Mohon tunggu...
Thomas Kedang
Thomas Kedang Mohon Tunggu... -

Anda Melihat Sesuatu dan anda percaya, saya Memimpikan sesuatu yang tak pernah ada dan mengatakan : "Mengapa Tidak?"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkawinan

7 Agustus 2011   17:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:00 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

EKSISTENSI GADING GAJAH SEBAGAI MAS KAWIN

DALAM SISTEM PERKAWINAN

MASYARAKAT LARANTUKA FLORES TIMUR

PENGANTAR

Studi etnografi menunjukkan perkembangan yang menggairahkan. Pendekatan etnografis dalam melihat fakta-fakta sosial budaya ataupun keagamaan suatu masyarakat yang beragam serta yang masing-masing memperlihatkan orisinalitasnya yang khas, jelas menginspirasikan suatu gejala baru, yakni bangkitnya “suara yang diam” ke permukaan, setelah sekian lama mengalami marjinalisasi, keterkungkungan, tuduhan sebagai yang “tidak beradab”, primitive dan setumpuk tudingan lain yang mendiskreditkan. Budaya, tradisi dan kepercayaan lokal sering dipandang sebagai entitas sosial budaya yang tidak rasional, kumuh, terbelakang dan cermin kebodohan yang tidak memiliki visi kemajuan.

Persepsi demikian lahir karena bias dari modernisasi. Peradaban modern yang mengklaim diri sebagai yang ilmiah dan universal, sebenarnya memiliki watak penetrative dalam dirinya. Universalisme adalah kebenaran yang dinilai paling rasional sehingga perlu melakukan penyelamatan terhadap manusia dari “peradaban lumpur” itu. Akibatnya, banyak hal dilakukan atas nama kemajuan dan modernitas justru membenamkan manusia ke dalam kondisi ketimpangan, pengingkaran hak asasi dan alienasi.

Sementara itu, ketika pariwisata dianggap mampu menjawabi devisa Negara terbesar di luar sector non-migas, berbagai elemen lantas mengemas sesuatu yang asli –dalam wujud tradisi, budaya, keperayaan asli maupun pelbagai entitas yang dipandang antik lainnya- untuk dikonsumsi wisatawan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika modernitas memperlihatkan gemanya, yang asli dan luhur di atas dipandang sebagai penghalang gerak maju. Tetapi ketika pariwisata mampu memperlihatkan perannya, yang asli itu lantas menjadi komoditi yang layak untuk dijual.

Perhatian tulisan ini adalah pada masalah tradisi local masyarakat Lewotoby, sebuah dusun di kecamatan Lewotoby kabupaten Flores Timur provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, berkenaan dengan mahar ( belis ). Pada satu pihak, mahar dipandang mampu menjaga tata krama pergaulan dan menjamin adanya rasa saling menghormati antara masyarakat, namun seiring waktu yang berubah, mas kawin itu dianggap perlu untuk untuk diadakan perubahan, khususnya terhadap materi mas kawin itu sendiri. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu persoalan selama tidak merusak tatanan yang telah dibangun bersama.

Mas kawin yang diberikan dalam lingkungan masyarakat Flores Timur adalah Gading Gajah, suatu hal yang amat fenomenal, karena jika kita menoleh kebelakang maka realita akan berbicara bahwa Flores bukan merupakan habitat spesies gajah. Lantas akan muncul pertanyaan darimana munculnya gading tersebut? Mengapa harus Gading gajah yang digunakan sebagai Mas Kawin? Atau, siapa yang mula-mula memulainya sebagai mas kawin? Apa kedudukannya dalam sistem perkawinan? Dengan melihat kenyataan bahwa Flores bukan merupakan tempat tinggal gajah, tentu akan berakibat pada semakin punah atau menghilangnya gading tersebut. Jikalau demikian, apakah proses perkawinan masih terjadi kalau tidak ada lagi gading tersebut?

Thomas Kedang

Jogjakarta, January 2003

berlanjut...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun