Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Yang Berkata FDS Berpotensi Melahirkan Bibit Radikal

17 Juni 2017   22:45 Diperbarui: 17 Juni 2017   22:49 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : wallpapergos.blogspot.com

 Disela-sela "ongkreh-ongkreh" literatur tentang budaya Pandhalungan, eee lha kok ada yang berkata jika FDS bisa berpotensi melahirkan bibit radikal (untungnya tanpa isme). 

Tidak ada yang serius dari pernyataan itu, karena hanya sebuah opini. Istilah "radikal" itulah yang sedikit meggelitik pemikiran saya sebagai pendidik. Oleh sebab itu, dengan mengucapkan segala hormat saya kepada yang mengatakan, ada kewajiban saya untuk melengkapi pernyataan tersebut agar opini itu semakin menjadi lebih sempurna. 

Di Jepang, saban hari, pagi-pagi, rakyat diharuskan menghadap ke timur sebagai ejawantah untuk menghormati Dewa Matahari dan takdim pada sang Kaisar. Efek yang timbul (dari beberapa tulisan yang pernah saya baca, salah satunya ISQ-nya- Ari G) ternyata menimbulkan gairah kerja yang lebih. 

Di tahun 80an, petinggi Vatikan pernah kagum dengan "kekuatan yang terpendam" dari ritual shalat Jum'at. Sampai-sampai beliau berani berkata, "Andai ritual Jum'at ini dimanage dengan baik, saya yakin ritual ini akan berdampak yang luar biasa" (maaf, lupa sumbernya, tetapi inshaa Allah ucapan yang senada dengan itu pernah ada). 

Apakah di dua rutinitas itu akan memunculkan pola radikal? Untuk radikal mungkin iya. Karena unsur pembiasaan pada satu titik fokus terbuka di sana. Tetapi tidak lantas akan menjadi radikalis atau radikalisme. Oleh sebab itulah di paragraf awal saya memberikan frase dalam kurung "untungnya tanpa isme". 

Meski demikian, pemakaian radikal bagi saya menjadikan sebab adanya kegamangan dalam menatap, antara postur FDS itu sendiri dengan pemahaman yang mengatakan berpotensi adanya radikal. Ada semangat pemakaian istilah yang terlalu berlebihan yang saya rasakan.  

Alasan saya:
1) jika memang berpotensi radikal. Seharusnya sampai detik ini sudah lahir "manusia-manusia radikal" atas proses PBM yang menggunakan sistem FDS. Karena, sampai detik ini sudah ada 9.800an sekolah yang telah melaksanakan FDS ini.  

2) FDS ini berada dalam kontrol yang ketat dari pemerintah dan masyarakat. Baik dari sisi muatan kurikulumnya, lokasi dan waktunya, proses sampai pelaku-pelakunya. Naif, jika sistem pembelajaran yang ramah nilai itu (FDS) dikatakan bisa melahirkan rakidal. Tentu, sejak awal negara akan menstopnya 

Tafsir radikal memang bermacam. Sumiritas makna atas radikal ini lebih cenderung pada pemahaman yang negatif. Sebab itulah saya merasa perlu ikut urun rembug, karena saya merasakan terlalu jauh jika dikatakan berefek pada radikal (apalagi radikalisme). 

UU Sisdiknas adalah produk hukum yang berusaha mengarahkan pola pendidikan nasional itu ke titik memanusiakan manusia. FDS saya yakin tidak akan jauh melenceng dari UU tersebut. 

Simpulannya, saya memaklumi jika ada yang beropini FDS akan melahirkan bibit-bibit radikal, dan saya termasuk yang tidak setuju dengan opini tersebut dengan alasan yang sudah saya papaprkan di atas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun