“...tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu."
Dan rintik hujan pun membasahi pelataran Taman Sastra TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta. Kemudian menderas. Langit memang sejak siang mendung menggelayut, hanya sesekali mengintip suryanya di sela-sela awan. Sajak HujanBulanJuni-nya Sapardi Djoko Damono dibawakan oleh pegiat sastra Universitas Negeri Jakarta, seperti menutup sore pembacaan puisi-puisi berkait dengan Hari Puisi Indonesia 2016 yang diadakan secara meriah-ruah.
Siang itu saya bertemu dengan Ikhwanul Halim di TIM. Nominator Fiksi Kompasiana 2016 yang baru meluncurkan bukunya 'Rindu yang Memanggil Pulang (Peniti Media, Jakarta September 2016) itu mengajak ngopi di kawasan TIM. Hingga kemudian menggeret Alpaprana (Kompasianer Semarang) yang punya buku kumpulan puisi Algocita dan berambut gondrong kayak pendekar bergabung. Lalu bersua pula dengan Giyanto Subagio, penyair yang kerap nongkrong di TIM dengan buku puisinya: Kasidah Bayang-bayang.
Tahun 80-an awal, saya kerap berkunjung ke bekas kebon binatang yang kelak disulap Bang Ali Sadikin menjadi kebun para seniman dalam berkreasi. Bahkan tempat ini menjadi semacam puncak para seniman (di mana belum menjadi seniman apabila belum berkarya di TIM). Sehingga gelaran seni rupa, teater, bermusik, menari, hingga membaca puisi. WS Rendra, Hamid Jabbar dan Subagio Sastrowardoyo, mereka sudah almarhum, di antaranya yang menggebrak kawasan ini untuk urusan jagad perpuisian.