Mohon tunggu...
Renggo Warsito
Renggo Warsito Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

PGRI Konsisten Merongrong Pemerintah

20 Desember 2015   22:33 Diperbarui: 20 Desember 2015   22:33 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika para pendiri Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) masih hidup, mungkin akan sedih melihat kondisi terkini organisasi yang didirikan 100 hari setelah Proklamasi RI itu. Betapa tidak, PGRI yang awalnya didirikan untuk memperjuangkan nasib guru nyatanya hanya dijadikan tunggangan politik elitnya dibawah komando Sulistiyo.

PGRI yang seharusnya fokus pada terhadap kompetensi dan profesionalitas guru justru sibuk menggoreng isu yang semangatnya melawan kebijakan pemerintah. Terbaru secara terang-terangan menolak Surat Edaran dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) tentang peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2015. Bahkan, Sulistiyo menuduh pelarangan itu menistakan PGRI sebagai organisasi profesi guru tertua.

Ironinya lagi, kedatangan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ke acara HGN yang digagas PGRI itu malah menuai cemoohan dan hujatan. Jelas itu bukan tindakan terpuji dari para pendidik.

Sulistiyo juga terus mendelegitimasi kebijakan sertifikasi dan kompetensi Kemendikbud. Ia secara terang-terangan menyatakan bahwa program itu hanya menghabiskan anggaran dan memberatkan para guru. Padahal, kompetensi adalah mandat dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bahkan ia juga pernah menyerukan mogok nasional mengajar bagi para guru.

Dalam menggalang kekuatan untuk menggembosi pemerintah, PGRI menggandeng Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Organisasi buruh yang sejak awal tidak mendukung Jokowi sebagai presiden. Dari sini mudah terbaca bahwa PGRI sengaja beraliansi dengan kekuatan-kekuatan anti pemerintah.

Demokrasi memang tidak melarang orang untuk berserikat dan berkumpul. Ini dinyatakan tegas dalam konstitusi negara. Namun demikian, organisasi idealnya digunakan untuk wadah pemenuhan kebutuhan anggota dan bukan elit. Dengan guru sebagai anggotanya, kebutuhan utama mereka sebenarnya adalah kompetensi. Ini agar pendidikan di Indonesia berkualitas. Sehingga dapat meningkatkan daya bangsa di tingkat global.

PGRI seharusnya bahu membahu bersama pemerintah untuk memperbaiki kompetensi anggotanya. Namun yang terjadi justru merecoki gawe pemerintah. Ketidakfokusan dalam membina anggota tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Sulistiyo sebagai politisi. Sehingga wajah politisnya PGRI lebih kental ketimbang sebagai organisasi profesional. Lebih jauh lagi PGRI terjebak dalam agenda politik praktis. Ambil contoh, ketika PGRI bersuara tentang kenaikan harga barang. Jelas itu jauh dari corecompetency mereka. Sebelumnya bahkan mereka malah berdemo mengepung istana. Secara praksis, Sulistiyo menyeret organisasi profesi guru tertua ini dalam kubangan politik.

Padahal, dengan sumber daya yang dimiliki seharusnya PGRI bisa lebih banyak berbuat untuk anggota ketimbang berorientasi pada perebutan kekuasaan. Dari sisi jaringan, organisasi ini punya kaki hingga ke seluruh daerah. Aspek finansialnya pun cukup kuat karena mengutip iuran dari anggota yang dipotong secara otomatis dari gaji bulanan. Jam terbangnya juga tidakperlu diragukan karena hampir seusia dengan republik ini.

Namun apa hendak dikata, PGRI terjebak dan dimanfaatkan segelintir elitnya. Kepentingan jutaan anggota justru tidak terwakili dalam isu-isu yang selama ini disuarakan. Sebelum terlambat, sebaiknya anggota menyelamatkan organisasi ini dari pribadi-pribadi yang haus kekuasaan. #savePGRI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun