berubah total menjadi pemurung dan setiap kali bertemu, selalu curhat tentang kehidupan rumah tangganya yang brantakan. Suatu hari terucap dari mulutnya: Kalau seperti ini terus, suatu waktu saya bisa bunuh diri.

Pada saat itu,saya mengira  ucapannya adalah karena kerisauan hati serta kekalutan pikirannya. Saya mencoba memberikan pandangan hidup kepadanya, bahwa hidup kami sekeluarga pada waktu itu jauh lebih morat-marit daripada dirinya. Dan jawaban dari teman saya  Tardi (bukan nama sebenarnya) "Kalau saya boleh memilih, maka saya lebih suka hidup melarat, tapi didampingi istri yang menyayangi diri saya seperti Anda, Effendi. Dalam hal materi, memang saya jauh lebih baik dibanding Anda. Saya sudah punya rumah peninggalan orang tua, sedangkan Anda masih ngontrak. Namun berada dirumah saya ,seakan berada di neraka".

Kemudian Tardi diam sesaat, lalu melanjutkan, tanpa saya minta "Begitu tiba dirumah, selalu ada saja yang menjadi bahan pertengkaran. Sejak mulai dari keran air yang bocor, wc mapet, anak yang bolos sekolah, tetangga yang brisik, dan seterusnya. Padahal kan Anda tahu, kita kerja sejak dari jam 8.00 pagi waktu setempat dan baru pulang malam hari," Keluh Tardi dengan wajah yang sangat menyedihkan.

Saya bingung mau memberikan saran apa kepadanya. Bahkan dalam hal usia, justru Tardi jauh lebih tua daripada saya. Hidup saya sendiri masih morat-marit. Tapi dalam hati saya mengakui bahwa kendati hidup melarat, tapi hal yang menguatkan hati saya adalah istri saya tidak pernah mengomel apapun. Malahan ikut bekerja keras. Bahkan pekerjaan yang seharusnya dilakukan seorang laki-laki, seperti memperbaiki meja patah, selokan tersumbat dilakukannya sendiri tanpa menunggu saya pulang. Yang dapat saya katakan pada Tardi adalah agar ia sabar dan banyak berdoa. Cuma itu. Karena saya tidak mungkin mencampuri urusan keluarganya.

Tardi itu pria yang ganteng, bukan hanya menurut saya, tapi banyak wanita tertarik padanya. Bahkan kalau saja Tardi mau, banyak janda kaya yang mau  menerimanya sebagai suami. Sebagaimana pernah diceritakan Tardi pada saya. Tapi bagi Tardi, cintanya pada istrinya adalah harga mati. Kendati cintanya dijawab oleh istrinya dengan tuntutan over expectation, tapi tidak menggoyahkan hatinya . Bagi Tardi setia hingga mati, adalah pegangan hidupnya.


Tardi Menepati Sumpah Pada Dirinya
Seminggu setelah curhat-curhatan, suatu pagi dapat kabar bahwa Tardi sedang di rumah sakit karena mencoba bunuh diri dengan jalan menyilet perutnya sendiri. Sebagai teman tentu saja saya langsung menuju ke rumah sakit. Menunggu sekitar dua jam, karena Tardi sedang diruang operasi. Kemudian tampak Tardi dibawa perawat dengan kereta dorong. Tangan dan kakinya tersambung dengan selang infus dan transfusi darah. Saya minta izin pada perawat untuk mendekat. "Silakan pak, tapi pasien masih sangat lemah. jangan lama lama," pesan perawat.

Saya mendekat,memegang tangannya. Tardi membuka matanya dan tersenyum getir "Effendi, mungkin cara ini dapat menyadarkan istri saya bahwa saya sangat mencintainya" Istrinya juga ada disampingnya dan saya yakin ikut mendengarkan. Kemudian mungkin terlalu lemah untuk berbicara, Tardi memejamkan matanya. Dan Perawat mengisyaratkan saya agar mundur.

Penderitaan Tardi Sudah Berakhir
Malamnya Tardi meninggal dunia. Ia sudah membuktikan cintanya pada sang istri, dengan jalan bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya. Ia sudah memberikan pelajaran yang teramat pahit bagi istri tercintanya. Bahwa dalam keluarga tidak seharusnya ada tuntut-menuntut, melainkan bekerja sama, saling menghormati, dan saling menghargai. Bahwa suami bukanlah Boss dalam rumah tangga, sebaliknya walaupun bergelar "ratu rumah tangga" bukanlah berarti istri kerjanya hanya duduk nonton sinetron Korea, shopping, dan ingin semuanya dibereskan oleh suami. Bahwa setelah menikah, tidak ada lagi "punya saya dan punya Anda" atau "tugas kamu, bukan tugas saya" .Melainkan milik kita, urusan kita, dan tanggung jawab kita bersama"

Hari ini tanggal 26 Juli 2017 adalah tanggal kematian Tardi. Sudah puluhan tahun berlalu, tapi saya jadikan pelajaran hidup yang berharga bahwa salah satu faktor penyebab orang mengakhiri hidupnya adalah orang-orang terdekat. Karena itu, saya selalu berusaha untuk menjaga sikap dan tutur kata serta prilaku, agar jangan sampai memojokkan siapapun. Karena tuntutan yang berlebihan pada anggota keluarga, bukan hanya dapat menciptakan stress dan frustuasi bagi diri, tapi juga berpotensi menyebabkan orang mengambil jalan pintas.


Semoga ada pelajaran yang dapat dipetik dari sepotong kisah hidup ini.

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun