Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebutan "Indon" dan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia

26 Januari 2017   10:38 Diperbarui: 26 Januari 2017   22:38 1881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Indonesia bukan indon. Foto/THS

Hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia, kini memasuki usia ke-60 tahun. Sebuah persahabatan yang cukup lama dan teruji, karena telah melewati berbagai permasalahan yang selama ini ditangani dan diatasi bersama dengan semangat persaudaraan negara serumpun.

Indonesia dan Malaysia pernah melewati masa-masa kelam, yakni konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966) dan keluarnya Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Banagsa (PBB) pada tahun 1965 gara-gara organisasi dunia itu menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap DK-PBB.

Banyak lagi masalah yang dihadapi Indonesia dan Malaysia, seperti penanganan narkoba, kabut asap, klaim budaya, klaim wilayah bertindih, penanganan warga yang terjerat hukuman mati, illegal logging, illegal migrant, dan berbagai kegiatan smugling di wilayah perbatasan khususnya di perairan Selat Melaka.

Ketika Indonesia dan Malaysia memperingati setengah abad hubungan diplomatiknya satu dasawarsa yang silam, ada satu masalah yang menggelitik warga Indonesia, yakni sebutan “Indon” yang sangat bermasyarakat di Malaysia. Setiap hari hampir selalu ada tulisan “Indon” menjadi judul berita tentang warga Indonesia di media cetak Malaysia.

Berbagai cara pihak perwakilan RI, organisasi mahasiswa Indonesia dan paguyuban masyarakat Indonesia melakukan protes tegas bahwa sebutan kata “Indon” tidak digemari oleh orang Indonesia.

Hingga sekarang, saat memasuki 60 tahun hubungan diplomatik kedua negara bertetangga ini, kata yang membuat panas kuping orang Indonesia itu, masih saja terdengar. Saya akui memang agak kurang berbanding 10 tahun silam. Namun agak ironis, bahwa sekarang, malah masyarakat Indonesia sendiri yang selalu menyebut “Indon” karena ikut-ikutan para majikan mereka di tempat kerjanya.

Satu saat, di tahun 2007, di loket pelayanan kantor Konsulat Jenderal RI Johor Bahru, terdengar jelas suara merdu gadis cantik yang sedang mengurus surat jalan untuk bercuti ke kampungnya di Indonesia. Gadis berusia 20-an tahun itu berkomununikasi dengan tegas dan penuh yakin saat menghadapi seorang pegawai kantor perwakilan RI di Johor Bahru itu.

“Saya mau minta surat jalan Pak” kata sang gadis berambut lurus sebahu.
“Mau kemana mbak?” tanya sang petugas loket.
“Saya mau ke Indon, pak!” tukas sang gadis sambil menyodorkan dokumen berupa paspor miliknya. Tak lupa, secerca senyuman dilemparkan, menandakan bahwa dirinya gadis peramah.

Wajah gadis itu berbinar-binar mengharap sang pegawai segera merespon permohonannya. Tapi sayang, harapan itu sontak berubah. Wajah gadis itupun menjadi tak karuan. Masalahnya, “Indon” yang menjadi tujuan gadis itu tak dikenali oleh pegawai yang bertugas.

“Indon” itu apa?” tanya pegawai dengan nada agak tinggi.
“Iya…Indonesia, Pak!” jawabnya singkat dan penuh yakin.
“Kalau menyebut negara, jangan disingkat, mbak. Indonesia ya Indonesia, bukan Indon!” jelas pegawai itu dengan nada sedikit kesal.
“Lain kali bicara yang benar. Apalagi itu menyangkut nama negara sendiri dan kita yang harus menghormati nama itu agar orang luar tidak menyebut nama negara kita dengan singkatan yang tidak resmi.
“Kalau kita sendiri tidak menyebutnya dengan benar, tentu orang luar lebih tidak bisa”. Sang pegawai memberi wejangan. Sementara gadis itu hanya bisa mengangguk.

Seperti yang saya katakan di atas, bahwa sebenarnya kata yang tidak mendasar itu sudah jamak terdengar bukan saja di Malaysia, tetapi saya juga pernah mendengarnya saat berada di Singapura, Johor dan Riau (Sijori).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun