Mohon tunggu...
Marthella Rivera Roidatua Sirait
Marthella Rivera Roidatua Sirait Mohon Tunggu... -

Menulis bukan karena ahli. Menyeruput kopi bukan karena gaya. Menjelajah bukan karena keren.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengatasi Ketimpangan, Mulai dari Mana?

27 Januari 2017   02:22 Diperbarui: 27 Januari 2017   02:34 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di Jakarta, ketimpangan bukanlah sebuah masalah baru, bahkan menjelang perhelatan pergantian Gubernur, hal ini selalu menjadi salah satu program tawaran. Di debat Cagub yang pertama, mungkin kita masih ingat analogi sedia ikan, kail, atau kolam? Pertanyaannya, seandainya ketiganya sudah disediakan dan nyatanya masih ada ketimpangan, apa yang salah sebetulnya?

Sehabis menonton program ‘Jakarta Kece’, saya tergelitik untuk menulis sebuah pandangan. Tentu tak dapat dibandingkan dengan pandangan Pak Anies dan Pak Ahok, yang sudah lebih banyak pengalaman. Sayangnya, Mas AHY tidak ikut bicara, padahal konsep program TV ini unik karena menghadirkan para ahli di bidangnya, yang tentu bisa mengkritisi jawaban dari para Cagub DKI. Nah, dari beberapa segmen di program TV tersebut, saya paling tertarik soal cara mengatasi ketimpangan.

Pertama, ketimpangan ekonomi, si kaya dan si miskin. Saya ilustrasikan agar lebih gampang. Saya punya dua kerabat yang beda jauh, yang satu orang tuanya bekerja di pasar dan yang satu lagi orang tuanya punya jabatan. Keduanya sekarang S2 di Birmingham, dibiayai oleh beasiswa yang sama pula. Sekilas, apakah ini ketimpangan? Kalau hanya dilihat dari sisi ekonomi, mungkin iya. Tapi dari segi mental dan keilmuwan, mereka berdua bersaing kok. Kalaulah cara mengatasi ketimpangan hanya dengan memberikan subsidi kepada si miskin, untuk menaikkan derajat sosialnya, sampai berapa banyak dana digulirkan agar bisa setara? Teman saya ini pernah berseloroh, ‘salahkah terlahir menjadi si mampu?’ Bagi saya, kalau Tuhan mengizinkan kita terlahir di keluarga yang miskin, bukan berarti pula Ia tak adil, bukan pula kita yang takdir hidupnya jelek.

Kita tak bisa memilih terlahir dari keluarga miskin atau kaya, tapi kita bisa memilih, betah dengan kondisi yang ada atau berusaha ‘naik’. Jadi, bagi saya, ketimpangan ekonomi itu berawal dari mental. Percuma dibangun sekolah yang bagus, disediakan Kartu Jakarta Pintar (KJP) kalau orang tua masih belum menganggap penting pendidikan. Percuma dibuat program pelatihan, kalau penduduk usia produktif masih menganggap kerja serabutan atau parahnya mengemis lebih jelas ‘menghasilkan’. Percuma disediakan lapangan kerja jika orang-orangnya sudah takut duluan untuk ‘melamar’. Dan bahayanya, ketika apa-apa disubsidi namun mentalnya masih seperti ini, mungkin bukannya terpacu untuk naik malah berharap dikatrol terus oleh pemerintah. Jadi, mengatasi ketimpangan bukanlah soal berpihak kepada yang miskin, karena yang kaya pun sama-sama warga DKI, toh? Yang tersulit adalah menciptakan sense of belonging dan mental mau maju. Yang kaya merasa bertanggungjawab untuk membantu sesamanya, sesimpel membuka lowongan kerja lebih banyak di perusahaannya. Yang miskin punya mental untuk berkehidupan lebih baik, sesimpel memanfaatkan layanan umum yang tersedia seperti menyekolahkan anaknya dan ikut pelatihan. Program konkritnya seperti apa, itu PR untuk para Cagub DKI.

Kedua, saat sesi pertanyaan dari Netizen soal ketimpangan sosial, ‘Apa usaha Cagub untuk mengatasi intoleransi antar umat beragama di DKI?’. Sekedar intermezzo, dulu kalau saya agak uring-uringan, Ibu saya hanya bertanya, ‘kamu belum makan ya?’. Mungkin ada benarnya, saat orang lapar maka emosinya tidak stabil. Ketika ada bagian dari masyarakat DKI yang kebutuhannya tidak terpenuhi, hanya dengan kalimat ‘Lihat tuh yang bangun apartemen orang-orang C, makin kaya mereka, kita miskin terus!’ maka akan berkembang menjadi aksi yang bawa-bawa istilah ‘kafir’. Sudahlah lapar, merasa diperdayai, siapa yang tak ngamuk? Sejenak lupa kalau dari jaman dulu Jakarta ini memang tempat cari rejeki bagi banyak orang dari berbagai ras dan agama. Lalu caranya supaya masyarakat selalu toleran, bagaimana?

Saya sepakat dengan pernyataan kedua Cagub. Beliau yang satu bicara soal pendiri republik yang tak pernah memakai frasa mayoritas dan minoritas, karena itu hanya bicara soal jumlah. Selanjutnya, kalaulah takaran ideal agar masyarakat bisa hidup harmonis adalah keadilan, sebaiknya jangan menakar keadilan pun dari jumlah. Adil bukan sesempit artian ‘sama rata’, tapi memberi kepada yang butuh. Menyambung kepada beliau yang kedua, pemimpin yang adil bukan berarti menyetujui segala hal, hanya karena yang meminta adalah bagian dari rakyat. Saya setuju bahwa pemimpin harus punya sikap. Bukan berarti pemimpin membatasi ruang dialog, tapi jangan lupa untuk tegas, salah bilang salah, benar katakan benar. Termasuk oknum-oknum yang memecah-belah persatuan, benar mereka adalah warga Jakarta. Tapi Bapak yang baik tentu tak melulu memanjakan anak, ada kalanya ditegur ketika salah, kan?

Siapapun Gubernurnya, jangan lupa kalau Presiden kita dulu sempat berkoar soal revolusi mental. Masalah ketimpangan ekonomi di Jakarta memang menuntut untuk diselesaikan. Namun, selain berpikir formula yang tepat untuk menaikkan derajat warga, ada baiknya berpikir dulu bagaimana membangun mental. Karena kalau warganya bermental tangguh, masalah sekali pun akan dianggap tantangan bersama untuk diselesaikan.

Salam Warung Kopi!

#WargaDKIyangTakBisaMilih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun