Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan dan Kebudayaan, Bagaikan Dua Sisi Uang yang Tak Terpisahkan

22 Maret 2018   01:55 Diperbarui: 24 Maret 2018   15:30 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Sebagai seorang guru tentu sangat prihatin dengan berbagai permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan akhir-akhir ini. Semua tahu, bagaimana wajah pendidikan kita. Media massa dan media sosial dengan jelas memberitakannya ke khalayak luas.

Masih segar dalam ingatan, sebuah peristiwa tragis dimana seorang guru dibunuh oleh muridnya sendiri. Bahkan bukan itu saja. Masih banyak deretan kisah yang menggambarkan kelabunya pendidikan di negeri kita. Penganiayaan orangtua terhadap guru, guru kepada anak didik hingga tindakan perundungan diantara siswa.

Seolah roh pendidikan itu telah melayang meninggalkan raganya. Pendidikan yang sejatinya mencerahkan pikiran dan melembutkan hati, mentransformasi diri, dan mempertajam impian (visi) dan terutama menjadikan insan yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan. Bagi sebagian telah tergerus oleh perubahan yang tak terbendung, kompleksnya permasalahan hidup, hingga pada krisis keteladanan.

Anomie. Begitulah keadaan yang terjadi. Artinya banyak orang telah kehilangan pegangan dalam kehidupannya. Terkadang seseorang ada yang memiliki kesulitan menentukan sebuah kebenaran, melakukan hal-hal yang baik dan berguna dalam hidup, hingga menentukan prioritas yang harus dilakukan. Sekali lagi, hal itu terjadi karena seseorang telah kehilangan pegangan.

Sesungguhnya, mengapa seorang bisa kehilangan pegangan?

Peran keluarga yang semestinya menjadi tempat sosialisasi primer, yakni menjalankan perannya untuk menanamkan nilai, norma dan kebiasaan yang baik dan benar kepada anak. Terutama dalam menanamkan nilai-nilai kerohanian yang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tetapi hal itu pun tidak terlaksana sempurna. Mungkin karena adanya permasalah dalam keluarga dan orangtua tidak bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Begitu pula proses pendampingan dalam pembelajaran hidup mulai memudar. Faktor kesibukan orangtua telah dijadikan sebagai alasan pembenaran diri. Belum lagi proses pewarisan budaya yang kian hari semakin melemah. Padahal sangat nyata jika pewarisan budaya tersebut sangat penting untuk generasi berikutnya agar bisa mengerti keluhuran dan kearifan budaya yang sesungguhnya.

Bukan itu saja. Guru ada saja yang tidak menampilkan integritas diri, tidak sesuai antara apa yang diomongkan dengan apa yang yang dilakukan. Bahkan sekolah pun tidak bisa menjadi solusi dan menawarkan kebutuhan lagi bagi seorang anak didik.

Dan yang terakhir, ketika seorang anak tidak lagi memiliki lingkungan masyarakat yang kondusif yang mampu membuatnya memiliki tempat untuk bertumbuh dan berkembang secara positif. Atau justru lingkungan masyarakatnya menjadi tempat menyerap hal-hal yang negatif saja.

Jika demikian yang terjadi, maka proses pendidikan pun akan terganggu, terhambat atau tidak memiliki arah yang jelas. Untuk itu revolusi mental dalam pendidikan pun harus segera dilaksanakan.

Saatnya semua unsur yang berhubungan dengan aspek pendidikan anak harus bersinergi. Antara keluarga, sekolah dan masyarakat, harus saling mendukung dan menjalankan peran yang sesungguhnya. Atau yang dikenal dengan istilah Tri Pusat Pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun