Mohon tunggu...
Siti Rahmadani Hutasuhut
Siti Rahmadani Hutasuhut Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis puisi, cerpen dan opini sosial-hukum-budaya

Im interested in social phenomena, deep thoughts and mentality

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perkara Soal Ujian

27 Juli 2017   13:34 Diperbarui: 27 Juli 2017   13:44 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terkadang saya memilih menjadi penggemar apatis saja ketika sudah tidak banyak lagi kesempatan untuk berargumen. Tidak, sebenarnya kesempatan itu tetap ada. Namun bukan untuk saya, penceloteh cerita tak berbobot. Berkali-kali guru SMA saya mengingatkan jangan pernah berhenti menulis. Dia berpesan bahwa menulis bukan tentang berbobot atau tidaknya tulisan. 

Saya berkesimpulan kalau bukan tentang itu lalu apa? Menulis merupakan tumpukan ekspresi. Setiap tulisan memiliki karakter yang berbeda. Seharusnya saya memaklumi apapun hasil dari tulisan saya karena tulisan saya merupakan cerminan dari karakter saya. Barangkali karakter tak berbobot itu ada pada saya.

Minggu ini sedang berlangsungnya musim ujian tengah semester di beberapa bangku perkuliahan. Saya bercerita dengan seseorang tentang kebosanan saya dengan adanya ujian-ujian yang menjadi salah satu sistem pendidikan di negeri ini. Mulai dari sekolah tingkat dasar sampai ke bangku perkuliahan, yang namanya ujian semester, ujian tengah semester, ujian akhir sekolah, ujian nasional, dan ujian ntah apalah namanya itu yang diselenggarakan dalam waktu yang telah ditentukan disetiap tahunnya. Ntah itu diselenggarakan pertiga bulan disetiap semester, maupun diperenam bulannya, atau disetiap kenaikan tingkat atau diakhir tingkat ketika akan menyambung ke jenjang pendidikan berikutnya.

Kebosanan yang saya ceritakan padanya adalah perkara soal-soal yang harus dijawab ketika sedang ujian. Di kelas satu sampai kelas tiga sekolah dasar misalnya, saya harus menjawab sepuluh soal pilihan berganda ditambah lima soal essai. Lalu di kelas empat sampai kelas enam sekolah dasar, saya harus menjawab lima belas soal pilihan berganda, lima soal isian dan lima soal lagi essai. Dilanjutkan kelas satu sampai tiga sekolah menengah pertama, soal yang harus dijawab sekitar lima sampai sepuluh essai. 

Begitu juga di kelas satu sampai tiga sekolah menengah atas, soal ujian terdiri dari lima belas sampai dua puluh soal berganda dan lima soal essai. Berbeda dengan soal ujian nasional yang wajib saya lewati untuk dapat dikatakan lulus dari jenjang satu dan melanjut ke jenjang di atasnya, soal berganda terdiri dari empat puluh sampai enam puluh soal pilihan berganda. Sampai kepada jenjang perkuliahan, soal ujian sekitar lima sampai sepuluh soal essai.

Saya menceritakan perkara yang lebih spesifik lagi kepadanya, bahwa saya bosan karena saya pikir ini salah satu bentuk pembodohan. Setiap orang berlomba-lomba untuk menjawab soal dengan baik dan benar guna mendapat nilai yang memuaskan tidak peduli dengan cara apapun itu. Poin terpenting adalah mencapai nilai tertinggi. Tidak jarang saya melihat kecurangan dalam segala bentuk. Lalu dia dengan sigap merespon "Mengapa harus peduli dengan bagaimana cara mereka? Mau curang atau apalah, yang jelas kamu terpengaruh tidak dengan adanya hal itu." Mendengar respon yang tidak nyambung itu saya menekankan perkara yang saya maksud adalah pembodohan, bukan tentang kejujuran. Lalu saya balik bertanya "Mengapa harus bertanya tentang keperdulian bagaimana bentuk kecurangan mereka? Seolah-olah titik masalahnya adalah ketidakjujuran siswa dan mahasiswa ketika ujian." Saya pikir bukan hal penting untuk perduli apakah siswa dan mahasiswa jujur atau curang dalam ujian, karena perkara jujur dalam ujian adalah kewajiban. Kewajiban merupakan keharusan yang mengikat dan tidak terbantahkan. 

Banyak memang beredar slogan "berani jujur itu keren" atau "katakan tidak untuk curang" atau apalah sejenisnya yang menjelma berlandaskan asas pengingat sesama manusia untuk menyebar kebaikan walau hanya satu kebaikan. Sedikit lucu bagi saya tentang kedudukan slogan-slogan itu. Misalnya "berani jujur itu keren?" gampang sekali mereka mengatakan jujur itu keren. Padahal jujur itu sendiri sudah memiliki kodrat sebagai kewajiban. Menjalankan kewajiban bukan suatu hal yang keren tetapi keharusan, kelaziman. Keren berarti istimewa yang patut dibanggakan. Ah, lucu saja hal lazim dikatakan keren. Kata keren lebih pantas diucapkan untuk mereka yang menang dalam kompetisi debat misalnya, atau untuk mereka yang menciptakan suatu karya misalnya atau hal lain sejenisnya. Kamu mengerti bukan yang saya maksud?

Perlu digarisbawahi tentang asas kebaikan yang disebar walau hanya satu, bukan berarti saya menyalahi niat saudara yang menyebar luaskan slogan itu. Niat tersebut mulia, sungguh. Hanya, miris rasanya dibalik kelucuan yang saya katakan sebelumnya. Lanjutkan perkara kebosanan saya yang rasanya hampir melimpahi bak kewajaran emosi, saya tegaskan padanya ini hanya kebosanan yang tidak bermaksud menyalahi pihak manapun. Saya tidak mengatakan bahwa ujian sekolah dengan bunga-bunga soal yang berbeda jumlahnya itu adalah sistem yang salah. Berharap besar saya padanya kali ini mengerti, agar respon yang tidak nyambung itu cukup terdengar sekali saja oleh saya. Bukan mudah bercerita dengan bahasa yang anggun agar tidak memunculkan terkam-menerkam paham. Saya bubuhkan senyum terhangat disetiap perkataan agar dia mengerti bahwa saya tidak menutup pintu untuk menerima aspek pengokoh dalam paham saya.

Saya menceritakan lebih spesifik lagi, mungkin alasan saya bosan. Saya bosan karena disetiap musim akan ujian, saya harus lebih ekstra dalam belajar. Memahami, mengingat bahkan menghapal yang kemudian hampir lima puluh persen dilupakan setelah musim ujian berakhir. Menulis jawaban di lembar jawaban soal sejelas-jelasnya untuk menjawab soal essai yang membuat jari saya pegal karena harus menyesuaikan dengan waktu yang keseringan dikorupsikan oleh pengawas ujian. Belum lagi dengan ketentuan yang menyeramkan membayang-bayangi saya disetiap akan tidur atau disetiap sudah terbangun. Ketentuan kriteria ketuntasan minimal yang menjadi tolok ukur akankah saya mengulang ujian yang sama.

Ingin menyanggah kesalahan saya tentang belajar yang ekstra ketika musim ujian akan di mulai? Saya beri penjelasan, misalnya jenis soal yang akan saya jawab di ujian nanti "1. sebutkan dan jelaskan a. mengapa... berserta dasar hukum dan contoh dalam kehidupan sehari-hari, b. alasan... c. maksud dari adanya..." Bahkan dalam satu soal, terdiri dari bobot sebutkan, jelaskan lalu ditambah option a, b, c, yang juga menjelaskan." Sekiranya cukup hanya dengan mengingat ketika guru menjelaskan ditambah pengulangan saja ketika akan datang musim ujian, melegakan rasanya. Namun, dengan soal yang begitu saya butuh belajar yang lebih ekstra.

Menyalahi ketidakpantasan tentang hampir lima puluh persen materi pelajaran yang dilupakan? Dari dasar ingin menjawab soal untuk mendapatkan nilai bagus, bukan tidak mungkin banyak dari beberapa orang yang berambisi menuntaskan ujian saja, artinya meninggalkan sebagian dari materi pelajaran yang pernah dipelajari. Misalnya saya pernah bertanya dengan kakak senior yang telah melewati materi hukum newton untuk membantu saya mengerjakan soal fisika memakai rumus hukum newton itu, dengan lagaknya dia menjawab lupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun