Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarawan Dadakan

23 September 2017   22:37 Diperbarui: 7 Desember 2017   20:33 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini banyak sekali yang tiba-tiba menjadi 'pakar' sejarah di Indonesia. Fenomena ini pun terjadi ketika peristiwa G30S/PKI kembali hangat diperbincangkan. Bahayanya, ketika hanya bermodalkan informasi dari media sosial atau mendengar cerita sepotong dari orang lain, akhirnya merasa sudah lebih tahu dan lebih benar tentang sejarah.

Memang membicarakan peristiwa masa lalu tidak ada salahnya, siapa pun bebas melakukannya. Hanya masalahnya, kita perlu hati-hati jika tidak memiliki fakta yang akurat. Bisa-bisa kita sedang melakukan penyesatan sejarah atau penghakiman dan pembunuhan untuk kedua kalinya kepada pelaku sejarah tersebut.

Alangkah lebih bijaknya kita memperlengkapi diri terlebih dahulu dengan berbagai referensi yang kuat. Sehingga pembicaraan tentang sejarah lebih mendekati dengan peristiwa sesungguhnya. Sebab dalam persfektif sejarah memang kita harus mengakui bahwa sejarah yang paling otentik adalah sejarah sebagai peristiwa.

Sementara sejarah yang sebagai ilmu, seni dan kisah kemungkinan pergeseran kebenaran pun bisa terjadi. Mungkin pergeserannya ada yang sedikit hingga sampai pada tingkat kefatalan.

Perlu kita ketahui bahwa sejarah sebagai kisah misalnya, bisa saja telah masuk unsur subjektivitas dari yang mengisahkan kembali. Atau sejarah sebagai seni pun demikian. Terkadang unsur imajinasi yang berlebihan bisa membuat sejarah sebagai seni tersebut jauh melenceng. Bahkan bukan hanya sejarah sebagai kisah dan seni yang bisa membuat sejarah melenceng dari kebenaran, tapi sejarah sebagai ilmu pun bisa saja ada kekeliruan dalam hal penelitiannya atau dipengaruhi oleh sponsor peneliti.

Tetapi perlu saya tegaskan dan digarisbawahi kembali, bahwa dalam hal sejarah sebagai kisah, seni dan ilmu yang sudah ada saat ini, bukan berarti kita secara total meragukannya atau kurang akurat, toh dalam sejarah sebagai ilmu, kisah, dan seni yang ada pada kita saat ini banyak yang disajikan melalui sebuah penelitian ilmiah dan melalui pendekatan yang akurat. Tapi saya hanya mau katakan bahwa ada potensi untuk menyimpang dari sejarah sesungguhnya yang bisa terjadi.

Untuk itulah perlu tetap bijak untuk melakukan verifikasi dan interpretasi dari data dan fakta yang ada, sebelum jadikan sebagai pijakan untuk berdiskusi, berkomentar bahkan menuliskannya kembali.

Sebagai saran untuk mendapatkan referensi kesejarahan yang lebih akurat, disarankan agar kita memperolehnya dari pendapat sejarawan yang ahli dibidangnya, yang memiliki reputasi dan independensi.

Selanjutnya bisa juga diperoleh dari buku yang ditulis oleh sejarawan atau ahli yang terpercaya. Bahkan buku-buku atau dokumen yang mendekati pada peristiwa tersebut, tentu dengan mempertimbangkan banyak hal seperti kepentingan atau independensi penulisnya.

Dengan demikian kita pun tidak turut menjadi pengamat atau sejarawan dadakan yang tidak dibekali oleh data dan fakta yang akurat. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun