Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Ketakutan-ketakutan yang Timbul Karena Meterai

18 Februari 2020   22:14 Diperbarui: 21 Februari 2020   04:22 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi meterai. (sumber: Antara Foto/Puspa Perwitasari via kontan.co.id)

"Ketakutan terhadap keganasan meterai atau keyakinan terhadap kesaktian meterai, juga tak kalah seramnya. ... lazimnya menganggap meterai sebagai benda keramat yang tak boleh digunakan seenak perutnya." 

Dalam sebuah acara talk show di televisi beberapa waktu lalu, seorang pengusaha es krim sukses di Kalimantan, bermodal tekad baja, dari seorang yang tak genap sekolah menengah, mengatakan tak pernah pinjam uang di bank, tak pernah menjalin kerja sama dengan pihak manapun.  

Bukan karena tak ada bank yang menawarkan bantuan atau tiada pihak yang berminat mengajaknya berkongsi, melainkan semata-mata karena dirinya takut dengan meterai. 

Jadi jika diminta untuk menandatangani surat menyurat yang dibubuhi meterai, maka sang pengusaha tersebut akan menolak. Setidaknya akan memanggil teman terbaiknya, untuk bertanya apakah harus menandatangani surat tersebut atau tidak. 

Celakanya, teman terbaiknya merupakan teman bawaan dari kampung, sekaligus teman bermain sejak kecil, yang keluguannya justru berada di bawah keluguan sang pengusaha. Alhasil, atas "nasehat" sang teman, surat bermeterai cukup tersebut batal ditandatangani, yang artinya perjanjian pun gagal total.

Dalam peristiwa lain, seorang pengacara di Tangerang kalang-kabut menjelaskan kepada seorang kliennya, yang merasa aneh dan bingung karena lawan yang akan digugatnya tak bisa langsung ditangkap dan dipenjara karena telah ingkar janji dalam membayar hutang kepadanya. 

Padahal menurut anggapannya, teman bisnisnya tersebut sudah menandatangani perjanjian di atas surat perjanjian bermeterai cukup.  Bahkan beberapa surat perjanjian pokoknya, dibuat di hadapan notaris. Juga bermeterai cukup di samping tanda tangan notaris dengan stempel bergambar burung garuda berwarna merah.  Kesannya garang dan menakutkan.

Di sebuah perusahaan garment di daerah Tangerang, milik pengusaha asal Korea, para tenaga kerja asingnya selalu menekankan kepada manajer HRD-nya agar dalam membuat surat menyurat, khususnya surat pernyataan atau perjanjian, jangan pernah lupa membubuhi meterai. Jika tak ada meterai, lebih baik tak usah membuat surat atau menandatangani surat tanpa meterai tersebut. 

"Tak ada gunanya surat yang dibuat tanpa meterai..." demikian ditekankan oleh sang direktur. Manajer HRD yang juga kebetulan seorang lawyer, merangkap dosen, hanya tersenyum aneh, persis seperti orang hilang ingatan yang tiba-tiba sembuh.

Di perkampungan atau bahkan di perkotaan, ketakutan terhadap keganasan meterai atau keyakinan terhadap kesaktian meterai, juga tak kalah seramnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun