Mohon tunggu...
Theodorus Hutabarat
Theodorus Hutabarat Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, menuntun saya ke tempat ini

Mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinggi negeri dengan program studi Administrasi Publik. Memiliki ketertarikan pada dunia politik, pemerintahan, kebijakan publik, dan pop culture.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Cebong dan Kampret, Deklarasi Pemilu Damai

23 September 2018   13:41 Diperbarui: 23 September 2018   15:28 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu 23 September 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan dua pasangan calon Presiden dan Wakil presiden, menghadiri deklarasi pemilu damai yang bertempat di Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat. Pada kesempatan tersebut, beberapa orang penting secara simbolis melepaskan burung merpati sebagai tanda dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres), sekaligus deklarasi pemilu damai. 

Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang telah diagendakan KPU dalam timeline Pilpres 2019. Diluar dari adanya "drama" walkout yang dilakukan oleh Ketua Umum Partai Demokrat-Susilo Bambang Yudhoyono- pada kegiatan tersebut, kegiatan deklarasi tetap berlangsung dengan lancar.

Deklarasi pemilu damai hanyalah suatu deklarasi formalitas. Hal tersebut dikarenakan, setiap kali masa kampanye "Pemilu tidak damai" tetap terjadi, terlebih lagi ketika dalam masa kampanye. Pada Pilpres 2014, masih segar dalam ingatan kita, bahwa Calon Presiden Joko Widodo pada saat itu sering kali diserang dengan hoax dan kampanye hitam. Joko Widodo pada saat itu dikatakan antek PKI, berasal dari keluarga keturunan Tionghoa, dll.. Meskipun deklarasi telah dilakukan, kampanye hitam hampir dipastikan tetap terjadi.

Deklarasi formalitas tersebut membuat semakin banyak orang tidak heran dengan adanya istilah "Cebong" dan "Kampret". Istilah yang digunakan untuk menyerang kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Menurut para elite politik, hal ini sering dikatakan sebagai bentuk kebebasan berekspresi dari masing-masing pendukungnya. Kebasan berekspresi seperti ini, menurut para elite politik wajar adanya, karena adanya fanatisme dari para pendukung di tingkat akar rumput.

Ketika para elite mengamini adanya cebong dan kampret, tapi hal tersebut tidak dengan masyarakat secara luas yang idak terlibat dalam fanitisme karismatik tersebut. Cebong dan Kampret hanya memenuhi timeline mereka dengan hal-hal negatif dan menghina. 

Beberapa dari pembaca mungkin sudah mengetahui akun-akun sosial media di instagram, twitter, dan facebook dari kedua kubu tersebut, apakah kalian mengikutinya/menyukai konten yang dikim dalam akun tersebut? Mungkin untuk pendukung yang terlibat dalam fanitisme karismatik, hal tersebut biasa saja, karena mereka menyadari bahwa konten yang dikirimkan masing-masing akun merupakan usaha untuk melawan "musuh" politiknya.

Kini yang menjadi persoalan ialah ketika Deklarasi Pemilu damai dilakukan, tapi kontennya tidak diimplementasikan. Bukti dari tidak diimplementasikannya hal tersebut adalah adanya Cebong dan Kampret yang saling menyerang dengan hoax dan kampanye hitam yang dilakukan masing-masing pihak. Ketika para elite mengatakan siap untuk melaksanakan Pemilu dengan damai, tapi apakah seluruh pendukung di akar rumput siap untuk menerima hal tersebut? Dengan adanya Cebong dan Kampret menurut saya, hal tersebut masih mustahil untuk dilakukan. 

Cebong dan Kampret merupakan labelling yang dilakukan masing-masing pendukung terhadap lawannya. Labelling tersebut berguna untuk menanamkan pemikiran negatif terhadap lawan politiknya masing masing.

Para elite politik mengatakan cebong dan kampret merupakan kebebasan berekspresi, pertanyaannya apakah kebebasan berekspresi tersebut harus saling mencela satu dengan yang lain? Kebebasan seharusnya adalah bebas di dalam suatu peraturan. Definisi tersebut saya dapatkan dari tokoh agama di tempat saya beribadah. Pada faktanya, Cebong dan Kampret sudah melebihi batas yang ada, dan membuat masyarakat resah. 

Apakah pemerintah siap untuk melawan dan membatasi kehadiran Cebong dan Kampret? Apakah oposisi juga siap? Tidak ada duit, maka tidak ada barang. Politik hanya persoalan kepentingan dan transaksi, apakah pemerintah dan oposisi siap untuk "bertransaksi" agar Cebong dan Kampret berhenti dan justru menegakkan Pemilu damai?

Satu pertanyaan buat anda, apakah anda sendiri melakukan hal yang sama seperti Cebong dan Kampret? Bila tidak, proses pemilu damai sudah selangkah lebih maju berkat bantuan kalian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun