Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penjaga Makam

26 Maret 2020   10:35 Diperbarui: 26 Maret 2020   10:54 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Hari ini ada lagi yang mati. Seorang lelaki, duda dua anak. Umurnya enam puluh tahun. Dia mati bukan karena sakit atau kecelakaan tetapi karena sudah waktunya.

Para penggali kubur sudah bekerja sejak pagi. Namun, pemakamannya baru akan dilakukan selepas Asar, menunggu dua anaknya yang merantau di Jakarta pulang.

Sarpin, seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya. Selepas Subuh, lelaki itu berangkat ke tanah makam untuk merawat makam-makam yang ada di situ. Mencabuti rerumputan, menyapu dedaunan kering, dan membersihkan bangkai bunga-bunga duka. Tak lupa, ia mengelap setiap nisan seraya berdoa, "Semoga engkau damai."

Doa itu selalu ia ucapkan setiap mengelap nisan. Tak peduli ia kenal atau tidak dengan yang dikubur. Tak peduli perilaku apa yang telah dilakukan oleh yang dikubur. Dia hanya tahu bahwa berdoa baik adalah puncak kebaikan. Dia hanya tahu bahwa bumi pun tak pernah membeda-bedakan siapa yang dikubur.

Selepas Asar, rombongan pelayat datang mengantar jenazah. Sarpin menghentikan pekerjaannya demi menghormati jenazah yang akan dikubur sore itu.

Kemudian, Sarpin mendekati rombongan itu. Semakin dekat, mata tuanya mulai dapat mengenali banyak pelayat. Herannya, kenapa ia tak mendengar berita duka dan tentang siapa yang mati di kampungnya pagi itu?

"Siapa yang mati?" tanya Sarpin kepada seorang lelaki yang berdiri di sampingnya.

"Kamu," 

Tubuh Sarpin gemetar mendengar jawaban itu hingga sapu di tangannya terjatuh.

 "Semoga engkau damai," lanjut orang itu lalu pergi meninggalkan Sarpin yang berdiri memaku. 

Sarpin tak mampu menyimpan kesedihan di wajahnya. Bukan karena ia kini telah mati namun karena ia tak akan bisa merawat makamnya sendiri.

***

Jakarta, 25 Februari 2020

Terinspirasi sajak Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati karya Sapardi Djoko Damono, 1964.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun