*Akhmad Fauzi
Ada yang baru di “Kembali ke Sekolah” di tahun pelajaran ini. Mendikbud, Anies Baswedan, meminta orangtua untuk membiasakan mengantar putra-putrinya berangkat ke sekolah. Harapannya agar ada keterjalinan yang harmonis antara sekolah dan orang tua. Sebegitu pentingkah mengantar anak ke sekolah? Benarkah akan terjalin pertalian batin antara sekolah dan orang tua dengan pola mengantarkan anak? Masih kurangkah sinergitas jalinan sekolah dan orang tua?
Untuk dua pertanyaan pertama, saya kira tidaklah menjadi hal yang signifikan atas sebab anjuran Mendikbud ini. Mengantar anak tidak lantas akan terjalin sinergitas hubungan sekolah dan orang tua. Tetapi cukup baik untuk memastikan perhatian yang kuat dari orang tua dengan sang putra. Meskipun tidak jarang momen-momen penting (mengantar anak ke sekolah) ini sering terabaikan oleh dalih kesibukan.
Ajakan pak Menteri berbarengan dengan usainya dunia pendidikan dirundung masalah. Murahnya pengaduan orang tua ke yang berwajib atas perilaku sekolah (guru) terhadap anak marak dimana-mana. Sebuah paradigma baru bagi perkembangan etika masyarakat melihat sebuah proses pembelajaran. Untunglah situasi perilaku kriminalisasi di dunia pendidikan ini segera reda setelah hampir semua elemen masyarakat bersuara.
Artinya, alasan pak Anies untuk meminta wali murid mengantar putra-putrinya ke sekolah ditengarai bukanlah semata agar ada hubungan yang baik antara orang tua dan sekolah. Saya meyakini jika di balik ajakan itu Mendikbud ingin menitipkan pesan khusus agar orang tua lebih punya waktu untuk melihat keseharian putra-putri dan situasi sekolah. Tetapi saya masih pesimis jika pesan khusus tersebut akan tersampaikan dengan baik ke orang tua.
Mengapa?
- Pentingnya Perhatian Orang Tua
Sebagai orang yang setiap hari berada di kehidupan pendidikan, saya melihat tidak sedikit dari orang tua yang mengantarkan siswanya hanya sebatas kewajiban agar si anak sampai di sekolah. Selebihnya teramat jarang saya melihat orang tua, yang dengan kerelaannya, berkenan berhenti sejenak melihat situasi pagi di sekolah.
Memunculkan keinginan orang tua agar menyisihkan sejenak waktu dengan membaca situasi sekolah juga bukan hal yang mudah. Dalam kasuh-kasus yang sering ada di sekolah saya, justru ada yang membiarkan anak datang terlambat dengan alasan bangun kesiangan, menunggu matang sarapan, atau masih membantu orang tua. Adakalanya malah sebagian siswa menjadikan alasan-alasan itu sebagai dalih untuk meminta kesadaran sekolah atas keterlambatannya. Menghadapi situasi semacam ini tentunya sekolah berada dalam kegamangan. Apalagi jika home visit oleh wali kelas dan guru BK tidak terlalu direspon dengan baik oleh orang tua. Itulah gambaran riil yang terjadi di keseharian aktifitas di sekolah.
Maksud dari penjabaran di atas adalah, permasalahan hubungan yang baik antara sekolah dan orang tua sejatinya memang diperlukan, tidak saja oleh sekolah tetapi juga oleh orang tua. Sayangnya, realitas yang ada selama ini masih dalam taraf yang minim. Partisipasi masyarakat, perhatian orang tua, termasuk upaya keterbukaan sekolah (dalam segala hal) masih jauh dari situasi ideal.
Menelisik sebab mengapa masih belum ideal itu sudah banyak yang mengetahuinya. Entah karena sebab sibuknya orang tua, kurang kuatnya upaya sekolah, kegamangan orang tua untuk “mendekat” ke pihak sekolah, ketidak-tahuan akan makna pentingnya hubungan yang baik antara sekolah dan orang tua, maupun sebab-sebab lain. Maka menjadi menarik ketika pak Anies melemparkan wacana agar orang tua berkenan mengantarkan putranya ke sekolah.