Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang SDD, Tentang 77, Tentang 7

24 Maret 2017   14:20 Diperbarui: 24 Maret 2017   14:36 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TS di depan poster SDD (foto:Ikhwanul Halim)

“Ini juga asu!” sebut Joko Pinurbo, sebelum membacakan puisi SDD tahun 1961: Sajak Desember dan sebuah cerita ringkasnya.

Gerrr!

Bagi yang mengerti asu, ternyata anjing ada di dalam cerita singkat menggetarkan itu. Bukan lagi senyuman atau gelak tawa pendek. Yang menyeruak di BBJ (Bentara Budaya Jakarta, dengan Omah Kudus-nya) penuh kerumun untuk seorang lelaki yang dilahirkan kembali – Goenawan Mohammad (GM) menyebutnya – bukan ulang tahun tujuh puluh tujuh.

“Puisi menolak untuk sekadar berulang. Demikian juga hari ini, Sapardi Djoko Damono tidak berulang tahun. Dia dilahirkan kembali,” ungkap GM seraya menyebut penyair Derek Walcott, penerima Nobel Sastra 1992.  

GM (foto:TS)
GM (foto:TS)
Malam itu, Sang SDD (Solo, 20 Maret 1940) bersaing dengan Jokpin dalam soal kurus. Lelaki yang menulis puisi Senja saat usianya enampuluh, dan tujuh belas tahun kemudian dilahirkan kembali, baca: masih hidup. “Usia dua puluh satu kok sudah memikirkan mati!” sambung Jokpin lagi perihal puisi bagi sebagian besar yang hadir belum lahir.

Sehingga orang penting penerbitan Gramedia, persisnya Gramedia Pustaka Utama atawa GPU, Wandi S Brata perlu mengutip puisi tersingkat dan menghebohkan jagat sastra Indonesia: Malamlebaran, bulan di atas kuburannya Sitor Situmorang. Bagaimana mungkin malam lebaran ada bulan, di atas kuburan pula.  Sementara SDD dengan enteng menyebut kenapa Hujan Bulan Juni ditulis sekaligus sebagai judul yang menghebohkan itu, “Lha, kalau hujan Desember biasa-biasa saja, toh. Ndak ada yang bertanya. Biar kalian mikir!” sebut sang penyair perihal anomali hujan di bulan keenam itu.

(foto:TS)
(foto:TS)
Musikalisasi Puisi SDD: Nocturno yang dianggap paling bagus. "Mudah-mudahan nggak lip service. Karena nggarapnya nggak gampang," kata Taytana bersama Umar Muslim.

Tersebab Hujan Bulan Juni (HBJ) sebegitu menggoda, maka perlu untuk difilmkan. Oleh mereka yang tersihir oleh hujannya SDD. Dalam berpuisi dalam permainan bahasa, ringan, namun kontemplatif. Tentang keseharian dan lingkungan sekitar, dan hal remeh-temeh.   

“Seperti es krim. Yang dikulum dan meleleh di dalam, begitu nikmat dan sederhana,” sebut punggawa tim kreatif pembuat film HBJ untuk menggarap sebisanya dengan cara sederhana, yang malam itu tampil bersama penulis skenario dan sutradara tampil bertiga.

Aku tertawa. Teringat seorang R, sang penyuka es krim. Yang bisa menggigit dua sekaligus, meski aku memberi kebebasan padanya. Mungkin seperti SDD. Jika ia tak ingin ikut campur untuk urusan sinema perihal naskahnya itu. Dengan guyon, “Urusan saya ya uang!” Maksudnya, kalau dilibatkan untuk menulis skenario, “Ya, ada uang lagi.”

Gerr!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun