Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Susilo Bukan Mantan

23 Februari 2017   11:08 Diperbarui: 2 Maret 2017   00:00 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi olahan dari pixabay

Natal sudah di beranda
Kidung Agung manjakan telinga
syukur terukir di wajah keluarga
rumah cerah dan gaun ceria
ragam hidangan menggoda

Perempuan pandang bulan
hati nyanyikan biru lautan
menanti kabar negeri jiran
dua belas purnama berjalan
lelaki di rimbun hutan

(TP. “Lima Seuntai Natal Sunyi”)

Marlince meletakkan tumpukan kayu api di dapur. Menuangkan air minum, melangkah keluar, lalu duduk di halaman belakang, menatap pokok telanjang jati-jati yang lama ditinggalkan daun-daun. “Kemarau berkepanjangan, melintasi tahun demi tahun, jati-jati itu merindu dedaunan menempel pada rantingnya, seperti beta merindu hangat canda Susilo,” serunya dalam batin. “Mungkinkah lama sonde bersua juga menggugurkan cinta Susilo, meninggalkan diri beta meranggas dalam rindu dan ketidakpastian?”

Susilo namanya. Lelaki yang kerap diperolok teman seusia sebab bernama Jawa. Kekasih hatinya yang lama pergi dan miskin kabar.

Dua tahun lalu, ketika masih di kampung ini, Susilo selalu membantunya memikul kayu bakar dalam perjalanan pulang dari kebun. Di senja nanti, Susilo datang bertandang, menemaninya menenun dengan membacakan dongeng dan puisi-puisi.

Dahulu mereka adalah sepasang pemuda yang kerap memancing cemburu lelaki dan perempuan muda sekampung. Banyak hal mereka lalui bersama sejak jauh sebelum keduanya resmi berpacaran. Ia sendiri menikmati hubungan mesra tanpa status itu tanpa berharap lebih banyak. Namun suatu ketika ia sedang menanak pakan babi, Susilo datang, masuk ke dalam dapur, lalu di tengah padatnya kepulan asap di bilik sempit tanpa jendela itu, bertanya kepadanya, “Marlince, maukah lu jadi kekasih beta?”

Tentu saja hatinya berbunga-bunga. Tetapi tanpa Susilo bertanya pun ia telah merasa mereka berpacaran. Ia menoleh, menatap mata lelaki itu dan berkata singkat, “Terserah Kakak saja.” Lalu oleh indahnya malu yang menyergap, buru-buru mengalihkan pandangan pada kepul uap dari priuk di atas tungku. Demikian resmilah mereka sepasang kekasih.

Sejak itu, Susilo tidak sekedar menemaninya dengan puisi-puisi dan pundak memikul kayu bakar, tetapi juga rangkulan pada bahu kala tiba dan kecupan di kening kala berpisah, dan begitu keesokannya, dan lusa, dan demikian hari-hari berjalan.

Enam bulan setelah resmi berpacaran, ia dikagetkan oleh permintaan Susilo untuk merelakannya pergi merantau ke Malaysia. Sudah lama banyak lelaki sepantaran Susilo, juga yang lebih tua dan lebih muda, demikian pula para perempuan di kampung itu pergi merantau, mencari peruntungan hidup di tempat jauh, entah itu ke Papua, Kalimantan, atau Malaysia. Susilo adalah sedikit yang memilih bertahan, percaya jika kampung mereka masih berpengharapan.  Sementara Marlince tidak mungkin kemana-mana. Ia harus menjaga ibunda yang telah tua dan sakit-sakitan. Lagi pula mereka hanya hidup berdua, tidak banyak kebutuhan merongrong. Berjualan labu dan bunga papaya pun cukuplah untuk hidup. Jika kepepet kebutuhan berbiaya besar, ada babi dan sarung tenun yang bisa dijual.

Rupanya kemaru yang tiga tahun berturut-turut menghajar telah merontokkan keyakinan Susilo.

Beta sonde akan lama, Ince. Mungkin 2 atau 3 tahun. Setelah itu, di saat Natal beta pulang membawa uang, membeli sapi untuk diternakkan, modal penghidupan kita,” janji Susilo meneguhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun